Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Tolong Jangan Nyinyir pada Orang yang Hobi Naik Gunung

9 Desember 2023   13:02 Diperbarui: 9 Desember 2023   16:24 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini ada musibah yang menimpa sejumlah para pendaki gunung di Gunung Marapi di Sumatera Barat. Sebelum melanjutkan tulisan ini, saya turut berbelasungkawa atas musibah yang menimpa para pendaki baik yang meninggal dunia. Semoga mereka mendapatkan tempat terbaik di sisi Yang Maha Kuasa. Bagi mereka yang luka-luka atau cedera semoga segera sembuh seperti sedia kala. Aamiin...

Saya pribadi merasa terkejut ketika membaca kabar itu di media. Rasanya campur aduk ketika muncul video di media sosial tentang kondisi beberapa pendaki sesaat setelah terkena terjangan awan panas dari Gunung Marapi. Saya mendoakan semoga mereka baik-baik saja.

Sulit untuk membayangkan betapa tersiksanya mereka. Temperatur di sekitar mereka berada sudah pasti panas, kadar oksigen pun sangat tipis. Bisa jadi mereka tidak membawa perbekalan karena ransel ditinggal begitu saja agar lebih mudah berlari demi menyelamatkan diri.

Sayangnya ketika membaca komentar-komentar terhadap konten mengenai musibah tersebut di media sosial, tak sedikit yang bernada mengejek ataupun menghujat. Saya kira saya tidak perlu meng-copas kalimatnya, tapi kurang bernada seperti ini: "apa sih enaknya naik gunung?", "kurang kerjaan banget", "ada tempat bagus di kota malah naik gunung", dan lain-lain. Ada pula kasar tapi tidak perlu dibagikan di sini.

Sebagai orang yang pernah mendaki gunung (saya enggan menyebut diri saya mountaineer karena saya naik gunung sebagai tim hore), terus terang saya merasa kecewa dengan komentar-komentar seperti itu. Naik gunung adalah hak setiap orang yang seharusnya tidak untuk diejek ataupun dinyinyirin.

Kecuali kalau ada orang naik gunung terus nyampah, boleh deh mengejek kelakukan mereka membuang sampah sembarangan di gunung. Saya yakin para pendaki gunung lainnya juga pasti akan mengejek kelakukan mereka.

Apa yang terjadi di Gunung Marapi adalah musibah yang tak bisa dihindari. Sebagian dari mereka berusaha menyelamatkan diri, tapi sayangnya sebagian lagi harus menerima takdirnya. Menyedihkan memang.

Pengalaman saya mendaki gunung di Jawa Timur

Saya jadi ingat ketika pertama kali naik gunung, waktu itu Gunung Penanggungan di Jawa Timur. Gunung tersebut merupakan gunung tidak aktif yang tidak terlalu tinggi yaitu 1.653 dpl.

Ajakan seorang adik kelas di kampus membuat saya memantapkan diri bergabung  mendaki gunung tersebut bersama teman-teman pecinta alam. Saya cuma tim hore yang ingin tahu tentang pengalaman mendaki gunung.

Ternyata, pengalaman pertama tersebut nyaris menjadi mimpi buruk. Saya dan beberapa teman satu kelompok sempat tersesat ketika turun dari puncak.

Jadi karena jumlah peserta pendakian yang cukup banyak, sekira 20an orang, para "petinggi" kegiatan membagi para peserta menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari lima hingga enam orang.

Saya kurang tahu mengapa mereka memutuskan seperti itu padahal naiknya juga barengan. Mungkin karena kabut tebal yang mulai turun sehingga akan lebih aman jika peserta dipecah-pecah.

Jalur turunnya juga berbeda dengan jalur ketika naik ke puncak. Saya pikir mungkin karena jalur naik yang cukup curam dengan kemiringan kira-kira 45-50 derajat, dimana itu membahayakan bila dilalui kembali sebagai jalur turun di tengah kabut.

Kabut tersebut memang cukup mengganggu penglihatan kami ketika perjalanan turun. Kadang muncul gerimis membuat kami mencari perlindungan di balik semak atau dahan pohon. Ketika cerah, tampak pemandangan kota yang begitu menakjubkan di bawah sana.

Nah, ini yang sangat menarik dari aktivitas mendaki gunung. Kita jadi bisa melihat dunia yang begitu luas. Tak heran ada orang yang hobi naik gunung karena memang sebegitu menakjubkannya pemandangan dunia dari atas sana.

Ketika saya berkesempatan mendaki Gunung Semeru (3.676 dpl) yang masih aktif, saya cukup lama menikmati pemandangan alam yang super duper beautiful ketika beristirahat mendaki bukit pasir menuju puncak dan ketika berada di Puncak Mahameru. Kepulan asap dari kawah Mahameru di seberang sana membumbung tinggi begitu indahnya. Indah tapi sebenarnya mematikan.

Begitu takjub rasanya melihat keindahan ciptaan Sang Maha Kuasa. Keindahannya susah dituangkan ke dalam kata-kata ataupun dicurahkan di atas kain kanvas. 

Ketika menatap ke arah horison, ada barisan awan yang luar biasa indah. Juga tampak beberapa gunung lainnya misalnya kompleks Gunung Bromo yang "tidak begitu jauh" dari Gunung Semeru, Gunung Raung dan Gunung Merapi. Ketika menatap langit yang biru, rasanya begitu dekat dengan angkasa raya.

Nun di kejauhan juga tampak Samudera Hindia, sempat membuat merinding karena ternyata gunung yang kami daki sebegitu tingginya. Jadi berpikir, bagaimana pemandangan dari gunung yang lebih tinggi ya?

Saya sampai hampir menitikkan air mata saking begitu takjubnya melihat pemandangan di depan kedua mata saya yang tiada tara. Meski masih ngos-ngosan, mulut saya tak henti menggumamkan kalimat dzikir, memuji kreasi Yang Maha Tinggi.

Kembali tentang pengalaman mendaki Gunung Penanggungan, kami berjalan turun melintasi jalan setapak sempit melintasis emak belukar yang kadang berduri, juga melintasi hutan yang cukup creepy. Dalam satu kelompok kami sebenarnya ada yang sudah pernah naik gunung, tapi ternyata dia juga merasa bingung dengan jalur turun yang kami tempuh.

Setelah berjalan cukup jauh, sebuah harapan muncul di depan mata. Sebuah jalan berbatu yang tampaknya bakal terhubung ke sebuah peradaban manusia. Pada waktu itu hari telah siang. Sebagai informasi, ransum dan minuman telah menipis dan bahkan ada yang habis. Salah satunya saya.  

Nah ini, saya yang begitu stupid-nya, tidak membawa bekal makanan dan minuman yang memadai. Yahh, namanya juga pertama kali naik gunung. Malam sebelumnya, saya cuma berbekal air mineral satu cup yang saya beli di sebuah warung makan di desa di kaki gunung. Betul, satu cup yang volumenya nggak sampai 200 mililiter!

Sebelumnya saya sempat mengira kegiatan itu cuma naik ke puncak lalu segera turun, maksimal beberapa jam saja. Naik setelah Isya, malam itu juga turun. Ternyata perjalanan kami berlangsung sampai besoknya. Hehe...

Ketika perjalanan menuju puncak gunung, saya menyesap air mineral sedikit demi sedikit. Air mineral yang saya bawa habis seluruhnya menjelang waktu tidur di perut gunung yang dingin. Entah bagaimana saya merasa kuat-kuat saja padahal tidak membawa perbekalan yang cukup.

Oke kembali lagi, singkat cerita setelah melalui jalan yang beriku-liku kami menemukan jalan berkelok dan mendapati sebuah rumah. Tidak lama ada rumah-rumah lainnya, tentu saja membuat kami bersuka cita. Kami semua sangat lelah, kehausan, lapar, tapi beruntung kami semua solid dan bersemangat juang tinggi untuk kembali ke "habitat" kami.

Pada akhirnya rumah-rumah semakin banyak, ada ladang juga. Tapi jalanan masih naik turun. Jalanan turun tidak masalah, tapi ketika jalanan naik dalam kondisi yang luar biasa letih, lapar dan haus? Silakan dibayangkan sendiri.

Sore menjelang maghrib, kami sampai di sebuah desa dengan telaga dan sungai yang airnya jernih. Bak kesetanan, kami segera menampung aliran air telaga ke botol kemasan air mineral berukuran satu liter yang sudah kosong milik teman saya.

Karena botol terbatas, kami bergantian meneguk air yang menyegarkan itu. Saking sangat kehausan, saya tidak menghitung berapa liter air yang sudah masuk ke lambung saya. Setelah merasa tubuh kami cukup terhidrasi, kami membersihkan diri di telaga tersebut.

Kemudian kami berjalan lagi menyusuri jalan desa yang telah beraspal. Jalan itu membawa kami ke lokasi yang biasanya menjadi titik kumpul para pendaki gunung tersebut, termasuk teman-teman saya yang telah berpengalaman.

Kelompok saya sampai di tempat itu malam hari menjelang Isya. Kami berjumpa dengan teman-teman kami yang telah sampai beberapa jam sebelumnya. Jadi saya dan kelompok saya adalah kelompok terakhir yang sampai di titik kumpul itu.

Naik gunung itu hobi dan itu adalah hak

Apa yang saya sampaikan lewat pengalaman saya ini adalah naik gunung adalah aktivitas rekreasi yang sama dengan rekreasi lainnya. Sama seperti orang hobi nge-game, nge-gym, bersepeda, memancing, camping, dan lain-lain.

Terlepas dari segala resikonya, mendaki gunung itu sama dengan hobi-hobi lainnya. Tak sedikit orang suka naik gunung karena ketagihan melihat alam dari atas yang luar biasa indahnya. Sangat jauh berbeda bila kita menontonnya lewat video dari kreator konten yang menyusuri gunung menggunakan drone.

Meski melelahkan dan lumayan mengguncang mental (berkaca pada pengalaman pertama saya naik gunung yang sempat tersesat ketika turun), toh hal itu tidak membuat saya menyesal. Ternyata saya join lagi dengan kegiatan naik gunung berikutnya. Hehe...

Saya jadi bisa membayangkan orang-orang yang hobi naik gunung. Mau disuruh ganti hobi atau  aktivitas lainnya, kalau mereka telanjur cinta dengan hobi itu mau bagaimana?

Jadi plis jangan nyinyirin orang yang hobi naik gunung. Dalam konteks meletusnya Gunung Marapi, namanya musibah tidak ada yang tahu bakal terjadi dan bakal sebahaya itu. Para pendaki gunung yang nahas itu juga tidak berharap kejadian ini menimpa mereka.

Jika ada musibah yang menimpa pendaki gunung, cukup ucapan kata-kata yang baik, mengungkapkan rasa empati ataupun menyampaikan duka cita bagi mereka yang tiada.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun