Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Selamat Ulang Tahun ke-11 Kompasiana...

25 Oktober 2019   13:48 Diperbarui: 25 Oktober 2019   13:55 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi mengetik draft tulisan buat Kompasiana (sumber: TheManual.com)

Pertama-tama saya mengucapkan Selamat Ulang Tahun yang ke-11 untuk Kompasiana dan tim yang bekerja keras di dalamnya. Saya mohon maaf atas keterlambatan ucapan ulang tahun ini. Tetapi lebih baik terlambat dari pada tidak, bukan? ("Bukan..." Hmmm, kelakuan orang-orang yang duduk di kursi paling belakang..)

Mohon maaf lagi saya baru tahu kalau HUT Kompasiana itu jatuh pada tanggal 22 Oktober. Padahal saya sudah cukup lama bergabung. Sudah sekian tahun lamanya... Harap maklum.

Tentang tanggal lahir Kompasiana, bagi saya itu tanggal yang istimewa. Karena yang pertama bertepatan dengan peringatan Hari Santri Nasional. Hari tersebut tidak saja diperingati oleh santri-santri dari penjuru Nusantara, tetapi juga masyarakat yang bukan santri.

Kalau para santri memperingatinya dengan sejumlah even misalnya tausiah, dzikir bersama, kirab, lomba-lomba dan lain-lain. Kalangan non santri sebagian ikut hadir di sejumlah even, sebagian ada yang di rumah saja mendoakan agar santri-santri di seluruh Nusantara dapat berperan dalam pembangunan bangsa.

Kedua, yang utama bagi saya pribadi, tanggal lahir Kompasiana itu sama dengan tanggal lahir ibunda saya. Jadi mulai sekarang saya punya semacam reminder atau pengingat setiap tahunnya, HUT Kompasiana mengingatkan saya pada ultah ibu saya. Atau sebaliknya, ketika ibu saya ultah, sekaligus juga mengingatkan HUT Kompasiana. 

Kompasiana adalah sarana latihan menulis saya

Meskipun sejumlah tulisan saya pernah masuk koran lokal (dulu banget ketika saya masih lucu-lucunya, tidak banyak, segelintir saja), saya merasa kemampuan menulis saya masih kurang. Oleh karena itu saya harus banyak belajar biar tulisan saya semakin enak dibaca dan bermanfaat bagi pembaca dimanapun mereka berada. :)

Pada suatu waktu saya mengenal Kompasiana, tidak pakai lama saya pun memutuskan bergabung. Tulisan pertama saya yang saya unggah tentang politik. Cuma nangkring sebentar di halaman depan Kompasiana, seakan berkenalan dengan para Kompasianer yang telah bergabung sebelumnya.

Rupanya ada yang membaca tulisan perdana saya itu walaupun tidak banyak. Tulisan itu belum mendapat apresiasi sebagai tulisan "Highlight" atau "Headline", sekadar muncul lalu hilang ditelan oleh tulisan-tulisan lainnya. Di awal-awal saya bergabung, saya juga belum tahu tentang "pengakuan" tersebut.

Tulisan kedua masih tentang politik, tetapi kali ini lumayan ada perkembangan. Terpilih sebagai artikel "Highlight" atau kalau di jaman sekarang disebut dengan "Pilihan". Tetapi saya lantas mengevaluasi tulisan saya. Saya berpikir bahwa saya tidak punya kemampuan menulis di bidang ini, jadi saya memutuskan berhenti menulis topik politik.

Sebetulnya saya bisa saja mengembangkan tulisan saya dalam bidang politik asal rajin mengikuti perkembangan politik. Saya membaca tulisan sejumlah Kompasianer yang fokus pada topik politik, tulisan mereka terbilang bagus. Itu pasti karena mereka rajin mengikuti perkembangan politik. Tetapi saya memutuskan untuk tidak akan melanjutkan.

Walau begitu, saya sempat menulis beberapa tulisan yang menjurus ke politik. Tapi tulisan itu bisa dihitung dengan jari alias sedikit saja. Sambil mengeskplorasi topik-topik lain yang saya minati, saya pun memulai "kelas menulis" saya di Kompasiana.

Tulisan dari beberapa Kompasianer lain saya amati. Saya menilai wawasan mereka luas, keterampilan menulis mereka juga baik, bahkan ada yang jauh lebih baik dari Kompasianer lainnya. Itu membuat saya ingin belajar dari mereka. Beruntung di Kompasiana, saya cukup mempelajari lewat tulisannya saja.  

Selain belajar lewat Kompasiana, saya juga belajar dari tulisan-tulisan di koran Kompas. Koran ini adalah guru utama saya dalam belajar menulis. Hampir setiap hari saya membaca koran Kompas. Saya melanggannya sudah lumayan lama. Awalnya beli eceran di agen, lalu saya memutuskan berlangganan. Awalnya koran dikirim ke kantor, tetapi karena pernah hilang saya minta dikirim ke rumah saya sampai sekarang.

Bagi saya koran Kompas adalah guru terbaik saya dalam menulis. Menurut saya tidak ada koran dengan tulisan yang baik selain Kompas. Ini bukan memuji supaya mendapat diskon langganan koran ya.. Hehe.

Coba saja Anda bandingkan sendiri gaya dan teknik penulisan koran Kompas dengan koran lain. Jauh berbeda. Beberapa teman saya mengatakan Kompas adalah koran yang "berat", tidak seperti koran yang biasa mereka baca. Saya hanya tersenyum saja.

Sebetulnya ada satu koran lain yang menurut saya juga bagus dalam hal teknis kepenulisan dan gaya bahasa yang digunakan. Saya mengenal koran itu dari salah seorang teman yang pernah menjadi wartawan di koran tersebut. Mohon maaf saya tidak bisa menyebutkan nama korannya. Tetapi tetap saja bagi saya Kompas adalah koran terbaik.

Ketika membaca koran Kompas, selain membaca artikel-artikel, saya juga berusaha menyerap teknik kepenulisan di sana. Maklum saya bukan lulusan sekolah jurnalistik, bahkan kursus jurnalistik pun tidak pernah. Dengan sering membaca tulisan para jurnalis Kompas, saya kira itu bisa membantu saya untuk menulis dengan lebih baik.

Artikel opini dari sejumlah tokoh juga saya baca (kalau sempat). Biasanya opini di koran Kompas mengulas tentang topik yang sedang hangat. Karena ditulis oleh penulis yang berbeda, maka saya juga belajar dari mereka.  

Beberapa waktu kemudian, saya mulai menulis ulasan film dan cerpen. Cerpen pertama saya di Kompasiana pernah diangkat menjadi "Headline" atau HL atau kalua di jaman sekarang "Artikel Utama". Sayang ketika Kompasiana migrasi sistem, tulisan tersebut hilang. Saya pun mengunggahnya kembali tetapi jumlah pembacanya me-restart lagi dari nol. Sedih, tapi tidak masalah.  

Lalu, saya pun mulai menikmati menulis cerpen. Selama beberapa waktu lamanya hampir saban akhir pekan saya mengunggah cerpen. Tetapi lama-lama saya merasa bosan menulis cerpen dan ingin menulis hal lainnya. Tetapi menulis apa?

Pada suatu hari, saya diminta oleh atasan saya untuk membuat sebuah emagazine untuk staf kantor. Tujuannya agar memberikan informasi terbaru kepada mereka. Emagazine itu terbit setiap minggu, tepatnya setiap Senin.

Sejumlah rekan membantu saya membuat konten. Tetapi pada kenyataannya, hampir setiap edisi saya kerjakan sendiri dengan mensiasati jam kerja kantor. Menulis di Kompasiana untuk sementara vakum dulu.

Syukurlah emagazine itu mendapat apresiasi positif dari sejumlah rekan (yang suka membaca, hehe). Awalnya emagazine itu hanya terdiri dari empat halaman, lalu berkembang menjadi enam halaman. Kontennya seputar info terbaru industri dimana perusahaan berkecimpung, opini singkat, biografi tokoh atau ilmuwan, tips, ulasan ringkas tentang buku, film, film dokumenter hingga musik, sampai humor.

Pada awalnya emagazine diletakkan di sebuah folder yang bisa diakses oleh sebagian besar staf kantor. Lalu ketika kantor mengaplikasikan cloud server, emagazine pun diletakkan di sana.

Setelah kira-kira dua tahun lamanya secara rutin memberi informasi kepada staf kantor di beberapa kota, karena sesuatu hal, emagazine tersebut berhenti terbit. Dengan berat hati, saya merilis edisi terakhir. Sejak itu saya jadi kehilangan aktivitas menulis. Rasanya ada yang kurang dalam hidup kalua tidak menulis (ciieeeeeee.....)

Akhirnya saya pun kembali ke Kompasiana. Lama tidak menulis di Kompasiana membuat saya seperti me-refresh kembali suasana di Kompasiana. Tidak lama saya pun mulai terbiasa dengan "alam" di Kompasiana. Saya menulis apa saja yang menjadi minat saya, hal yang menarik bagi saya, atau sesuatu yang sedang viral / trending.

Saya mengamati banyak Kompasianer yang tulisannya bagus-bagus dan berkualitas. Bahkan tulisan-tulisan Kompasianer yang baru bergabung pun tak kalah bagus dengan Kompasianer yang sudah lebih dulu bergabung.

Rasanya senang berada di Kompasiana. Di platform ini, antar Kompasianer bisa saling bertegur sapa, saling memberi umpan balik positif, kadang diselingi canda, semuanya membuat Kompasiana jadi semakin hidup. Terima kasih banyak Kompasiana...

Sampai kini saya berusaha untuk menulis di Kompasiana. Belum kepikiran untuk yang lain-lain. Saya memilih vakum di blog saya karena lebih nyaman di Kompasiana. Saya mencoba platform lain sebagai selingan saja, yang utama tetap menulis di Kompasiana.

Mudah-mudahan Kompasiana dapat terus eksis hingga nanti, sebagai  wadah bagi penulis-penulis pemula untuk mengembangkan keterampilan menulisnya. Walau ada platform lain yang juga membuka penulis pemula untuk bergabung, menurut saya Kompasiana berbeda dari yang lain.

Saya cinta Kompasiana? Kebetulan saya bukan orang yang suka mengekspresikan sesuatu hal secara terang-terangan apalagi berlebihan. Terikat selama sekian tahun lamanya dan kembali lagi setelah sekian lama vakum sudah cukup menjadi bukti.

Selamat Ulang Tahun yang ke-11, Kompasiana... Semoga Makin Jaya, Jaya, Jaya...!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun