Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bergaya Hidup Minimalis, Berani?

8 Januari 2020   13:16 Diperbarui: 9 Januari 2020   04:18 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

New York City bisa disebut sebagai kota sejuta apartemen. Nyaris tidak ada manusia yang hidup di rumah tapak di seantero kota yang dipenuhi dengan gedung-gedung jangkung. Karena unit apartemen umumnya memliki luasan terbatas, gaya hidup minimalis pun menjadi satu-satunya pilihan.

Misalnya hanya memiliki satu unit ranjang, bahkan kadang hanya satu matras untuk tidur. Hanya ada satu lemari pakaian, satu lampu yang menerangi seluruh ruangan, dan lain-lain. Intinya hanya perabot yang betul-betul esensial yang mereka perlukan untuk kehidupan sehari-hari.

Sebetulnya gaya hidup minimalis ini sudah ada sejak dulu kala, biasanya dilakukan oleh orang-orang saleh dengan tingkat religi/spiritualisme yang tinggi. Tak heran karena mereka biasanya anti materialistis yang menomorsekiankan duniawi.

Sebelum berkembang di kota New York, gaya hidup minimalis dilakukan oleh sejumlah figur di masa lalu. Misalnya Henry David Thoreau, penulis dari AS yang melakukan eksperimen hidup sederhana selama dua tahun di tepian danau Walden, di wilayah Concord, Massachusetts.

Thoreau tinggal di sebuah ruangan dengan unit perapian yang hanya terdiri dari satu ranjang, satu set meja makan dan satu set meja kerja. Hasil eksperimennya ia tulis dalam buku berjudul Walden (1854).

Rekonstruksi kabin Thoreu di tepi danau Walden | Sumber: flickr.com/photos/namlhots
Rekonstruksi kabin Thoreu di tepi danau Walden | Sumber: flickr.com/photos/namlhots
Di abad ke -20, buku The Life-Changing Magic of Tidying Up: The Japanese Art of Decluttering and Organizing (2014) karya Marie Kondo mendorong gaya hidup minimalis secara lebih luas lagi. 

Edisi bahasa Inggris buku tersebut menjadi nomor satu di Amerika Serikat versi New York Times. Buku tersebut sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan telah dicetak ulang hingga ke-14 kalinya.

Kondo, seorang konsultan kebersihan dari Jepang memperkenalkan metode revolusioner beres-beres rumah yang diberi nama KonMari, metode menyederhanakan, mengatur, dan menempatkan barang-barang di rumah. Inspirasinya dari nilai-nilai religius Shintoisme.

Dalam buku tersebut, Kondo memberikan masukan praktis secara bertahap sedikit demi sedikit, dari ruang ke ruang yang akan membuat orang tidak mengulang kembali kekacauan di rumah. Hal ini mendorong orang untuk membeli barang yang sangat diperlukan saja.

Sejumlah tayangan video beres-beres ala Marie Kondo di YouTube sangat menarik dan bermanfaat. Tips itu bermanfaat buat anak muda masa kini. Apalagi kalangan milenial punya mindset praktis yang sejalan dengan konsep gaya hidup minimalis.

Sebuah survey dari Harris Poll and Eventbrite yang dikutip oleh Bloomberg di tahun 2016 lalu mengindikasikan bahwa kalangan milenial lebih senang pengalaman daripada membeli barang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun