Walau begitu, saya sempat menulis beberapa tulisan yang menjurus ke politik. Tapi tulisan itu bisa dihitung dengan jari alias sedikit saja. Sambil mengeskplorasi topik-topik lain yang saya minati, saya pun memulai "kelas menulis" saya di Kompasiana.
Tulisan dari beberapa Kompasianer lain saya amati. Saya menilai wawasan mereka luas, keterampilan menulis mereka juga baik, bahkan ada yang jauh lebih baik dari Kompasianer lainnya. Itu membuat saya ingin belajar dari mereka. Beruntung di Kompasiana, saya cukup mempelajari lewat tulisannya saja. Â
Selain belajar lewat Kompasiana, saya juga belajar dari tulisan-tulisan di koran Kompas. Koran ini adalah guru utama saya dalam belajar menulis. Hampir setiap hari saya membaca koran Kompas. Saya melanggannya sudah lumayan lama. Awalnya beli eceran di agen, lalu saya memutuskan berlangganan. Awalnya koran dikirim ke kantor, tetapi karena pernah hilang saya minta dikirim ke rumah saya sampai sekarang.
Bagi saya koran Kompas adalah guru terbaik saya dalam menulis. Menurut saya tidak ada koran dengan tulisan yang baik selain Kompas. Ini bukan memuji supaya mendapat diskon langganan koran ya.. Hehe.
Coba saja Anda bandingkan sendiri gaya dan teknik penulisan koran Kompas dengan koran lain. Jauh berbeda. Beberapa teman saya mengatakan Kompas adalah koran yang "berat", tidak seperti koran yang biasa mereka baca. Saya hanya tersenyum saja.
Sebetulnya ada satu koran lain yang menurut saya juga bagus dalam hal teknis kepenulisan dan gaya bahasa yang digunakan. Saya mengenal koran itu dari salah seorang teman yang pernah menjadi wartawan di koran tersebut. Mohon maaf saya tidak bisa menyebutkan nama korannya. Tetapi tetap saja bagi saya Kompas adalah koran terbaik.
Ketika membaca koran Kompas, selain membaca artikel-artikel, saya juga berusaha menyerap teknik kepenulisan di sana. Maklum saya bukan lulusan sekolah jurnalistik, bahkan kursus jurnalistik pun tidak pernah. Dengan sering membaca tulisan para jurnalis Kompas, saya kira itu bisa membantu saya untuk menulis dengan lebih baik.
Artikel opini dari sejumlah tokoh juga saya baca (kalau sempat). Biasanya opini di koran Kompas mengulas tentang topik yang sedang hangat. Karena ditulis oleh penulis yang berbeda, maka saya juga belajar dari mereka. Â
Beberapa waktu kemudian, saya mulai menulis ulasan film dan cerpen. Cerpen pertama saya di Kompasiana pernah diangkat menjadi "Headline" atau HL atau kalua di jaman sekarang "Artikel Utama". Sayang ketika Kompasiana migrasi sistem, tulisan tersebut hilang. Saya pun mengunggahnya kembali tetapi jumlah pembacanya me-restart lagi dari nol. Sedih, tapi tidak masalah. Â
Lalu, saya pun mulai menikmati menulis cerpen. Selama beberapa waktu lamanya hampir saban akhir pekan saya mengunggah cerpen. Tetapi lama-lama saya merasa bosan menulis cerpen dan ingin menulis hal lainnya. Tetapi menulis apa?
Pada suatu hari, saya diminta oleh atasan saya untuk membuat sebuah emagazine untuk staf kantor. Tujuannya agar memberikan informasi terbaru kepada mereka. Emagazine itu terbit setiap minggu, tepatnya setiap Senin.