Ada juga yang lucu, Alvara Research Center merilis survei tentang popularitas capres. Dan, hasilnya: 1. Ical: 78,4 %, 2. Jokowi: 76,0 %, 3. Prabowo: 66,3 %, ...8. Surya Paloh: 32,7 %, 9. Hatta Radjasa: 28,9 %, 10. Mahfud MD: 24,1 %, 11. Rhoma Irama: 20,8 %. Pertanyaannya kan gampang, sejak kapan Rhoma Irama kalah ngetop dibanding Mahfid MD, apalagi Surya Paloh?
Lembaga survei memang suka nakal, suka utak-atik di sana sini supaya kliennya menang dan senang. TAPI, media jangan ikut-ikutan nakal. Media harus memberitakan sesuai dengan hasil survei yang dirilis. Media harus memberitakan apa adanya. Kalau ada rilis lembaga survei yang aneh, beritakan saja. Biarkan publik yang menilai dan mengkritisinya. Bukankah di Kompasiana ini banyak artikel yang menjewer hasil-hasil suvei yang nakal.
Kalau Metrotvnews ini kasusnya aneh, hasil survei yang dirilis Populi Center-nya “lurus-lurus saja”, eh Metrotvnews-nya yang malah menyesatkannya.
Dalam artikel sebelumnya, ditulis kalau dukungan Nasdem kepada Ahok yang kemungkinan besar melibatkan Metro TV sama saja dengan memberikan Ahok secangkir kopi bersianida. Dan akhirnya kejadian juga. Metrotvnews memberitakan hasil survei dengan memelintirnya terlebih dulu. Gara-gara itu bisa saja orang mengatakan, “Oh begitu cara Ahok menjegal pesaing kuatnya!” Akibatnya, propaganda busuk itu akan menyerang balik Ahok sendiri.
Bayangkan kalau propaganda busuk ini didiamkan. Lantas suatu saat diungkap dan diekspos besar-besaran oleh lawan-lawan Ahok. Apa kata orang? “Oh, jadi berita yang bagus-bagus itu ternyata cuma hoax hasil main pelintir.” Mampoeslah Ahok kalau diserang seperti itu.
Begini, Ahok itu banyak mendapat serangan negatif dan serangan hitam. Malah bisa dipastikan lebih banyak serangan hitam ketimbang serangan negatif. Serangan-serangan itu bisa diatasi dengan digencarkannya kampanye positif. Tapi, positif yang bagaimana dulu. Kalau “positif” tapi hoax sama saja dengan melempar bumerang.
Kengawuran Metrotvnews lainnya.
Berita di Metrotvnews begini, “...Yusril sudah dikenal masyarakat. Nama Yusril menunjukkan angka elektabilitas yang menjanjikan kenaikan," kata Nona di Hotel kartika Chandra, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Senin (22/2/2016).
Nona mengungkapkan, elektabilitas Yusril melejit dibanding nama-nama yang sudah dulu masuk dalam bursa bakal calon Pilgub DKI Jakarta. Yusril mampu mengalahkan Ridwan Kamil (75,2%), Sandiaga Uno (23,8%), Djarot S. Hidayat (57,5%), Nachrowi Ramli (52%), dan Abraham `Lulung` Lunggana (67,8%).
Di situ tidak disebutkan nama Rano Karno dan Ahmad Dhani. Padahal tingkat popularitasnya lebih tinggi ketimbang Yusril. Dengan demikian diopinikan kalau Yusril jadi calon pesaing terkuat buat Ahok. Ada maksud nakal apa lagi?
Ini mirip dengan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang melontarkan ARB di puncak tangga elektabilitas dengan menghilangkan nama Jokowi dan Prabowo. Cuma waktu itu modus LSI lebih canggih. Metodologi yang digunaka LSI didasari pada pengalaman pilpres 2004 dan 2009. Nama Prabowo mental karena menurut survei LSI, Gerindra tidak masuk 3 besar. Sedang nama Jokowi tidak dimasukkan karena bukan pimpinan struktural parpol. Memang dari sejumlah rlis survei, ARB selalu berada di peringkat ketiga dibawah Jokowi dan Prabowo. Dalam rilisnya, LSI menyebut ARB sebagai the real capres sedang Jokowi dan Prabowo hanya disebut sebagai capres wacana. Dan banyak yang menenggarai kalau survei tersebut didanai oleh ARB.