Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Diserang Isu Basi

7 Januari 2014   20:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:03 2056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski puncak pagelaran ajang pencarian bakal capres Partai Demokrat masih lama yaitu setelah pileg, tapi situasi saling serang sudah dimulai. Lucunya, para perserta konvensi ini bukannya saling serang di antara mereka sendiri, tapi malah menyerang Jokowi. Lebih lagi, serangan yang mengaitkan tingkat elektabilitas Jokowi dengan tingginya tingkat ekspos media sudah terbilang basi. Entah apa maksud mereka memanasi lagi soal yang sudah basi ini.

Di hari yang sama, Senin (6/1/2014), serangan perserta konvesi terhadap Jokowi diawali oleh Hayono Isman. Hayono membandingkan dirinya dengan Jokowi yang menurutnya mendapatkan dukungan media dalam berbagai aktivitasnya.

"Saya belum sehebat Jokowi yang didukung oleh sebuah partai yang namanya partai media," kata Hayono di kantor Sekretaris Konvensi Demokrat, Jakarta.

Peserta konvensi lainnya Endriartono Sutarto, menyindir popularitas dan elektabilitas tinggi Jokowi diraih lantaran disukai media massa. Lantas, ia pun menyebut era politik saat ini sebagai era yang aneh.

"Sekarang ini eranya aneh. Mereka yang terpilih, mereka yang terkenal karena sering muncul di televisi," tandasnya.

Setali tiga uang dengan para pesaing lainnya, Marzuki Alie juga menilai melambungnya Jokowi karena peran media.

"Seperti nama Jokowi, media itu kan ke mana-mana beritain Jokowi. Ini yang memengaruhi masyarakat di daerah, padahal mereka tidak kenal Jokowi. Saya sempat tanya kenapa warga di daerah itu suka Jokowi? Mereka bilang karena media, padahal mereka tidak tahu apa prestasinya Jokowi," ujar Marzuki saat berkunjung ke Redaksi Kompas.com.

Memang benar, media lebih sering memublikasi sosok Jokowi. Jokowi diekspos dari keluar sampai masuk kembali ke dalam kamar tidurnya. Media memberitakan Jokowi tidak hanya seputar kinerjanya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Soal sepatu yang sobek karena sering dipakai blusukan, soal kaos bergambar tengkorak yang dipakainya ketika menonton Guns n Roses, sampai tatanan rambutnya pun ramai dipublikasikan.

Bandingkan dengan ketiga peserta konvesi Partai Demokrat di atas. Dari ketiganya hanya Marzuki yang paling banyak disorot media, itu pun bukan good news, melainkan bad news, seperti soal ketidakdisiplinan anggota DPR yang sering membolos, korupsi yang menjerat anggota legislatif, biaya renovasi toilet yang mencapai Rp 2 milyar.

Pertanyaannya, apakah frekuensi kemunculan di media berpengaruh pada tingkat elektabilitas?

Tingkat elektabilitas belum tentu berbanding lurus dengan tingkat popularitas. Siapa yang tidak kenal Rhoma Irama? Bila disurvei pastinya tingkat popularitas Raja Dangdut ini tinggi, tapi bagaimana dengan tingkat keterpilihannya? Bandingkan dengan Tri Rismaharini. Walikota Surabaya ini jarang mendapat sorotan media nasional, apalagi internasional. Popularitasnya pasti jauh di bawah Rhoma, dan dengan tingkat popularitasnya yang rendah itu sudah pasti tingkat elektabilitasnya rendah. Tapi, bila dilihat rasionya selisih tingkat popularitas dan tingkat elektabilitas Risma ini lebih kecil ketimbang selisih yang dimiliki Rhoma. Artinya, orang yang mengenal Risma cenderung untuk memilihnya, sedang orang yang mengenal Rhoma cenderung untuk tidak memilihnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun