Sekarang mulai ramai dihembuskan kalau ISIS itu Syiah. Tiupan isu ini ada dampak positifnya, tapi ada juga dampak negatifnya. Dampak positifnya, dukungan terhadapi ISIS. Tetapi, isu ini juga berdampak pada meningkatnya kebencian terhadap Syiah. Sialnya, sekalipun dukungan terhadap ISIS menurun, ancaman terorisme di Indonesia justru semakin meningkat.
ISIS lahir di Irak sebagai anak kandung dari Al Qaeda. Setelah menguasai wilayah Irak, kelompok ISIS melebarkan wiyalah operasinya ke Suriah menyusul pemberontakan di Suriah yang menyasar penggulingan Presiden Basyar al Assad.
Suriah sendiri telah lama distempel oleh negara-negara Barat sebagai axis of evil bersama dengan Iran dan Korea Utara. Dan sejak lama pula Barat menggelar operasi intelijen penggulingan Assad. Akhirnya, meletuslah Arab Spring yang diawali di Tunisia, Mesir, Libya, kemudian mulai merasuki Suriah pada 2011. Timbullah pemberontakan FSA (Free Syrian Army) yang bertujuan menggulingkan Assad.
Pemberontakan FSA yang ditambah masuknya ISIS ke Suriah menambah situasi semakin sulit dikendalikan. Apalagi, dari waktu ke waktu jumlah personel milisi ISIS terus meningkat. Membesarnya kekuatan ISIS yang diiringi pertunjukkan kekejaman ini manarik NATO dan sekutunya untuk turun tangan. Dengan dipimpin Amerika Serikat, pada awal September 2014 40 negara terjun ke Suriah guna memerangi ISIS.
Masuknya 40 negara yang menambah situasi semakin kacau ini menimbulkan gelombang pengungsian besar-besaran rakyat Suriah ke sejumlah negara, khususnya Eropa pada pertengahan 2015. Menariknya, dari pernyataan-pernyataan para relawan yang mengurus pengungsi, pengungsi, serta lainnya yang dimuat sejumlah media dan media sosial terlihat jika mereka anti-Assad. Hal ini secara politis semakin mendesak posisi Assad untuk segera melepas jabatannya. Di tengah situasi yang bertambah kacau, pada Oktober 2015 Rusia menerjunkan militernya ke Suriah.
Masuknya militer Rusia membuat keseimbangan di Suriah bergeser, Posisi Assad kembali menguat. Bahkan pada akhir Oktober ribuan pengungsi Suriah mulai kembali ke tanah airnya. Kemudian pada 13 November 2015 terjadi serangan teroris di Paris yang dilakukan oleh ISIS. Buntut dari serangan teror in, dengan alasan khawatir menyusupnya ISIS lewat arus pengungsi, beberapa negara menolak kedatangan pengungsi asal Suriah. Akibatnya, posisi Assad kembali goyah.
Tiga hari kemudian Presiden Rusia Vladimir Putin mengungkapkan ada 40 negara yang membiayai ISIS. Tudingan Putin ini disusul oleh dipublikasikannya video-video serangan-serangan Rusia atas truk-truk ISIS.
Peristiwa penting lainnya adalah ditembakjatuhnya SU 24 milik Rusia oleh F 16 milik Turki. Menyusul insiden ini informasi-informasi intelijen Rusia tentang keterkaitan Turki dengan ISIS dibeberkan. Belakangan Rusia memfokuskan tekanannya kepada Presiden Erdogan dan partai pengusungnya, AKP.
Dari serangkaian peristiwa tersebut ada benang beberapa poin yang menarik. Pertama, Assad diidentikkan dengan Syiah. Kedua, terjadi pemberontakan oleh FSA yang sering mengaku sebagai Sunni. Ketiga, masuknya ISIS menimbulkan kekacauan yang semakin sulit diatasi oleh Assad. Dengan kata lain, ISIS membantu FSA yang mengklaim sebagai Sunni untuk menjatuhkan Assad yang diidentikan dengan Syiah. Logiskah jika ISIS yang Syiah membantu FSA yang Sunni untuk menggulingkan Assad yang Syiah?
Kedua, serbuan tentara Rusia terhadap ISIS mampu menguatkan posisi Assad. Menyusul serbuan Rusia tersebut, keluarlah seruan jihad melawan Rusia oleh 50-an ulama Arab Saudi (Sunni). Dan, pada Juni 2013 ulama Saudi mengeluaran “fatwa” yang menyerukan kepada umat muslim dunia untuk berjihad melawan Assad. Jika ISIS adalah Syiah, mungkinkan ulama Arab Saudi mengeluarkan seruan untuk jihad melawan Rusia yang telah membantu Assad yang dianggap rezim Syiah?
Bukankah Arab Saudi telah membentuk aliansi 34 negara berpenduduk mayoritas muslim untuk memerangi teroris di Suriah dan Irak? Benar! Tetapi, apakah aliansi ini akan mempu membumihanguskan ISIS di Suriah dan Irak, atau justru sebaliknya serangan aliansi bentukan Arab hanya akan menimbulkan kekacauan di Suriah yang akan membuat posisi Assad kembali goyah? Karena bisa jadi serangan aliansi Arab tidak ada bedanya dengan aksi militer 40 negara pimpinan AS.
Tudingan kalau ISIS merupakan bentukan Assad semakin menguat setelah terjadinya serangan teror di Paris. Sebuah status Facebook dari akun milik host ternama Al-Jazeera DR. Faisal Al-Qassim yang bertanya, “Kenapa kalian menyasar Perancis negara yang mendukung REVOLUSI di Suriah? Kenapa kalian tidak menyasar Iran yang jelas-jelas dukung rezim Basyar Assad?” Oleh netizen status itu disebarluaskan dan dijadikan pembenaran jika ISIS adalah Syiah.
Kenapa ISIS bukan menyerang Iran? Jawabannya mudah, kalau menyerang Iran sama saja dengan mengundang militer Iran untuk lebih aktif di Suriah. Turunnya kekuatan milirer Iran yang akan bergabung dengan tentara Rusia tentunya akan lebih menguatkan aliansi pro Assad.
Menarik lagi, jika ISIS menganut Syiah dan bentukan Assad, kenapa milisi ISIS lebih memilih Turki sebagai batu loncatan untuk memasuki Suriah. Dan, kenapa Turki diduga melonggarkan wilayah perbatasannya dengan Suriah. Bahkan kemudian diberitakan adanya rekaman hasil sadapan yang berisi percakapan petugas Turki di perbatasan dengan milisi ISIS. Milisi ISIS lebih memilih Turki untuk memasuki Suriah karena besarnya dukungan Erdogan kepada revolusi Suriah yang bertujuan menggulingkan rezim Assad.
Jadi sangat jelas jika ISIS bukan Syiah dan bukan rekaan Assad. Lalu, kenapa propaganda ISIS adalah Syiah semakin gencar? Propaganda ini tidak lain dan tidak bukan bertujuan untuk merusak citra Syiah yang ujung-ujungnya akan meningkatkan kebencian terhadap penganut Syiah di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H