Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bersatu dalam Perbedaan, Sebuah Angan atau Kenyataan?

20 Agustus 2019   20:15 Diperbarui: 21 Agustus 2019   10:35 1520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal, benar menurut seseorang atau suatu kelompok suku, ras atau agama belum tentu benar menurut yang lain. Sampai di sini kita memahami bahwa selain selaras dengan egosentrisme, eksklusivisme juga menyeret subyektivisme ke dalam pusarannya.  

Prof. DR. Bungaran Antonius Simanjuntak, pakar sosiologi dan antropologi budaya, dalam bukunya "Pikiran Kritis untuk Rakyat Indonesia: Pengaduan kepada Bung Karno dan Ompui Nommensen" (2009:4) memberi pesan bahwa "untuk merajut kerukunan umat dan kesatuan bangsa baru dapat dilakukan jika nilai-nilai budaya berupa solidaritas, harmonitas, ekualitas, kesamaan, kesetaraan serta kerjasama dapat dibangun oleh masyarakat secara bersama-sama untuk membentuk visi yang sama".

Apa yang disebutkan oleh Prof Simanjuntak tadi adalah nilai-nilai hidup yang inklusif. Lebih lanjut, Simanjuntak menekankkan "Serentak dengan itu maka eksklusivisme, dominanisme, chauvinisme budaya atau egosentrisme budaya bahkan fanatisme agama dan kesukuan harus ditinggalkan." Itu semua adalah bagian dari nilai-nilai eksklusivisme.

Saya pribadi ingin hidup saya berwarna. Semakin berwarna, semakin membuat saya bersuka cita dan awet muda. Saya enggan direpotkan dengan  hal yang tidak berfaedah, misalnya memandang orang lain yang berbeda dengan saya sebagai sebuah bencana. Saya tidak perlu nyinyir atau merasa dengki terhadap orang lain oleh karena perbedaan preferensi politik misalnya.

Perbedaan kita dengan orang lain sebaiknya disikapi sebagai anugerah. Saya pribadi memandang perbedaan sebagai hikmah. Saya bisa menyerap hal atau pengetahuan baru dari orang lain yang mungkin berbeda sepenuhnya dari diri saya. Sebab hubungan sosial yang serba inklusif akan memperluas cara pandang kita terhadap manusia lainnya.

Beberapa teman atau mantan atasan saya yang pada suatu waktu pernah hidup di kota yang sama, tiba-tiba sudah hidup di kota lain atau propinsi lain. Bahkan ada yang sudah berkarir ke negara atau benua lain.

Mereka bertemu orang-orang baru di sana yang berbeda suku bangsa, berbeda negara, berbeda ras, berbeda agama, berbeda preferensi politik dan sebagainya. Kalau teman-teman saya itu berpaham eksklusif, kehidupan mereka di sana pasti memiliki sejumlah masalah.

Saya sendiri lebih memilih hidup dengan mindset inklusif, tetapi saya terapkan di ranah lokal saja. Juga untuk saat ini, saya tidak punya niat berkarir di luar negeri. Alasannya sederhana saja, di sana tidak ada lemper, jajanan favorit saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun