Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bersatu dalam Perbedaan, Sebuah Angan atau Kenyataan?

20 Agustus 2019   20:15 Diperbarui: 21 Agustus 2019   10:35 1520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini dua peristiwa berlatar belakang sentimen SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) viral dalam waktu yang berdekatan. Dua-duanya punya outcome yang sama yaitu keresahan masyarakat. Bahkan salah satunya memicu kemarahan, membuat kerusuhan lokal yang berdampak nasional dan diberitakan oleh sejumlah media asing global. Hal ini membuat kita semua merasa prihatin.

Tapi semuanya telah terlambat. Seluruh dunia terlanjur tahu bahwa ada masalah dengan kehidupan orang Indonesia. Sontak kita malu. Apa yang bisa kita jelaskan kepada dunia, dan bagaimana reaksi mereka setelah mereka mengetahui akar permasalahannya ternyata dilatarbelakangi oleh sentimen SARA?

Saya melihat kalender, hari ini menunjukkan tanggal 20 Agustus 2019. Sekali lagi, tahun 2019. Cukup jauh dari tanggal 17 Agustus tahun 1945 dimana bangsa Indonesia mulai merasakan kemerdekaan.  Tetapi tahun 2019 lumayan jauh dari tanggal 28 Oktober 1928 dimana ikrar Sumpah Pemuda pertama kali digaungkan dalam Kongres Pemuda II.

Kedua peristiwa penting di dua tanggal tersebut seharusnya menjadi titik balik kita sebagai orang Indonesia. Artinya, seharusnya kita sudah selesai dengan perbedaan terkait suku, agama, ras, antar golongan.

Perbedaan-perbedaan itu sudah dijawab dengan kata "PERSATUAN" yang tersirat secara eksplisit di tahun 1928 dan menjadi semangat yang mendasari lahirnya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1945.

Kalau ada yang lupa dengan isi Sumpah Pemuda, mari kita baca bersama teksnya berikut ini sebagai pengingat:

Pertama: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. 

Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia 

Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

(Lebih jauh tentang sejarah Sumpah Pemuda, simak kembali artikel ringkas di Kompas.com)

Jadi persatuan dalam kehidupan kita sebagai bangsa tidak perlu dipertanyakan kembali, apalagi diperdebatkan. Persatuan adalah final dan tidak bisa ditawar-tawar. Persatuan Indonesia menurut saya adalah predominant (yang paling utama), priceless (tidak ternilai) dan precious (mulia).

Kita baru sadar ketika sel-sel anti persatuan secara perlahan telah membentuk jaringan kanker yang meluas, yang mengikis esensi persatuan sebagaimana yang diikrarkan pada tahun 1928 lalu. Mungkin saja perlu formula baru untuk mengatasinya, karena tantangan di masa lalu jelas berbeda dengan tantangan di masa kini.

Kadang terbersit di benak saya, apakah mungkin Kongres Pemuda Indonesia perlu diadakan setiap tahun? Sebagai pengingat bahwa dulu kita pernah tercerai-berai namun kemudian dipersatukan.

Saya meyakini pemerintah akan mengevaluasi aksi yang berindikasi menentang persatuan yang baru-baru ini terjadi,. Pemerintah juga pasti akan menyusun kebijakan atau langkah tertentu guna meredam meluasnya tesis anti persatuan dalam bentuk apapun yang mengancam keutuhan bangsa.

Membangun persatuan dan kesatuan? Hiduplah yang inklusif, hindari hidup yang eksklusif

Upaya pemerintah untuk menjaga persatuan bangsa ini perlu kita bantu sepenuh hati. Kita bisa memulai dari diri kita sendiri. Hal paling mendasar adalah melihat kembali kehidupan sosial kita sehari-hari, apakah kita hidup secara inklusif atau eksklusif?

Bila Anda mengagungkan persatuan dan kesatuan Indonesia, maka hiduplah secara inklusif. Ini karena inklusivisme mengandung semangat peleburan sepenuhnya dengan beragam perbedaan antar manusia, serta bersama-sama melangkah ke depan sesuai cita-cita dan harapan masing-masing.

Hidup yang inklusif tidak memandang seseorang dari suku mana, agamanya apa, rasnya apa dan dari golongan mana? Gaya hidup inklusif itu sederhana saja, tidak bertele-tele, tidak kompleks.

Pribadi yang inklusif selalu mengutamakan kerukunan, kehidupan yang selaras dan harmonis bagaimanapun besarnya perbedaan diantara mereka. Syaratnya adalah mengedepankan toleransi dan saling menghormati antar sesama. Hal yang tidak sulit bagi para pemuja persatuan.

Kecuali bila seseorang tidak toleran atau enggan menghormati sesama, maka kehidupan inklusif hanyalah angan belaka. Pada akhirnya orang dengan sikap demikian susah membina kebersamaan, apalagi menjaga persatuan. Alam pikirannya diliputi egosentrisme atau keakuan yang memandang bahwa kebenaran adalah miliknya, bukan milik dia atau mereka.

Indonesia kita yang luas dengan penduduk bersuku-suku bangsa, aneka ragam budaya, banyak bahasa dan perbedaan-perbedaan lainnya mustahil dapat bersatu bila masing-masing mengedepankan keeksklusifannya.

Saya pribadi merasa bersyukur pernah menjalani kehidupan dengan beragam manusia baik yang berbeda propinsi, berbeda suku bangsa, berbeda agama hingga berbeda bangsa / negara. Perbedaan yang saya kenal itu tidak mendorong saya untuk menjadi ekskusif. Justru malah sebaliknya, menjadi inklusif.

Dulu ketika masih sekolah, saya punya teman baik yang berbeda suku dengan saya, berbeda asal propinsi, bahkan ada yang berbeda ras dan agama. Kami bersekolah, belajar bersama, bermain, bersepeda, menikmati hari-hari kami dengan suka cita. Walaupun saya tumbuh dengan dogma, tidak berarti dogma menjadi penghalang kehidupan sosial saya.

Tumbuh dewasa, saya semakin mengenal orang-orang tidak hanya dari propinsi lain tetapi juga dari negara lain. Beberapa pekerjaan saya mengharuskan saya untuk bekerja sama dengan mereka. Bahkan beberapa atasan saya datang dari belahan dunia lain. Meski berbeda dalam hal asal negara, suku bangsa, ras dan agama, kami memiliki misi yang sama untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik.

Saya merasa bersyukur dapat mengenal orang lain sebanyak-banyaknya. Cara pandang inklusif yang tertanam dalam diri saya secara alami malah membuka pola pikir saya seluas samudera, seluas angkasa. Saya merasa terbebaskan sebagai individu.

Saya melihat bahwa kehidupan yang eksklusif justru berpotensi menghambat pertumbuhan pola pikir. Gaya hidup ini (yang notabene seia sekata dengan egosentrisme) memandang manusia lain yang berbeda dengannya adalah berbeda sepenuhnya. Karena berbeda, tidak mungkin dapat berjalan beriringan. Apabila ingin mencapai kemajuan bersama, syaratnya harus ada aspek primer yang identik.

Saya tidak bisa membayangkan hidup secara eksklusif. Misalnya, sebuah perusahaan yang mensyaratkan karyawan dari satu suku saja, atau dari satu agama saja. Saya juga tidak bisa membayangkan ide sebuah kompleks permukiman yang mensyaratkan warganya dari salah satu agama saja.

Bila kehidupan yang demikian eksis, betapa monotonnya hidup. Hidup bagi mereka ibarat hitam dan putih saja. Tidak ada warna merah, kuning atau hijau. Kehidupan seperti itu tidak mengenal orang lain yang berbeda suku atau mungkin berbeda agama.

Pada akhirnya terjadi keterbatasan pola pikir oleh karena terbiasa bergaya hidup eksklusif. Gaya hidup eksklusif selain berpotensi mendegradasi nilai-nilai persatuan, juga menjauhkan manusia dari makna kemanusiaan.

Tentang kemanusiaan, filosof Jerman Immanuel Kant (1724-1804) pernah mengatakan makna kemanusiaan sebagai "Act in such a way that you treat humanity, whether in your own person or in the person of any other, never merely as a means, but always at the same time as an end" (sumber) yang diterjemahkan sebagai berikut "tindakan sedemikian rupa sehingga Anda memperlakukan umat manusia, baik dalam diri Anda sendiri atau orang lain, tidak pernah memandangnya sebagai sarana, tetapi selalu pada saat yang sama sebagai tujuan."

Intinya hubungan kemanusiaan adalah tentang berjalan bersama menuju harapan atau tujuan. Hal ini selaras dengan inklusivisme yang tidak memandang orang lain berbeda, misalnya dari suku apa atau agamanya apa. 

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu jua (unity in diversity) adalah modal kita membangun hidup yang serba inklusif.

Tapi tidak salah juga bila pilihan kita adalah hidup yang eksklusif, karena setiap orang memiliki hak untuk hidup sesuai keinginannya. Tetapi coba kita renungkan sekali lagi tentang konsep eksklusivisme yang cenderung mengesampingkan makna persatuan dalam perbedaan. Bahkan kadang memandang hal atau orang lain sebagai sebuah kekeliruan.

Padahal, benar menurut seseorang atau suatu kelompok suku, ras atau agama belum tentu benar menurut yang lain. Sampai di sini kita memahami bahwa selain selaras dengan egosentrisme, eksklusivisme juga menyeret subyektivisme ke dalam pusarannya.  

Prof. DR. Bungaran Antonius Simanjuntak, pakar sosiologi dan antropologi budaya, dalam bukunya "Pikiran Kritis untuk Rakyat Indonesia: Pengaduan kepada Bung Karno dan Ompui Nommensen" (2009:4) memberi pesan bahwa "untuk merajut kerukunan umat dan kesatuan bangsa baru dapat dilakukan jika nilai-nilai budaya berupa solidaritas, harmonitas, ekualitas, kesamaan, kesetaraan serta kerjasama dapat dibangun oleh masyarakat secara bersama-sama untuk membentuk visi yang sama".

Apa yang disebutkan oleh Prof Simanjuntak tadi adalah nilai-nilai hidup yang inklusif. Lebih lanjut, Simanjuntak menekankkan "Serentak dengan itu maka eksklusivisme, dominanisme, chauvinisme budaya atau egosentrisme budaya bahkan fanatisme agama dan kesukuan harus ditinggalkan." Itu semua adalah bagian dari nilai-nilai eksklusivisme.

Saya pribadi ingin hidup saya berwarna. Semakin berwarna, semakin membuat saya bersuka cita dan awet muda. Saya enggan direpotkan dengan  hal yang tidak berfaedah, misalnya memandang orang lain yang berbeda dengan saya sebagai sebuah bencana. Saya tidak perlu nyinyir atau merasa dengki terhadap orang lain oleh karena perbedaan preferensi politik misalnya.

Perbedaan kita dengan orang lain sebaiknya disikapi sebagai anugerah. Saya pribadi memandang perbedaan sebagai hikmah. Saya bisa menyerap hal atau pengetahuan baru dari orang lain yang mungkin berbeda sepenuhnya dari diri saya. Sebab hubungan sosial yang serba inklusif akan memperluas cara pandang kita terhadap manusia lainnya.

Beberapa teman atau mantan atasan saya yang pada suatu waktu pernah hidup di kota yang sama, tiba-tiba sudah hidup di kota lain atau propinsi lain. Bahkan ada yang sudah berkarir ke negara atau benua lain.

Mereka bertemu orang-orang baru di sana yang berbeda suku bangsa, berbeda negara, berbeda ras, berbeda agama, berbeda preferensi politik dan sebagainya. Kalau teman-teman saya itu berpaham eksklusif, kehidupan mereka di sana pasti memiliki sejumlah masalah.

Saya sendiri lebih memilih hidup dengan mindset inklusif, tetapi saya terapkan di ranah lokal saja. Juga untuk saat ini, saya tidak punya niat berkarir di luar negeri. Alasannya sederhana saja, di sana tidak ada lemper, jajanan favorit saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun