Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

"Papa Minta Saham" Bukan Hasil Penyadapan, tapi Perekaman

8 Desember 2015   09:29 Diperbarui: 8 Desember 2015   19:07 5070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Rekaman yang dimiliki oleh saudara Maroef Sjamsoeddin diperoleh secara melawan hukum, tanpa hak, tanpa izin, serta bertentangan dengan undang-undang. Karena itu, tidak boleh digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan etik yang mulia ini sebab alat bukti perekaman tersebut adalah ilegal."

"Bahwa saudara Maroef Sjamsoeddin adalah pegawai swasta perusahaan asing di Indonesia (PT Freeport Indonesia), bukan penegak hukum yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk merekam/menyadap pembicaraan pejabat negara atau warga negara Indonesia atau siapa pun di bumi Indonesia.”.

Itulah serentetan pembelaan Novanto yang didapat wartawan dari salah seorang anggota MKD yang tidak mau diungkap identitasnya.

Sama seperti pendapat yang dilontarkan oleh anggota MKD pendukung KMP, dalam sidang MKD kemarin pun Setya Novanto mempersoalkan legalitas bukti rekaman yang diperolah Maroef Sjamsoeddin. Bukan hanya Novanto dan anggota MKD pendukung KMP, banyak pengamat dan pakar yang juga berpendapat serupa. Pendapat yang menyebut rekaman tersebut ilegal banyak dimuat di media yang selama ini dikenal sebagai pendukung KMP.

Pertanyaannya sangat sederhana, aturan mana di negara ini yang menyebut merekam sebagai perbuatan ilegal atau melanggar hukum? Apakah Novanto atau pengacaranya bisa menunjukkan pasal-pasal mana yang dilanggar oleh Maroef?

Perekaman suara yang dilakukan oleh Maroef tidak ada bedanya dengan perekaman CCTV oleh minimarket. Tidak ada bedanya dengan memotret. Tidak ada bedanya juga dengan merekam dengan menggunakan handycam.

Kalau ada maling helm yang mencuri dengan menggunakan sepeda motor. Kemudian ada orang yang memotret plat nomor motor yang dikendarai si maling helm. Apakah orang yang memotret itu telah melanggar aturan karena telah memotret tanpa mendapat izin dari si maling helm.

Yang dilakukan Maroef jelas bukan menyadap, tetapi merekam. Jika mengacu pada UU No. 11 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Di situ ada kata “Transaksi”. Transaksi apa dengan apa? Lihat Pasal 1 poin 7. Di situ disebut, “Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.” Memangnya sewaktu merekam Maroef menggunakan dua perangkat elektronik yang ber-Transaksi data? Tidak, karena menurut kesaksiannya, Maroef merekam pembicaraan hanya dengan ponsel merek Samsung.

Tentang penyadapan dijelaskan dalam UU ITE Pasal 31 Ayat 1, “Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.”

Memang dalam pasal tersebut tercantum kata “merekam”. Tetapi obyek yang direkam menurut pasal tersebut adalah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Apakah suara yang keluar dari mulut manusia termasuk dalam informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik?  

Kemudian, apakah suara yang keluar dari mulut Maroef, Setya, dan Riza terhubung ke alat perekam dengan menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel yang dipancarkan oleh gelombang elektromanetis atau radio frekuensi?

Jadi, pertanyaan untuk Novanto dan pengacaranya, “Apakah mulut manusia beserta isinya termasuk barang elektronik yang mengeluarkan informasi dan/atau dokumen elektronik?”

Merekam dan menyadap itu beda. Ini contoh kasusnya.

Untuk penyadapan, contoh kasusnya adalah penyadapan National Security Agency (NSA) terhadap Presiden SBY yang terungkap pada 2013 lalu. Dalam kasus itu, NSA dengan penyadapnya (alat elektronik) nguping segala aktivitas ponsel (alat elektronik) milik SBY dengan menggunakan jaringan nirkabel yang dipancarkan oleh gelombang elektronik.

Sedang untuk kasus perekaman, contoh kasusnya adalah ditemukannya alat perekam di rumah dinas Jokowi ketika ia masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2013. Alat perekam yang ditemukan itu digunakan untuk merekam suara-suara yang terdengar dalam radius tertentu. Kemudian, suara yang tertangkap oleh alat perekam tersebut dipancarkan dengan menggunakan gelombang elektromagnetis ke radio penerima.

Kenapa kepada SBY dikatakan disadap sedang kepada Jokowi bukan? Lihat Pasal 31 ayat 1 “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.”

Jadi, yang dimaksud penyadapan jika si pelaku memasuki suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu mlik targetnya. Di dalam kasus SBY pelaku memasuki sistem elektronik yang ada pada HP milik SBY. Sedang dalam kasus Jokowi, pelaku merekam suara tanpa memasuki sistem elektronik apapun.

Maka, jelas yang perekaman yang dilakukan Maroef bukan hasil dari penyadapan, tapi perekaman. Dengan demikian UU ITE tidak bisa dikaitkan dalam kasus ini.

Karena tidak ada satu pun aturan di negara ini yang melarang merekam dan yang dilakukan Maroef pun bukan menyadap tetapi merekam, maka rekaman “Papa Minta Pulsa” adalah legal.

Sumber “pledoi” Novanto dan foto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun