Akhirnya film horor "Midsommar", pun tayang di Indonesia setelah kabar yang berhembus sebelumnya bahwa film ini tidak lolos sensor. Nyatanya film produksi A24 itu dapat beredar, tetapi dengan sejumlah pemotongan di sana-sini.
Sekira sembilan menit adegan harus disingkirkan agar film ini dapat dinikmati oleh penikmat film Indonesia. Ada sejumlah adegan yang mengganggu yang sangat tidak pantas yang mengandung kekerasan, adegan brutal, serta adegan yang tidak senonoh.
Setelah disensor, film "Midsommar" pun jadi terkesan biasa saja, malah seperti film drama pada umumnya. Cerita film tetap dapat dinikmati walau ada sejumlah missing link. Tetapi anehnya, walau sudah banyak adegan yang dibuang, film ini masih dilabeli rating "untuk 21 tahun ke atas". Penyensoran sejumlah adegan dalam film ini menimbulkan kekecewaan sejumlah penonton, tetapi ya sudah lah.
"Midsommar" adalah film kedua sutradara muda Ari Aster. Tahun 2018 lalu, ia mendobrak dunia film horor dengan film debut "Hereditary", sebuah film horor drama psikologis  yang menuai pujian dimana-mana.
Baik "Hereditary" dan "Midsommar" adalah dua film horor yang tergolong serius, bukan horor golongan popcorn movies yang bisa ditonton sambil ketawa-ketiwi. Tetapi bukan berarti Aster mengharamkan humor di dalam filmnya. Di "Midsommar", unsur humor ringan muncul sesekali untuk membumbui nuansa mengerikan film tersebut. Â
Dua karya Aster tersebut membawa genre horor ke level yang lebih tinggi. Aster tidak perlu memunculkan karakter demonic seperti hantu, setan, monster atau sejenisnya, karena sebenarnya sumber kedurjanaan adalah manusia itu sendiri. Pun tidak ada jumpscare alay sebagaimana muncul di film horor lainnya.
Aster sangat sadar bahwa genre yang ia usung punya titik berat pada adegan-adegan yang menimbulkan rasa khawatir, cemas atau terganggu. Tetapi ia juga ingin filmnya diapresiasi sebagai karya seni yang tidak gampang dilupakan begitu saja. Karena itu setiap elemen harus tampil elegan dan bermakna.
Sebelum proyek "Midsommar" dimulai, Aster melakukan riset mendalam. Ia harus terbang ke Swedia dan membentuk tim riset di sana. Karena film terbarunya ini akan mengandung elemen folklore atau budaya Swedia, maka ia harus memahami kebudayaan setempat. Kunjungan ke museum kebudayaan setempat pun ia lakoni demi film fiksi yang terasa realistik
Aster memang sosok sutradara yang dikenal teliti dan peduli terhadap detail. Oleh karena itu, ia juga dinilai sebagai sosok yang perfeksionis. Tim proyek filmnya harus bisa memberikan apa yang ia kehendaki.
Tidak berlaku pada para casts yang harus tampil total, kru film juga harus demikian. Sebagian kru merasakan tantangan keras selama penggarapan film ini. Misalnya, shooting di sepanjang siang yang panas setiap hari. Film "Midsommar" memang ingin tampil beda, menyajikan horor di siang bolong.
Kru film bahkan harus tahu posisi matahari yang tepat untuk melakukan shooting adegan tertentu. Karena shooting sebagian besar dilakukan di alam terbuka, ada tantangan non teknis misalnya gangguan sejumlah lebah dan munculnya spesies laba-laba yang mengerikan. (Hmmm, kru film horor tapi ternyata masih ngeri juga sama serangga.)   Â