Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

(#Lomba Humor PK) Berasa Terbawa Kereta Api Hantu

11 Februari 2016   12:14 Diperbarui: 11 Februari 2016   13:11 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gatot Swandito

No. Peserta selanjutnya

Baru kali ini saya merasa begitu sangat yakin bakal menangi lomba. Lha bagaimana tidak, wong di artikel pengumuman Lomba Nulis Humor tertulis “Cukup agan-agan nulis pengalaman hidup di masa kecil”. Lantas diberi catatan, “Tulisan harus asli, wajib kisah nyata,”.

Nah, di situ persoalannya. Sebelum pengumuman event itu ditayangkan, saya sempat membaca berita soal kasus pembunuhan Mirna dari satu situs. Di situ pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri bilang, “Untuk pencarian fakta, jangan mengandalkan informasi dari mulut manusia, karena yang dari ingatan manusia sering lupa dan terputus. Jangan mengandalkan pada informasi dari mulut manusia."

Berarti, kalau cerita tentang kejadian yang baru kemarin-kemarin saja dianggap sudah rusak, apalagi kejadian di masa kecil yang sudah lewat sekian puluh tahun. Jadi, jelas kalau ada tulisan yang diikutkan lomba dan tulisan itu bercerita tentang masa kecilnya secara rinci, maka tulisan itu bisa dianggap lebih banyak ngarangnya. Dengan alasan itu, saya mendesak kepada panitia lomba untuk mendiskualifikasi semua tulisan yang bercerita secara detail. Dan hanya menyisakan tulisan saya ini sebagai satu-satunya tulisan yang dilombakan untuk kemudian dimenangkan.

Contohnya tulisan Jati Kumoro. Di situ Jati cerita tentang masa kecilnya sehabis disunat. Katanya dia merendam penisnya (mungkin karena ukurannya yang kecil lebih tepat kalau disebut “titit”) di kubangan. Cerita itu jelas bohong, sebab setelah saya tanya ke warga Sarkem, tidak seorang pun yang mengingat kalau di sekitar daerahnya ada kubangan seperti yang Jati ceritakan. Elde yang juga kakak kelas Jati juga tidak pernah tahu kalau adik kelasnya itu pernah merendam tititnya di dalam kubangan..

Ngomong-ngomong soal cerita masa kecil, saya malah jadi bingung, pasalnya tidak jelas kapan masa kecil itu berakhir. Soalnya, waktu SMA saja saya masih dibilang “anak kecil”. “Anak kecil jangan ikut-ikutan,” begitu kata bapak saya dulu. Jadi ada tambahan satu pertanyaan lagi, yang dimaksud masa kecil itu kapan? Tapi, ketimbang tanya-tanya malah bikin malu, saya ambil patokan sendiri saja. Patokannya, masa kecil adalah masa di mana bulu kemaluan belum tumbuh atau dapat mimpi basah. Nah, kalau kalau begitu berarti sebelum masuk SMP.

Cerita tentang masa SD aka masa kecil, saya punya pengalaman menarik yang pastinya tidak dialami oleh perserta lomba lainnya, termasuk Jati Kumoro, apalagi Elde kakak kelasnya Jati,  Dari lokasi tempat tinggal saja sudah bisa dipastikan dengan sangat mutlak kalau saya termasuk dari sedikit anak Indonesia yang melewati masa kecilnya dengan latar belakang perkeretaapian.

Saya ini tinggal di PKS (Perkampungan Kulon Stasiun). Makanya, kalau temen-teman kompasianer telpon saya malam-malam sering mendengar bebunyian yang berbau kereta api berserta “neng nang neng nung” dari  stasiun Kejaksan. Mungkin karena keganggu suara kereta dan stasiunnya, Chaca paling ogah kalau ditelpon malam. "Ganggu konsentrasi," katanya.

Waktu saya kecil area stasiun belum ditutup untuk publik (baru ditutup sekitar 5 tahunan yang lalu setelah Jonan jadi Dirut PT KAI). Di situ saya dan anak-anak lainnya sering bermain, mulai dari main regudag (kejar-kejaran), rekumpet (petak umpet), main bola, main voli, tokle (permainan ketangkasan dengan menggunakan dua ranting lurus, bambu, atau kayu yang ukurannya sepanjang sumpit). Tidak jarang saya numpang kereta, kalau ke arah barat turun di stasiun Jatibarang, kalau ke arah timur di stasiun Sindanglaut. Nanti pulangnya naik kereta yang ke arah Cirebon.

Cerita yang yang mau saya ceritakan ini terjadi waktu saya kelas 5 SD. Tanggalnya lupa. Harinya ingat: Rabu. Waktu itu saya dengan tiga orang teman, Wawan, Opik, dan Aris sedang main-main di area stasiun. Lupa juga apa yang kami mainkan. Mungkin cuma duduk-duduk sambil bersenda gurau.

Tidak jauh dari tempat kami bermain, sebuah lokomotif warna kuning melintas. Lokomotif itu kemudian menggandeng satu gerbong penumpang. Setahu saya, gerbong penumpang itu akan dirangkaikan dengan rangkaian kereta yang ada di jalur 1 atau 2. Biasanya seperti itu.

“Tuh ada kereta yang mau langsir!”

“Naik, yuk!”

Melihat lokomotif dan gerbong yang ditariknya mulai berjalan, kami berempat berlarian ke arah gerbong penumpang, Begitu mendapati ada pintu gerbong yang terbuka, kami bergegas melompat masuk. Ternyata bukan hanya kami berempat, ada tiga anak lainnya yang sudah ada di dalam gerbong penumpang (Sampai sekarang saya tidak pernah tahu nama ketiga anak itu, karena belum pernah melihat sebelumnya, apalagi kenalan).

Nyangklik (naik ke atas kendaraan yang akan atau sedang berjalan) di gerbong penumpang yang sedang dilangsir sudah biasa bagi warga yang tinggal di sekitar stasiun. Selama pelangsiran biasanya anak-anak berlarian di sepanjang lorong kereta atau berloncatan dari satu bangku ke bangku lainnya. Kadang pada sore hari tidak jarang mendapati orang tua yang sedang menyuapi anak balitanya..

“Lha kok keretanya terus saja?” kata teman begitu kereta melewati Dipo.(bengkel kereta api)

Kereta yang langsir berhenti setelah melewati persimpangan rel yang berada persis di depan Dipo. Setelah itu kereta berbalik arah dan memasuki jalur lain yang sudah ditentukan.

Tapi, kereta yang kami naiki tidak berhenti. Lokomotif penariknya malah menambah kecepatannya. Kami saling pandang dengan tatapan bingung.

“Ada apa?”

“Tidak tahu.”

“Aneh.”

“Iya.”

Pada saat itu kami mulai menyadari kalau gerbong penumpang yang kami naiki bukan gerbong penumpang yang akan disambungkan dengan rangkaian gerbong penumpang lainnya.

“Kenapa?”

Tanpa bicara kami berlarian menuju pintu belakang. Sampai di pintu, saya hanya bisa melongok ke luar. Sempat muncul niat untuk melompat ke luar. Tapi melihat bebatuan, pepohonan, dan benda-benda lainnya yang berseliwearan, saya jadi takut. Kalau saja terdenger musik “Mission Impossible” mungkin saat itu saya sudah lompat.

Ah, mending juga lompat dari pesawat yang terbang tinggi. Kan selama melayang jatuh, kita masih sempat teriak minta tolong ke orang-orang yang ada di bawah. Lha, kalau melompat dari kereta ...

Kepanikan menjalar begitu kereta melewati jalan Slamet Riadi. Salah seorang dari kami berlari ke depan gerbong. Sampai di bordes ia berteriak-teriak ke arah lokomotif minta masinis memberhentikan kereta. Tentu saja teriakan itu tidak terdengar oleh masinis.

Saya sendiri menggedor-gedor kaca jendela sambil terus berteriak-teriak berharap ada orang di luar sana yang melihatnya. Bagai pungguk merindukan bulan. Tidak ada seorang pun di luar sana yang melihat. Lagian, bagaimana mau ada yang liat, wong kanan kiri rel sawah semua. Sontak kepanikan berubah menjadi ketakutan.

Kereta sempat melambat ketika memesuki stasiun. Tidak jelas stasiun yang mana, Cangkring atau Arjawinangun. Kembali kami berlari ke pintu. Ternyata, kereta hanya melambat, tanpa berhenti barang sedetik pun. Melihat ada sejumlah orang di stasiun itu, Kami pun berteriak-teriak memanggil sambil melambai-lambaikan tangan. Namun tidak seorang pun yang menggubrisnya. Dan, kereta pun kembali melaju cepat.

Tidak berhasil keluar dari gerbong, kami kembali ke bangku kereta. Ada yang duduk di atas bangku. Ada juga yang duduk njeleprok di lantai. Sementara tenggorokan mulai terasa kering. Dan di gerbong itu tidak mungkin ada air. Pada waktu itu meski air kemasan botol sudah ada, tapi penumpang kereta masih memilih membeli air putih, teh, kopi berbungkus plastik yang dijual oleh pengasong. 

“Jangan-jangan ini kereta hantu,” kata seorang teman. Suaranya tidak terdengar.

Tentu saja ucapannya itu malah bikin takut. Bagi kami yang tinggal di sekitar stasiun, cerita hantu seputar perkeretaapian bukan hal yang aneh. Ada cerita tentang kereta tua yang semua penumpangnya hantu bule Belanda. Ada kisah tentang kereta yang jalan tanpa masinis. Ada juga cerita kereta yang rodanya tidak menyentuh rel.

Waktu itu saya sudah sering nonton video horor. Mulai dari film “Nyi Blorong” Suzzana sampai “Permainan Cinta” Ricki Ricardo. Ada satu film horor yang paling berkesan, judulnya “Anak Ajaib”. Berkesan karena ada adegan tangan setan yang nongol dari lubang WC. Gara-gara nonton film itu setiap e’e’ saya jadi sering melongpok ke lubang WC.

“Jangan-jangan kereta ini mau pergi ke alam jin,” pikirku. Waktu itu melintas cerita tentang kereta hantu yang membawa penumpangnya menuju alam gaib. Di alam gaib itu penumpang yang terbawa dijadikan tawanan.

Ketakutan mulai menjalar. Bulu kuduk merinding. Mulai terdengar suara tangisan.

*** (Jeda Iklan)

Aku mendengar suara gaduh. Kulihat juga orang-orang berjalan mendekat. Mereka membawa ras dan dus. Ada juga yang menggendong anak.

“Kereta sudah berhenti.”

“Kita keluar,” ajak salah seorang dari kami.

“Tapi,bagaimana kalau ...?”

“Jin ya?” .... “Alam jin”

“Iya.”

Seorang bapak berdiri. Tangannya menenteng tas. Matanya memandang ke arahku. “Mau pada kemana ini?”

Tanpa menjawab pertanyaan si bapak, saya melompat bangkit lalu keluar dari gerbong kereta. Begitu sampai di luar saya celingak celinguk melihat kanan kiri. “Cipunegara?” tanya saya. “Cipunegara itu di mana?”

Tidak seorang teman pun yang menjawab.

“Apa ada stasiun yang namanya Cipunegara?” Saya kembali bertanya. “Kok, namanya aneh?”

Tidak ada yang menjawab..

“Jangan-jangan ini di alam jin,” .

“Jadi ini yang namanya stasiun jin.”

Sempat kulihat Wawan jatuh. Sesaat kemudian ada lagi menyusul jatuh. Orang-orang berlarian mendekat.

“Orang-orang itu ....!” Melihat orang-orang yang berhamburan mendekat, saya tambah ketakutan. Mau lari, tapi kaki tidak bisa digerakkan. Kedua lutut terasa bergetar. “Jangan-jangan orang-orang itu jin.”

Saat pikiran tidak menentu dan ketakutan yang memuncak saya berasa dibawa ke satu ruangan. Dari tujuh anak yang terbawa kereta, hanya tiga yang kulihat. Sata tidak melihat tiga anak lainnya. Di ruangan itu kami berempat ditanyai ini-itu. Saya tidak tahu apakah jawaban saya benar atau salah. Malah saya tidak ingat apakah saya menjawab pertanyaan atau hanya menunduk ketakutan. Pikiran saya waktu itu sedang ditanyai oleh jin gendut.

Suasana bertambah gaduh saat salah seorang dari kami jatuh pingsan. Di saat-saat itu saya melihat kedatangan tetangga saya, Om Kuswandi (Alm). Plong rasanya bertemu dengan orang yang saya kenal.

“Ternyata bukan di alam jin!”

Ternyata Om Kuswandi yang menjadi masinis lokomotif yang menarik gerbang penumpang yang saya naiki. Kembali saya dimarahi. Tapi, biarpun dimarahi, perasaan saya ketika itu sudah lebih tenang karena tahu kalau saya tidak berada di alam jin.

Kami pulang dengan naik kereta. Dalam perjalanan Om Kuswandi bertanya, “Kenapa tidak turun di Haurgeulis? Di situ kereta berhenti lama.”

Katanya lagi, di Cipunegara gerbong penumpang yang kami naiki dilepas dari lokomotifnya sebelum disambungkan dengan rangkaian kereta lain yang menuju Jakarta. “Kenapa tidak turun waktu itu?”

“Kereta sempat berhenti lama? .. Di Haurgeulis?” saya mengingat-ingat, apakah benar kereta sempat berhenti. Tapi saya tidak tahu kalau kereta berhenti di stasiun Haurgeulis. Apa mungkin waktu itu saya tertidur, atau malah pingsan.

 

http://www.kompasiana.com/planetkenthir/this-moment-lomba-menulis-humor-planet-kenthir_56afe82d349373610f13e7c2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun