Mohon tunggu...
Nurul Anwar
Nurul Anwar Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism | Conten Writer | Fasilitator | Pekerja Sosial |

Menulis seputar Lifestyle | Ulasan | Refleksi | Opini dst.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Review "Entrok" Bagian Tiga: Marni dan Kepongahan Rezim Orde Baru

28 Januari 2023   09:56 Diperbarui: 28 Januari 2023   10:08 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Militer tempo dulu (Alif.id)

Tingkah pongah orde baru bukanlah barang baru.  Ia semacam pengetahuan umum bagi banyak kalangan. Lebih-lebih dinarasikan dalam bentuk novel, sebut saja Pulang dan Laut Berceritanya Leila s Chudori atau Praktik Kekuasaan Orde Baru terbitan Marjin Kiri dan masih banyak yang lainnya. Itu pula hal ihwal yang kembali saya temukan dalam novel Entrok. Hegemoni kekuasaan pemerintah sampai-sampai mengurusi ke akar perkara paling kecil dalam masyarakat.

Desa kecil di Madiun adalah potret sebagian gambaran tingkah pongah orde baru. Ini tampak ketika Marni ditodong dan diminta uang jatah keamanan, tidak jelas uang keamanan untuk apa dan lari ke mana uang tersebut. Kadang per tiga minggu sekali atau sebulan sekali perangkat desa datang menggedor pintu lalu meminta jatah. Mereka, kadang kala datang bersama orang berseragam loreng-loreng. 

 "Orang-orang berseragam loreng sering datang ke rumah. Mereka selalu datang ke rumah pada hari Senin dua minggu sekali. Kadang-kadang ada juga yang datang di luar hari itu. Katanya kebetulan lewat atau cuma mampir. Tapi sudah tahulah ibu apa yang harus dilakukannya setiap orang-orang itu datang. Apalagi kalau bukan menyerahkan setumpuk uang." Demikian Rahayu mengkisahkan.

Begitulah selanjutnya, tidak jarang Marni dipintakan dana untuk kampanye besar-besaran istilah kekinianya barangkali 'bohir politik, hanya bedanya Marni tidak dapat memesan hasil pemilu dan mengatur pejabat politik, beda dengan sekarang. Satu waktu pada pelaksanaan pemilu pertama kali ada percakapan yang pilu, begini:

"Rezeki itu gak datang sendiri to mbakyu, rezeki harus dicari. Kalau rezekimu ada di sini, berarti negara yang memberimu rezeki to? "Rezeki dari Mbah Ibu bumi lewatnya di sini" jawab Marni.

"Tentara juga juga membantumu dapat rezeki , semua itu karena ada kami". Lantas tentara tadi mengambil satu panci dagangan Marni. Katanya, "istriku lagi butuh panci seperti ini mbakyu"

"Ya monggo. Lima ribu bisa dicicil tiga puluh kali". "Mbakyu, masa aku disamakan dengan orang lain? kamu lihat seragamku, lihat pistol ini." ketus tentara tadi lalu pergi meninggalkan Marni.

Presiden Soeharto orde baru memangkas partai politik (Merdeka.com)
Presiden Soeharto orde baru memangkas partai politik (Merdeka.com)

Pilu, Marni rakyat kecil dengan keuntungan tidak seberapa diperlakukan semena-mena. Ini belum menyebut kisah pa Tikno. Ia tetangga Marni yang dihilangkan entah kemana akibat tidak mau menyerahkan tanahnya secara cuma-cuma ke tentara untuk bangun pos keamanan. Pa Tikno hilang tanpa bekas, bahkan ia di cap sebagai PKI. Belum lagi kisah koh Cahyadi peranakan Tiong Hoa yang dipersekusi akibat pergi ke rumah ibadah kelenteng. Koh Cahyadi diburu oleh tentara diancam hak hidupnya dan didiskriminasi. Malang betul hidup di masa orde baru.

Ketentraman semu orde baru

 Telah disinggung dimuka bahwa orde baru dengan kedigdayaan kuasanya menyelimuti setiap sendi masyarakat, hegemoni kekuasaannya mencengkram dalam. Arif Budiman menyebutkan bahwa negara yang dibangun oleh rezim Soeharto dengan dalih pembangunan ekonomi telah melahirkan negara yang otoriter dan ditentukan oleh segelintir golongan birokrat yang hanya memikirkan rupiah. Sentralisasi pada masa orde baru kental terasakan. Seperti pemilu yang pada waktu itu hanya diperuntukan oleh partai bergambarkan pohon beringin dan berwarnakan kuning. 

Bisa kita sebut orde baru dengan ideologi pembangunismenya hendak memeratakan kesejahteraan dan ketentraman masyarakat pada waktu itu. Namun faktanya, masyarakat tidak diikut sertakan dalam pembangunan, ia dijadikan objek tanpa diberi celah untuk bersuara, berdemokrasi dsbg. Gus Dur bilang dibalik kestabilan yang diciptakan orde baru dan dirasakan oleh masyarakat ternyata menciptakan kesenjangan yang cukup besar antara masyarakat dengan pemerintah. Ada jurang yang kian lama semakin curam. Jika begini, sama saja mengabadikan kekuasaan rezim orde baru. Dalih pembangunan tinggalah dalih, malah ia menjadi kedamaian dan ketentraman semu. Dalam ungkapan lain, orde baru telah menciptakan kedamaian yang mencemaskan.

Kekuatan sipil menggugat Soeharto (Hukumnas.com).
Kekuatan sipil menggugat Soeharto (Hukumnas.com).

 Ihwal tadi dapat kita saksikan dalam Entrok, serangkain tingkah pongah, latah PKI dst. Diakhir cerita Okky Madasari menceritakan Rahayu sebagai -kalau boleh saya sebut- seorang aktivis lingkungan. Waktu itu, ada sebuah lokasi yang hendak dibuat bendungan besar yang harus dibayar dengan menggusur pemukiman warga. Rahayu melawan kekuasaan, hingga akhir perjuangannya dia dicap sebagai PKI. Pada masa itu, dicap sebagai PKI adalah momok yang menakutkan. Beruntung, bangsa tidak terninabobokan oleh ketentraman semu orde baru. Bangsa melawan dengan kekuatan sipil sehingga pecahlah reformasi. Terima kasih, silakan Entrok kalian tuntaskan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun