Menginjak usianya yang ke 58 tahun PT Pertamina (Persero) bertekad untuk dapat menjadi ‘the true economic powerhouse’ yang berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dan mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi nasional. Itulah misi Pertamina sebagaimana yang disampaikan oleh direktur utamanya, Dwi Soetjipto, pada acara syukuran HUT ke-58 Pertamina yand digelar di kantor pusatnya di Jakarta pada 10 Desember 2015..
Misi Pertamina tersebut pastinya berkaitan dengan upaya mengamankan energi masa depan. Untuk mewujudkannya diperlukan sumber energi yang stabil serta berkecukupan dan tentu saja dengan harga yang terjangkau. Masalahnya, sumber energi yang saat ini paling mendominasi, yaitu energi fosil, lama kelamaan akan habis persediaannya menyusul jumlah cadangannya yang kian menipis. Karenanya, misi Pertamina tersebut tidak mungkin terwujud tanpa adanya upaya pengembangan energi alternatif.
Dan, perlu dicatat, kegagalan dalam perencanaan dan penerapan kebijakan terkait energi sangat beresiko tinggi. Kalau gagal, berbagai persoalan akan datang menyerbu, mulai dari masalah ekonomi, politik, keamanan dan lain sebagainya, yang pada akhirnya mengakibatkan kegagalan sebuah negara. Sedangkan untuk pemulihannya diperlukan waktu yang cukup lama. Sementara waktu tidak bisa diputar mundur.
Bicara tentang kemandirian energi, sebenarnya pemerintah mempunyai program unggulan yang dinamakan Desa Mandiri Energi (DME). Dalam program ini Pertamina turut berpartisipasi lewat program Corporate social responsibility (CSR) dan Small Medium Enteprise Partneship Program (SME PP) yang dibentuknya. Sedangkan tujuan dari program ini adalah untuk menyediakan energi dengan memanfaatkan potensi energi di desa setempat. Sebagai sumber energinya, DME berbasiskan pada bahan bakar nabati (BBN) dan non-BBN..
Program DME diresmkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan Program DME di Desa Tanjungharjo pada 21 Februari 2007. Pada saat itu Desa Tanjungharjo sekaligus ditetapkan sebagai desa percontohan DME. Terpilihnya desa yang terletak di Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan tersebut disebabkan masyarakat di sana sudah membudidayakan jarak pagar sejak masa pendudukan Jepang di Indonesia.
Program Desa Mandiri Energi 95 % Gagal
Sayangnya, program ciamik ini kemudian dinilai gagal. Tidak tanggung-tanggung, menurut Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi, Program DME 95 %-nya gagal. Hal itu disampaikan Rinaldy dalam sebuah diskusi yang digelar pada 29 November 2015 lalu. What’s going on? Tapi, amat disayangkan jika program ini sampai gagal, atau bahkan dihentikan. Bagaimana pun itu selama masih ada solusi, “the show must go on”.
Ironisnya, 4 tahun kemudian salah satu dari desa yang dinilai gagal adalah Desa Tanjungharjo sendiri. Pasalnya, petani penggarap tanaman penghasil bahan baku BNN pun dikecewakan dengan rendahnya harga jual hasil panen. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Tanjungharjo, Suhari. Menurutnya, pada awalnya kelompok tani di desa tersebut sangat antusias. Getirnya DME dirasakan para petaninya setelah harga jual hasil panennya jauh di bawah harga yang dijanjikan. Sebelumnya, petani dijanjikan harga Rp 1.500 per kilogram, tapi pada kenyataannya untuk per kilogramnya hanya dihargai Rp 700.
Wajar bila Suheri menumpahkan kekesalannya dengan mengatakan, “Desa Mandiri Energi itu program bohong-bohongan,”
Masalah serupa pun terjadi di di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Sekalipun ada bantuan dana dari pemerintah sebesar Rp 12 juta hingga Rp 15 juta per kecamatan, namun bantuan tersebut tidak menutupi ongkos produksi. Karena merugi, petani pun kembali menanami lahannya dengan tanaman pangan. Akibatnya, luas area tanam pun terus menyusut..
Bukan hanya persoalan harga jual hasil panen yang memicu kegagalan DME. Minimnya alokasi anggoran bagi program ini pun menambah sengkarutnya persoalan yang menumpuki DME. Persoalan ini dikemukakan oleh Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi disela-sela Rapat Kordinasi Nasional DME di Makassar pada 6 Mei 2010. Menurut Bayu, untuk memaksimalkan program DME, setiap desa membutuhkan dana rata-rata sekitar Rp 1 miliar.
Selain “Rupiah”, masalah lain pun ikut nimbrung. Masalah yang nimbrung ini terbilang klasik: Tidak adanya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Persoalan ini diungkapkan oleh Rinaldy. Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) ini mencontohkan kejadian di mana pemerintah pusat memberikan alat yang tidak sesuai dengan kondisi geografi desa sasaran. Sampai-sampai ada sebuah desa yang ingin mengembangkan ethanol dari tanaman singkong, tetapi pemerintah pusat malah memberikannya traktor.
"Akhirnya traktornya tidak bisa bekerja, karena di perbukitan," pungkas Rinaldy.
Dengan demikian, setidaknya, ada tiga masalah dalam pelaksanaan program DME. Pertama, rendahnya harga hasil panen yang menyebabkan petani bangkrut. Kedua, minimnya anggaran. Dan ketiga, tidak adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sebenarnya, ada masalah lain dalam pelaksanaan program DME. Masalah tersebut adalah dialihfungsikannya lahan pangan menjadi lahan “energi”.. Masalah ini dan solusi sederhananya bisa dibaca di artikel “Jangan Kaget kalau Nanti dari Kuburan Menyembur Minyak”.
Apa regulasi yang dibutuhkan?
Menarik untuk mengetahui, kenapa harga jual biji jarak pagar hasil panen petani hanya separuh dari yang semula dijanjikan? Sayangnya jawaban atas pertanyaan tersebut tidak ada dalam berbagai pemberitaan media. Namun demikian, secara teori, setidaknya ada dua kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut terjadi.
Kemungkinan pertama, pabrik pengolah BBN berusaha menekan biaya produksi agar produk yang dihasilkannya dapat bersaing di pasar. Kalau memang harga jual BBN tidak mampu bersaing dengan BBM fosil, sudah barang tentu salah satu solusinya adalah dengan menambah subsidi bagi BBN. Dan, penambahan subsidi tersebut sudah dianggarkan dalam RAPBN 2015. Dalam RAPBN tersebut, subsidi untuk BBM dialihkan ke BBN. Dengan penambahan subsidi ini harga BBN dapat bersaing dengan harga BBM.
Kemungkinan kedua, pabrik pengolah membeli bahan baku dengan harga rendah untuk menekan ongkos produksi guna meningkatkan laba. Dalam kasus BBN, wajar jika hal ini terjadi mengingat pasar yang terbentuk antara petani penghasil bahan baku BBN dengan industri pengolahnya berjenis monopsoni. Dalam kasus ini, pabrik bisa memainkan harga sesuai dengan keinginannya. Sebaliknya, petani tidak memiliki daya untuk menentukan harga hasil panennya.
Tetapi, dalam kasus BBN terbentuknya pasar monopsoni bukan pelanggaran atas UU UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jenis pasar ini terbentuk karena industri pengolahan BBN belum mampu menarik minat investor. Karenanya, sengketa harga hanya bisa diselesaikan dengan turun tangannya pemerintah dalam menetapkan regulasi terkait harga jual komoditi bahan baku BBN.
Masalah kedua adalah soal minimnya dana yang dialokasikan pemerintah untuk program DME. Kalau melihat angka yang dikemukakan oleh mantan Wakil Menteri Pertanian yang mengatakan setiap desa membutuhkan dana Rp 1 milyar..Maka kebutuhan tersebut sangat berat untuk dicukupi. Sebaliknya, jika berkaca pada bantuann dana dari pemerintah untuk program DME di Kabupaten Sleman yaitu sebesar Rp 12 juta hingga Rp 15 juta per kecamatan, maka dana yang dibutuhkan per desanya tidak sebesar yang dikemukankan oleh mantan Menteri Pertanian.
Kebutuhan dana setiap desa untuk melaksanakan program DME memang berbeda-beda, tergantung dari beragamnya sumber energi yang bisa dihasilkan dan kuantitasnya. Kebutuhan dana bagi desa yang memiliki sumber energi air pembangkit listrik berbeda dengan desa yang hanya memiliki lahan untuk ditanami tanaman penghasil bahan baku BBN. Tetapi, berapa pun dana yang dibutuhkannya, bebannya bisa diringankan dengan mengalokasikan sebagian dari dana desa yang rata-rata Rp 1 milyar per desanya. Dari sini pemerintah tinggal menetapkan regulasi agar setiap desa wajib mengalokasikan dana desa yang diterimanya guna keberhasilan program DME.
Dan, untuk melahirkan regulasi terkait penetapan harga bahan baku BNN dan pengalokasian dana desa, pemerintah cukup menggunakan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006.
Sedangkan masalah yang ketiga tentang kacaunya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kalau sampai ada kasus di mana traktor yang dikirim ke daerah perbukitan. Sepertinya bukan regulasi yang dibutuhkan, tetapi UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang harus disodorkan.
Sumber ilustrasi:
http://print.kompas.com/baca/2015/10/12/Pertamina-Siapkan-46-Terminal-BBM-untuk-Pencampura
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H