Pengaruh ekonomi AS
Sebagai negara yang menganut madzhab ekonomi terbuka, perekonomian Indonesia tentu sedikit banyak dipengaruhi dinamika ekonomi global. Sebulan kemarin (September) tercatat beberapa kejadian yang mempengaruhi stabilitas ekonomi global maupun nasional. Â
Isu tapering off atau pengurangan stimulus moneter Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed), diprediksi berdampak buruk pada stabilitas eksternal. AS juga untuk pertama kalinya terancam gagal  membayar utangnya (default) yang per Agustus 2021 mencapai USD28,4 triliun.Â
Kombinasi keduanya diperkirakan mengakibatkan menguatnya nilai dolar AS, keluarnya modal asing dari pasar keuangan dalam negeri (capital outflow), hingga suku bunga global yang melonjak.
Penguatan kurs dolar AS didorong masih kuatnya wacana tapering yang akan mengakibatkan keringnya pasokan dolar AS. Sedangkan mimpi buruk default akan mengakibatkan nilai obligasi (AS) akan turun, sehingga yield atau jumlah yang harus dibayar untuk utang yang tidak aman meningkat.Â
Mengingat pengaruh obligasi AS sangat kuat, maka akan memicu kenaikan suku bunga di seluruh dunia tidak terkecuali Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia.
Gonjang-Ganjing Tiongkok
Tantangan tidak hanya datang dari AS, namun juga dari negeri tirai bambu Tiongkok, yaitu kasus perusahaan Evergrande yang sudah sampai market Tiongkok. Sebagaimana diketahui bahwa Evergrande, perusahaan properti terbesar di Tiongkok, mengalami kondisi gagal bayar sebesar USD308 miliar.Â
Bayang-bayang mimpi buruk Lehman Brothers tahun 2008 pun seketika muncul kembali.
Kasus Evergrande ini menjadi potensi krisis karena hutangnya kepada sekitar 300 lembaga keuangan. Jika Evergrande default, maka akan mempengaruhi kemampuan para lembaga keuangan (Bank dll) dalam memberikan pinjaman.Â
Bila perusahaan sulit mencari kredit (krisis kredit), mengakibatkan sulit untuk tumbuh bahkan stop beroperasi. Belum lagi image Tiongkok akan kurang menarik dijadikan tujuan investasi.Â
Melihat kontribusi Tiongkok terhadap perdagangan dunia maupun ekonomi global, tidak berlebihan kekhawatiran krisis meluas dalam skala global.
Belum selesai dengan kasus Evergrande, Tiongkok dibayangi oleh krisis energi. Konflik perdagangan dengan Australia ditambah peningkatan permintaan dalam negerinya, mendorong Tiongkok mengambil kebijakan untuk membeli lebih banyak minyak dan pasokan energi lainnya.Â
Kondisi ini jelas akan mempengaruhi pergerakan harga minyak bumi dunia, yang saat ini juga terpengaruh persediaan minyak mentah AS dan penguatan dolar.
Apabila aksi borong Tiongkok tadi mendongkrak harga minyak, tentu akan mempengaruhi neraca perdagangan (NP) nasional, terutama neraca migas, yang selalu defisit. Bila ingat situasi tahun 2018, dimana NP nasional yang defisit menarik transaksi berjalan defisit (CAD) lebih dari 3% PDB, nah itu diakibatkan dalamnya defisit neraca migas. CAD yang dalam waktu itu mengakibatkan gejolak ekonomi nasional, terutama penguatan kurs dolar AS atas Rp. Â
Stay Alert
Kondisi tidak menentu kedua negara adikuasa dunia, tentu perlu disikapi dengan serius.Â
Negara dengan ekonomi terbuka termasuk Indonesia harus bersiap menghadapi potensi risiko terburuk.Â
Indonesia walaupun sedang dalam situasi siaga penuh penanganan Covid-19, bersyukur kinerja NP-nya terus menggembirakan. Surplus berkepanjangan tentu memberi darah segar pasokan devisa asing terutama dolar AS dalam cadangan devisa.
Harga komoditas yang menjadi pendorong utama kinerja NP, terus bullish sehingga menambah kekuatan pondasi ekonomi nasional yang sedang mengalami perbaikan.Â
Melandainya kasus positif atau aktif Covid-19 nasional diharapkan terus berlanjut, sehingga menjadi tambahan tenaga bagi ekonomi nasional terutama dari sisi aktifitas ekonomi riil. Kita berharap, modal fundamental ekonomi yang menguat ditambah terkendalinya kasus Covid-19 nasional, menjadi perisai dari ancaman krisis global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H