astronomi. Foto-foto pertama jepretan teleskop angkasa James Webb (JWST) telah sampai di Bumi.
Baru-baru ini kabar menarik di duniaHasil tangkapan sensor inframerah teleskop itu menangkap foto-foto angkasa yang luar biasa. Ada decak kagum, takjub, terkesima ketika kita melihat foto-foto itu.
JWST mengirim foto gugusan atau klaster galaksi yang disebut dengan SMACS 0723. Teleskop Hubble pernah menangkap area ini. Kali ini JWST mempertajam resolusinya, menguak sejumlah detail yang sebelumnya nampak samar di foto jepretan Hubble.
Southern Ring Nebula atau Nebula Cincin Selatan atau juga dikenal dengan NGC 3132 juga berhasil direkam oleh JWST. Jarak nebula yang cantik nian itu sekira dua ribu tahun cahaya dari Bumi. Nebula planet berdiameter setengah tahun cahaya itu mengitari bintang yang sedang sekarat.
Teleskop JWST juga merekam sebuah planet besar WASP-96 b yang besarnya setara dengan planet Yupiter. Lokasinya kira-kira 1.150 tahun cahaya dari Bumi, tepatnya di konstelasi Phoenix.
Menurut informasi dari laman NASA.gov, planet yang mengelilingi bintang yang mirip matahari itu diduga memiliki kandungan air. Selain itu terdapat bukti adanya awan dan kabut.
JWST juga menangkap gambar planet Yupiter. Sepertinya fotonya masih tahap awal karena warnanya masih monokrom. Mudah-mudahan ada foto-foto Yupiter berikutnya yang beresolusi tinggi dan lebih detail.
Selain Yupiter, beberapa satelit atau bulan planet Yupiter seperti Europa, Thebe dan Metis juga ikut terfoto. Sejumlah benda angkasa lainnya yang nampak sebagai titik-titik hitam yang menyebar di sekitar Yupoter kemungkinan bulan-bulan Yupiter atau asteroid.
Sebagai informasi, planet Yupiter tercatat memiliki 80 satelit/bulan dengan ukuran bervariasi. Ada yang ukurannya lebih besar dari pada Bulan seperti Ganymede, Calisto dan Ioda, tetapi paling banyak berdiameter 1 hingga 10 kilometer.
Wahhh, foto-foto pertama JWST saja sudah membuat kita takjub. Pasti akan ada foto-foto angkasa berikutnya beresolusi tinggi yang akan membuka mata kita tentang alam semesta.
Sekilas tentang teleskop angkasa James Webb
Teleskop JWST adalah teleskop angkasa paling canggih saat ini. Instrumen teleskop ditumpangkan ke roket Ariane 5 yang diluncurkan pada Desember 2021 lalu dari Kourou, Guyana Perancis.
Peluncuran berjalan sukses, JWST berhasil parkir di titik Lagrangian L2 diantara Matahari dan Bumi pada Januari 2022. Jarak posisi JWST dengan Bumi sekira 1,5 juta kilometer.
JWST adalah penerus teleskop angkasa Hubble yang masih akan beroperasi hingga tahun 2030 atau 2040 mendatang. Teknologi  JWST lebih canggih dan mampu menghasilkan foto-foto langit dengan area lebih luas dan resolusi lebih tinggi.
Angkasa begitu luas, kita begitu kecil
Cukup lama saya mengamati foto SMACS 0723 dari JWST. Bulatan-bulatan kecil warna-warni itu adalah galaksi-galaksi yang jumlahnya mencapai ribuan. Di dalam setiap galaksi terdapat sekian banyak tata surya, dimana terdapat planet-planet di dalamnya.
Bayangkan, betapa kecilnya Bumi tempat manusia, satwa dan flora hidup bersama dan beranak pinak. Begitu sangat kecilnya pulau dimana kita tinggal. Apalagi rumah yang menjadi tempat tinggal kita untuk keluarga kecil kita.
Sebagai informasi, pada 14 Februari 1990 silam wahana nirawak Voyager 1 memotret Bumi yang nampak sangat kecil mungil di lautan angkasa. Foto itu dibuat atas permintaan almarhum Carl Sagan, astronom dan pakar astrofisika dan astrobiologi terkenal dari Amerika Serikat. Empat tahun kemudian ia menulis sebuah buku berjudul "Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space".
Sebuah galaksi di semesta ini terdiri dari bintang-bintang, miliaran planet, miliaran bulan atau satelit, asteroid, komet, hingga debu kosmik. Bila kita analogikan dengan struktur sebuah atom yang di dalamnya terdapat partikel-partikel subatomik seperti proton, elektron dan neutron, sebuah galaksi terdiri dari milyaran partikel yang berkali lipat lebih banyak dari partikel subatomik.
Padahal ada hipotesis parallel universe atau multiverse yang berpendapat bahwa ada banyak sekali alam semesta di angkasa layaknya gelembung-gelembung. Setiap "gelembung" merupakan sebuah alam semesta maha luas yang di dalamnya terdapat milyaran galaksi. Woww...
Penggambaran multiverse dalam film "Doctor Strange in the Multiverse of Madness" (2022) menarik tetapi cukup membingungkan saya. Apakah mungkin di semesta-semesta lainnya kita memiliki duplikat diri kita yang sama persis dengan kita ?
Bila hipotesis itu dapat ditegakkan, saya malah lebih sepakat dengan ide adanya manusia berakal lainnya di alam semesta lainnya. Simpel saja, Tuhan tidak akan menciptakan alam semesta yang maha luas ini dengan sia-sia.
Bila hipotesis itu berhasil dibuktikan, betapa sangat sangat kecilnya kita yang ibaratnya cuma remahan debu semesta. Bayangkan, Tuhan Yang Maha Besar mengelola kumpulan alam semesta yang luar biasa yang rasanya mustahil untuk kita jangkau.
Kecuali mungkin dengan kekuatan sebagaimana yang tercantum dalam Al Quran surat Ar Rahman ayat 33 yang diterjemahkan sebagai berikut: "Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan".
Pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan kekuatan itu? Hmmm... Bisa jadi teknologi roket yang canggih, pesawat antar bintang seperti USS Enterprise di film Star Trek atau Millennium Falcon di film Star Wars. Atau mungkin kemampuan meng-generate wormhole alias lubang cacing atau warp yang membuat kita bisa berkelana ke angkasa dengan lebih singkat.
Mungkin setelah kita mampu memahami angkasa dan menguasai eksosains, suatu saat nanti kita akan bisa melakukan itu. Tidak sekadar teknologi mixed reality, tetapi kita benar-benar menjejakkan kaki di planet lain di galaksi lain atau pun di semesta lain.
Ketika masa itu tiba, mindset dan cara berpikir kita tentu sudah jauh berbeda dengan manusia sekarang. Pada masa itu, komunikasi mungkin dilakukan ala telepati berkat implan semacam chip yang disematkan di balik telinga atau otak, atau bahkan mungkin benar-benar telepatis berkat kemampuan mengolah gelombang otak.
Tidak ada kendala bahasa karena terdapat fitur penterjemah bahasa secara otomatis. Manusia di masa depan akan saling terhubung, baik mereka yang ada di Bumi atau pun yang hidup dalam koloni-koloni di planet lain.
Manusia lain di semesta raya, adakah?
Kita kerap mengklaim sebagai satu-satunya makhluk berakal yang hidup di alam semesta ini. Klaim demikian rasanya menyiratkan kesombongan kita sebagai manusia yang cuma numpang hidup di Bumi.
Dengan bukti-bukti eksistensi planet-planet dan benda angkasa lainnya yang telah ditangkap oleh wahana antariksa, apakah klaim itu akan abadi? Rasanya tidak. Mungkin kita bisa menganalogikan dengan hutan paling terpencil yang menjadi tempat tinggal suku-suku pedalaman yang tidak pernah kita duga sebelumnya bahwa mereka eksis.
Begitu pula semesta yang raya, rasanya bukan alam yang sepi. Pasti ada manusia atau makhluk berakal yang juga hidup di sana seperti manusia Bumi tetapi dengan cara hidup yang berbeda. Mungkin manusia lain di planet atau galaksi lain memiliki peradaban yang jauh lebih maju dari pada manusia Bumi, tetapi mungkin juga ada yang peradabannya di belakang manusia Bumi.
Frank Drake, pakar astronomi dan astrofisika dari Amerika, pada tahun 1961 silam membuat suatu kalkulasi yang disebut dengan "Drake equation" atau persamaan Drake. Persamaan itu dikenal luas di kalangan astronom internasional hingga merambah ke pegiat ufologi yang meyakini adanya makhluk berakal atau alien dari planet lain.
Lebih jauh mengenai persamaan Drake, silakan membacanya di laman SETI Institute. SETI adalah singkatan dari Search for Extraterrestrial Intelligence atau pencarian kecerdasan ekstraterestrial atau luar bumi. Misi lembaga ini adalah memindai angkasa untuk mencari kehidupan cerdas di luar Bumi.
Sejauh ini misi tersebut belum menemukan eksistensi makhluk cerdas dari planet atau galaksi lain. Akan tetapi para ilmuwan di sana juga tak henti berupaya mengembangkan metode atau pun alat baru. Di tahun 2019 lalu misalnya, SETI merilis alat baru Technosearch yang mendukung upaya pencarian yang akurat dan mutakhir. (sumber: Kompas.com)
Teknologi baru setelah JWST?
Teknologi selalu berkembang dan selalu lebih canggih dari pada teknologi sebelumnya. Teleskop JWST yang saat ini sedang bekerja di angkasa memiliki instrumen yang lebih canggih dan lebih sensitif dari pada teleskop Hubble.
Foto-foto hasil jepretan JWST terbilang lebih detail dan lebih presisi dari pada hasil jepretan Hubble. JWST juga dilengkapi instrumen yang bisa mendeteksi adanya air di suatu planet asing.
Beberapa tahun hingga beberapa dekade lagi, akan ada teleskop baru yang mungkin bisa menggantikan atau bekerja sama dengan JWST. Saat ini teleskop "Extremely Large Telescope" atau ELT sedang dibangun di Cerro Armazones di gurun Atacama di Chile.
Proyek besutan European Southern Observatory (ESO) itu kemungkinan akan siap beberapa tahun lagi. Konstruksinya sudah dimulai sejak tahun 2014 dan diperkirakan selesai tahun 2025.
Teleskop ini memiliki kemampuan mengumpulkan cahaya 13 kali lebih kuat dari pada teleskop terbesar yang sudah eksis. Itu artinya ELT jauh lebih kuat dari pada JWST yang konon memiliki kemampuan mengumpulkan cahaya tujuh kali lebih kuat dari pada Hubble. Nah, ELT dirancang menghasilkkan foto 16 kali lebih tajam dari pada Hubble.
Dari laman ESO, nantinya ELT akan berperan dalam memajukan pengetahuan astrofisika yang memungkinkan studi terperinci mengenai planet di sekitar bintang lain, galaksi pertama di alam semesta, lubang hitam supermasif, hingga sifat sektor gelap alam semesta. Lebih jauh, ELT akan memindai planet untuk mendeteksi kandungan air dan molekul organik yang merupakan tanda-tanda kehidupan.
Proyek lainnya adalah "Breakthrough Startshot" yang dinisiasi oleh Breakthrough Initiative yang diluncurkan tahun 2016 lalu. Proyek yang telah menerima kucuran dana awal sebesar USD 100 juta ini diprakarsai oleh, antara lain: Yuri Milner (seorang investor internet dan filantropis sains dari Rusia/Israel), almarhum Stephen Hawking (pakar fisika teoritis dan kosmologi dari Inggris) dan CEO Facebook Mark Zuckerberg.
Nama-nama lain yang juga bergabung dengan proyek ini antara lain Pete Worden, mantan Direktur Ames Research Center NASA yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif. Avi Loeb, pakar fisika teoritis dari Harvard yang juga mendalami astrofisika dan kosmologi, didapuk menjadi Ketua Komite Penasehat. Figur lainnya antara lain Ann Druyan (produser film Amerika) dan Mae Jemison (mantan astronot NASA, dokter dan insinyur). Figur-figur lainnya terdaftar di laman Starshot Leaders.
Proyek ini diperkirakan akan terwujud kira-kira 50 hingga 100 tahun mendatang dengan sasaran eksoplanet seukuran bumi bernama Proxima Centauri b yang mengitari bintang Proxima Centauri. Menurut laman Breakthrough Initiatives, proyek ini akan mencari bukti konsep penggunaan berkas cahaya guna mendorong nanocraft berskala gram hingga 20 persen kecepatan cahaya. Kemungkinan misi fly-by bisa mencapai Alpha Centauri dalam waktu kira-kira 20 tahun sejak diluncurkan.
Sebagai informasi, jarak Alpha Centauri dari Bumi sekira adalah 4,37 tahun cahaya. Teknologi pesawat antariksa saat ini memerlukan waktu kira-kira 30 ribu tahun untuk bisa sampai ke sana.
Nah, nanocraft merupakan sebuah pesawat antariksa kecil robotik yang diberi nama StarChips. Para ilmuwan mengembangkan sistem pesawat antariksa yang menggunakan laser yang kuat yang diaplikasikan pada pesawat tersebut agar mampu mengarungi angkasa sekira 15 hingga 20 persen kecepatan cahaya.
Wahana cikal bakal StarChips yang diberi nama Sprites sukses mengangkasa pada tahun 2017 lalu. Wahana tersebut berhasil melakukan komunikasi dengan stasiun Bumi. Misi tersebut bertujuan untuk menguji seberapa baik kinerja Sprite di orbit rendah Bumi, serta dalam rangka mendemonstrasikan arsitektur komunikasi radio baru.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H