[caption caption="Massa dari Teman Ahok mengumpulkan dukungan melalui petisi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (1/3/2015).TRIBUNNEWS / DANY PERMANA"][/caption]Ahok di Jakarta bukan seperti Risma di Surabaya dan juga bukan Kang Emil di Bandung, apalagi seperti Jokowi di Solo. Baik Risma, Emil, maupun Jokowi hampir bisa dikatakan tidak memiliki musuh politik. Ketiganya membaur larut dengan segala lapisan dan komponen masyarakat di kotanya masing-masing. Sementara Ahok memiliki banyak musuh, baik di kalangan birokrasi, legislatif, parpol, ormas, dan sebagian warga DKI. Singkatnya, tingkat resistensi terhadap Ahok di Jakarta lebih besar ketimbang Risma, Emil, dan Jokowi di kotanya masing-masing
Kalau saja Risma mau, tanpa dukungan parpol pun ia bisa memenangi Pilwalkot Surabaya 2015. Demikian juga dengan Emil yang dipastikan akan memenangi Pilwalkot Bandung 2017 sekalipun tanpa parpol. Toh, seperti halnya Jokowi, Risma tetap maju sebagai cawalkot lewat dukungan PDIP. Pilihan politik serupa pun akan diputuskan oleh Emil.
Kurangnya dukungan warga Jakarta terhadap Ahok bisa terlihat dari lamanya waktu pengumpulan fotocopy KTP yang dlakukan oleh Teman Ahok. Bandingkan dengan Faisal Basri dan Hendradji Soepanji yang pada Pilgub 2012 lalu sanggup memenuhi persyaratan jumlah KTP dengan waktu yang relatif singkat.
Jadi jelas, kalau hanya mengandalkan dukungan “swasta”, Ahok tidak bakal mampu memenangi Pilgub DKI 2017. Karenanya, Ahok butuh sokongan mesin parpol. Masalahnya, parpol mana yang mampu mengurangi tingkat resistensi Ahok sekaligus mampu memenangkan Ahok?
Kemarin, Partai Nasdem menyatakan dukungannya kepada Ahok. Perolehan sara Nasdem di DKI pada Pileg 2014 lalu hanya 206.117 suara atau hanya 4,54 %-nya saja. Raupan suara Nasdem ini jauh di bawah PDIP, Gerindra, PPP, Demokrat, PKS, PKB, Hanura. Nasdem hanya mampu mengungguli PAN, PBB, dan PKPI.
Selain kekuatannya terbilang gurem dan tidak berdampak signifikan terhadap kemenangan Ahok, dukungan Nasdem kepada Ahok malah dapat berdampak buruk terhadap yang didukungnya. Kenapa demikian? Karena salah satu yang menjadi corong atau etalase dalam kampanye Ahok adalah Metro TV.
Ahok mendapat sentimen negatif dari sebagian umat Islam yang menjadi mayoritas pemilih DKI. Demikian pula dengan Metro TV yang dalam sejumlah pemberitaannya dianggap kerap menyudutkan sejumlah kelompok Islam. Pada awal Januari 2016, misalnya, Metro TV melempar fitnah keji kepada Wahdah Islamiyah dengan menyebut ormas Islam tersebut sebagai teroris.
Bahkan, pada 2013 Metro TV berhasil memecahkan rekor jumlah pengaduan yang diterima KPI. Pada tahun itu KPI menerima 43.552 pengaduan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 29.730 pengaduan diborong oleh Metro TV. Hebatnya lagi, Metro TV memborongnya hanya dengan satu kasus, yaitu infografis yang dibaca oleh sebagai pemirsa bahwa Metro TV menggambarkan rohis sebagai tempat pembibitan teroris. Bandingkan dengan jumlah pengaduan lainnya, seperti, Indonesia Lawyer Club yang ditayangkan TVOne dengan hanya 3.297 pengaduan, dan Supertrap TransTV dengan 2.265 pengaduan.
(Saya pribadi memiliki penilaian buruk atas karakter Metro TV sebagaimana yang saya ungkapkan dalam dua artikel:
Hati-hati Ikut Lomba yang Digelar Metro TV dan PT Newmont
dan