Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Home Artikel Utama

Rumah dari Tanah Liat, Arsitektur Masa Depan?

4 Agustus 2022   12:30 Diperbarui: 6 Agustus 2022   07:30 3152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah menonton video di YouTube tentang orang-orang yang membuat rumah dari tanah liat? Aktivitas mereka terkesan iseng alias 'gabut' atau sedang tidak ada kegiatan.

Material utama bangunan yang mereka buat tentu saja tanah liat. Tetapi mereka juga kerap menggunakan material tambahan antara lain kayu, bambu, kerikil atau batu-batuan, rerumputan dan dedaunan.

Pada awalnya mereka berjalan ke tengah hutan atau semak belukar lalu mulai membuka lahan. Terkadang mereka menebang beberapa pohon atau semak terlebih dahulu, atau memotong dahan dan ranting. Kadang mereka menemukan tanah kosong di tengah pepohonan atau gugusan semak.

Setelah lahan siap, mereka mulai menggali tanah. Peralatan yang mereka gunakan sederhana saja, misalnya sebilah bambu yang diberi kapi atau ranting pohon yang salah satu ujungnya dibuat runcing.

Mereka juga menggunakan kedua tangan mereka untuk menyingkirkan tanah dan membentuk tanah dengan air. Air berfungsi untuk membuat tanah menjadi basah sehingga mudah dibentuk.

Bila tanahnya kering, mereka mengambil air dari sungai atau danau terdekat. Bila hujan turun, itu akan menguntungkan karena mereka tidak perlu repot mengangkut air.

Tetapi ada pula yang tidak menggunakan air sama sekali. Ini berlaku untuk area yang tanahnya padat atau keras. Untuk kondisi tanah seperti itu, mereka membentuk tanah dengan alat layaknya memahat batu.

Pada akhirnya bangunan yang mereka buat pun jadi. Pada satu waktu mereka membangun rumah saja, tapi di lain waktu mereka membuat kolam renang di samping bangunan rumah.

Ada juga yang membuat kolam renang bawah tanah. Tanah seluas sekian meter persegi digali cukup dalam, lalu diberi atap atau penutup dari tanah liat yang dibentuk sedemikian rupa.  

Begitu bangunan kolam siap, mereka pun mengisinya dengan air secara bertahap. Tapi ada juga kolam yang mendapatkan air dari balik tanah yang menyembur setelah mereka menggalinya di kedalaman tertentu.

Setelah beberapa waktu lamanya, kolam pun penuh dengan air. Mereka segera menceburkan diri ke dalam kolam, bersedang-senang menikmati kolam karya mereka. Ada tangga dan seluncurannya juga, lho.

Benar-benar kreatif! Rasanya mereka nggak gabut-gabut amat. Beberapa bangunan yang mereka buat sungguh mengesankan. Ada pula bangunan yang dicat aneka warna yang membuatnya lebih menarik.

Ada yang melakukannya sendiri, ada pula yang berkelompok. Masa pembangunan bervariasi, tetapi yang jelas lebih dari satu hari. Video di YouTube sudah mereka edit sedemikian rupa membuat aktivitas mereka seakan-akan berlangsung dalam satu hari saja.

Channel Jungle Survival adalah salah satu yang menarik. Bangunan yang mereka buat bervariasi, misalnya shelter di tengah hutan, rumah tinggal, vila hingga kolam renang bawah tanah seperti yang dijelaskan tadi.

Channel lainnya yang layak ditonton adalah Building Skill, Primitive Unique Tool, Primitive Jungle Lifeskills dan Primitive Survival. Tapi ternyata ada cukup banyak channel serupa lainnya yang sama-sama menarik.

Berikut salah satu konten video dari salah satu channel tersebut:


Hunian dari tanah liat, relevankah di masa kini?

Kita bisa menilai aktivitas para content creator itu tidak sekadar gabut melainkan bermotif ekonomi. Channel mereka menggaet jutaan subreker, eh subscriber ding, dan ditonton oleh jutaan viewers yang pastinya menghasilkan cuan.

Tapi terlepas dari keuntungan ekonomi dari video yang mereka produksi, ide mereka membangun bangunan dari tanah liat merupakan contoh aktivitas bersahabat dengan alam. Mereka menggunakan bahan-bahan dari alam dan dengan peralatan sederhana seperti kehidupan manusia di jaman batu.

Tidak ada besi tulangan, sekop besi, cangkul, pasir dan semen, atau pun alat pengaduk material (mixer atau molen). Tidak ada produk pabrikan, kecuali mungkin cat dinding warna yang muncul di beberapa bangunan. Pun tidak ada pipa PVC untuk mengalirkan air karena mereka memanfaatkan bambu.

Di masa kini, bangunan atau rumah tinggal dari tanah liat terdengar ketinggalan jaman. Bagaimana mungkin tinggal di rumah yang berdinding dan berlantai tanah di era artificial intelligence-machine learning-metaverse?

Orang-orang sekarang pasti mendambakan rumah 'gedongan' alias rumah tapak moderen yang berdinding tembok dan berlantai keramik. Tidak melihat tipe rumahnya sederhana atau mewah, yang penting rumah moderen.

Boleh berlantai satu atau dua, tapi dengan jumlah kamar yang cukup, ada kamar mandi, plus ada dapurnya juga. Sukur-sukur ada tamannya walau cuma seuprit.

Selain berdinding tembok, rumah idaman mesti memiliki instalasi listrik, air dan gas yang baik. Di Indonesia yang temperaturnya cenderung terik, penyejuk udara atau AC perlu ada supaya rumah tinggal jadi lebih nyaman.

Di dunia ini, bangunan rumah tinggal yang terbuat dari tanah liat mungkin sudah nyaris punah. Saat ini banyak orang, khususnya warga perkotaan, memilih tinggal di kompleks hunian moderen atau pun apartemen.

Bila ada pengembang yang menawarkan rumah berbahan utama tanah liat, sudah pasti calon pembeli kabur mencari pengembang lain yang menawarkan rumah moderen. Rumah tanah liat rasanya cuma ada di YouTube.

Hmmm... Jadi mikir, para pembuat konten rumah dari tanah liat itu apakah cuma konten demi cuan, atau rumah yang mereka bangun itu benar-benar mereka tinggali ya?

Bangunan dari tanah liat eksis di Yaman dan Mali

Di masa kini, kota-kota besar di dunia ibarat kebun beton yang penuh dengan bangunan-bangunan tinggi, termasuk gedung apartemen. Pembangunan kompleks hunian berupa rumah tapak juga masif, biasanya di wilayah pinggiran kota atau di kota-kota penyangga.

Di negara kita, rasanya tidak ada bangunan dari tanah liat yang bisa kita temui di wilayah manapun. Bahkan di kota hingga kelurahan dimana kita tinggal, rasanya tidak ada orang yang memiliki dan tinggal di rumah tanah liat.

Selain bukan bagian dari budaya kita, negeri kita kaya akan material alami siap pakai untuk membangun rumah. Nenek moyang kita dulu justru menggunakan bambu, kayu kelapa hingga kayu jati. Tanah liat kebanyakan dimanfaatkan sebagai genteng.  

Tapi ada satu negara yang masih melestarikan bangunan dari tanah liat, yaitu Yaman. Tiga kota di negara tersebut, Sana'a, Shibam dan Zabid, masih memiliki bangunan dari tanah liat. Bahkan bangunan tanah liat mendominasi lansekap kota.

Hampir tidak ada bangunan yang berdinding bata atau beton di tiga kota tersebut. Padahal bangunan yang ada di kota-kota tersebut rata-rata bertingkat. Artinya meski dibangun dari tanah liat, bangunan di sana kuat dan kokoh.

Bangunan rumah tinggal di Sana'a, ibukota negara, kebanyakan telah berusia ribuan tahun. Bisa jadi keluarga yang sekarang ini tinggal di rumah itu adalah keturunan dari nenek moyang mereka yang pernah hidup ribuan tahun lampau.

Sementara itu, bangunan tanah liat di kota Shibam ada yang mencapai delapan lantai. Kota Shibam bisa jadi merupakan cikal bakal kota-kota megapolitan moderen seperti New York City, Tokyo atau pun Shanghai yang menjadi rumah bagi bangunan-bangunan pencakar langit.


BBC.com pernah membahas kota Sana'a lewat artikel rubrik Future yang berjudul "The sustainable cities made from mud", yang dirilis pada 6 Juli 2022 lalu. Artikel itu mengutip pernyataan dari UNESCO bahwa bangunan-bangunan di kota Sana'a menunjukkan keahlian luar biasa dalam penggunaan bahan dan teknik lokal. Karena keunikannya, pada tahun 1986 UNESCO menetapkan kota Sana'a sebagai Situs Warisan Budaya.

Dalam artikel dari BBC.com tersebut, seorang profesor dan arsitek Inggris-Irak bernama Salma Samar Damluj memuji bangunan-bangunan di Sana'a yang sangat kontemporer meski telah berusia ribuan tahun. Bangunan-bangunan itu memiliki insulasi yang baik, bersifat sustainable atau berkelanjutan, dan sangat mudah beradaptasi di era modern.

Selain Sana'a, juga disinggung kota Djenne di negara Mali yang juga menjadi rumah bagi bangunan dari tanah. Masjid agung di kota Djenne misalnya, seluruhnya terbuat dari tanah. Masjid itu dibangun tahun 800 Masehi atau hampir setua candi Borobudur di provinsi Jawa Tengah yang dibangun kira-kira tahun 750 Masehi.

Masjid agung Djenne menjadi bangunan tanah terbesar di dunia dengan panjang 91 meter dan tinggi 20 meter. Setiap tahunnya, warga setempat mulai dari anak-anak hingga dewasa melakukan tradisi kerja bakti untuk memperbaiki masjid yang menjadi kebanggaan di negeri itu.

Bangunan Ramah Bumi

Dalam artikel di BBC.com tersebut, Profesor Damluj berpendapat bahwa bangunan-bangunan di kota Sana'a merupakan arsitektur masa depan. Ini karena bangunan dari tanah selaras dengan upaya pengurangan emisi karbon, sebuah semangat global yang digaungkan selama beberapa tahun terakhir.

Nah, rumah yang terbuat dari tanah liat itu klop dengan semangat green energy. Bangunan dari tanah liat menggunakan energi yang minimal dan tidak mengandung emisi.

Ada sejumlah kelebihan bangunan dari tanah liat. Pertama, sifat thermal mass atau insulasinya memberikan kenyamanan bagi penghuninya. Sepanjang siang hari terasa sejuk dan sebaliknya ketika malam terasa hangat.  

Ini karena tanah liat menyerap panas di kala siang dan menyimpannya, lalu melepaskannya ketika malam tiba. Ribuan tahun lalu, nenek moyang orang Sana'a sudah paham dengan karakter tanah liat sehingga mereka mengaplikasikannya sebagai material bangunan rumah.

Di Sana'a misalnya, temperatur paling hangat terjadi selama musim panas bulan Juni-Juli. Suhu siang hari mencapai 30 derajat Celsius, sedangkan malam hari 16-17 derajat Celsius. Ketika musim dingin di bulan Desember-Januari, suhu siang hari berkisar 23-24 derajat Celsius dan malam hari 5-6 derajat Celsius. (sumber: timeanddate).

Meski terjadi perbedaan suhu cukup ekstrim antara siang dan malam, bangunan rumah di kota yang berada di ketinggian 2.300 meter dpl itu justru memberikan kenyamanan. Suhu ruangan di dalam bangunan juga stabil selama 24 jam.

Salah satu sudut kota Sana'a. (sumber foto: Saif Albadni / Unsplash)
Salah satu sudut kota Sana'a. (sumber foto: Saif Albadni / Unsplash)

Kelebihan kedua, rumah dari tanah ringan di ongkos. Tapi ini relatif ya, bergantung pada lokasi yang akan dibangun rumah. Bila lokasi rumah dekat dengan material utama tanah, maka biaya bisa lebih rendah. Bila lokasi jauh dari material tanah bisa jadi perlu biaya lebih besar karena ada biaya-biaya, misalnya transportasi.

Sebagai contoh, seorang warga Inggris bernama Atulya Bingham 'cuma' mengeluarkan biaya sebesar USD 5,000 saja (atau sekira 67 juta rupiah, kurs tahun 2016 USD 1 = Rp 13.436) untuk membangun rumah tanah liat di pegunungan Mediterania. Biaya itu sudah termasuk gaji tukang. (sumber: InterestingEngineering).

Bingham mengatakan hanya menggunakan 16 macam material saja untuk membangun rumahnya. Masa pembangunan rumahnya juga cukup singkat, sekira enam bulan. Ini menjadi kelebihan ketiga dari bangunan berbahan tanah liat, yaitu masa pembangunan yang lebih singkat daripada rumah moderen berdinding tembok.

Bingham menggunakan teknik earthbag building yang lebih mudah dan cepat. Teknik ini menggunakan sejumlah kantong berisi tanah yang disusun sedemikian rupa hingga membentuk bangunan. Untuk memperkuat bangunan terhadap terjangan banjir, ia memadukannya dengan jaring-jaring kawat besi.

Bangunan tanah liat memang rentan terhadap banjir, bisa rusak atau bahkan hancur. Banjir pernah menjadi penyebab hancurnya sebagian besar kota Shibam kira-kira di abad ke-16 silam sebelum akhirnya diperbaiki di tahun 1532.

Tetapi teknologi yang semakin maju seharusnya bisa membuat bangunan tanah liat menjadi lebih tegar dan kokoh. Pada dasarnya, bangunan tanah liat tahan segala cuaca termasuk kemarau panjang, tahan banjir hingga gelombang panas. Aplikasi teknologi dapat memperkuat struktur bangunan tanah liat. Bahkan ada teknik tertentu yang dapat membuatnya tahan gempa dan angin kencang.

Kelebihan keempat rumah tanah liat adalah fleksibilitas. Tanah dapat dibentuk sesuka hati. Bisa persegi atau melengkung, bisa juga dibentuk kubus atau pun bulat dengan sejumlah ornamen. Keterampilan tangan dan daya kreativitas pembuat rumah menjadi kunci.

Sebelum membangun rumah, perlu untuk merancangnya terlebih dahulu. Para konten kreator channel Youtube yang disebutkan di bagian sebelumnya pasti merancang dulu sebelum membangunnya. Ada salah satu video dimana mereka menggambar desain bangunan di tanah dengan bantuan ranting kayu sebelum memulai pembangunan.

Kelebihan kelima, aman dari kebakaran. Bangunan yang terbuat dari tanah liat tergolong tahan api, sehingga resiko terjadi kebakaran kecil. Tetapi ada sejumlah insiden terbakarnya rumah dari tanah liat, misalnya yang terjadi di India. Insiden kebakaran rumah tanah liat di Paschim Medinipur tahun 2021 lalu disebabkan oleh obat nyamuk, sedangkan di Kerala April 2022 lalu disebabkan oleh kebocoran selang kompor gas.

Kebakaran disebabkan oleh barang-barang di dalam rumah yang flammable atau bersifat mudah terbakar. Ini sama dengan insiden kebakaran yang terjadi di rumah atau bangunan pada umumnya, misal karena korsleting korslet, lilin, rokok, hingga kebocoran gas.

Untuk menghindari terjadinya kebakaran, pemilihan material dan barang-barang mesti dilakukan dengan cermat. Hal ini untuk menghindari terjadinya insiden yang tidak diinginkan.

Dalam artikel di BBC.com tersebut, Environmental Audit Committee Inggris menyarankan penggunaan produk yang "bersifat keberlanjutan, berbasis organik dan bisa bernafas" yaitu tanah liat, plester berbasis kapur dan serat alami untuk mengoptimalkan daya insulasi. Di sisi lain, Bingham yang seorang praktisi rumah tanah liat mengkhawatirkan penggunaan material kapur yang meski tidak beracun tetapi bisa terbakar. (sumber: The Mud House)

Kelebihan keenam, bangunan tanah liat bersifat sustainable atau keberlanjutan. Profesor Damluj berpendapat bahwa rumah atau bangunan dari tanah liat memiliki dampak sangat minimal terhadap lingkungan.

Selain itu, material tanah liat juga bisa didaur ulang. Pada saatnya ketika bangunan sudah tidak ditempati hingga kemudian dirobohkan, tanah akan kembali menyatu dengan alam dan siap digunakan untuk bangunan berikutnya.

Rumah dari tanah liat, hunian alternatif di masa depan?

Bisa jadi rumah tinggal dari tanah liat menjadi alternatif di masa depan ketika harga material bangunan melambung tinggi. Bila tren kenaikan harga material bangunan terus berlangsung, orang Indonesia akan semakin susah bahkan mustahil membeli rumah.

Apalagi jumlah orang Indonesia juga semakin banyak. Diperkirakan jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 305 juta jiwa di tahun 2035. Setiap dari mereka akan tumbuh dewasa, membentuk keluarga baru, dan yang pasti butuh tempat tinggal.

Sebetulnya ironis ya, ketika permintaan rumah tinggi, harga rumah malah semakin tidak terjangkau. Nah, kondisi demikian dapat mendorong adanya hunian alternatif. 

Bisa jadi di masa depan rumah tanah liat menjadi alternatif dan dicari banyak orang. Apalagi bila dibangun dengan teknologi konstruksi additif atau 3D printing.

Menggunakan teknologi tersebut, rumah tanah liat bisa dibangun lebih cepat dan harganya bisa jadi jauh lebih ekonomis daripada rumah konvensional. Bangunan rumah juga bisa dibentuk sedemikian rupa.

FastCompany pernah membagikan informasi mengenai eksperimen kombinasi teknologi additif dengan material tanah liat. Sebuah firma arsitektur bernama Mario Cucinella Architects bereksperimen membangun rumah sederhana dari tanah di kota Ravenna, Italia.

Pembangunan rumah sepenuhnya menggunakan 3D printer. Sebuah rumah seluas kira-kira 60 meter persegi dapat dibangun selama 200 jam atau sekira 8-9 hari saja. Di masa mendatang bahkan bisa dibangun lebih cepat lagi.

Proses pembangunannya diklaim lebih murah karena memanfaatkan material tanah lokal. Ini akan membuat harga jual rumah menjadi lebih terjangkau. Selain itu, rumah yang mereka buat juga tahan segala cuaca.

Bila permintaan rumah tinggal berbahan tanah liat tinggi, teknologi tersebut pasti akan diperbarui agar bisa membangun kompleks rumah tinggal secara massal. Atau mungkin sebaliknya, teknologinya eksis dulu agar bisa mendorong permintaan.

Nah, apakah kamu tertarik dengan bangunan atau rumah tinggal dari tanah liat? Atau mungkin ingin merasakannya dulu dengan tinggal di kota Sana'a selama beberapa waktu lamanya sebelum memilikinya nanti?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun