Penyanyi art pop dan avant-garde dari Islandia, Bjork, saat ini sedang menggelar konser musik spesial yang diberi nama "Cornucopia" atau juga disebut "Bjork's Cornucopia". Konser dimulai pada 6 Mei 2019 lalu di The Shed, bangunan baru di Hudson Yards, Manhattan, New York City (NYC) yang dibuka April 2019 lalu.
"Cornucopia" adalah konser musik spesial kedua Bjork yang tidak berkaitan dengan salah satu rilisan album. Tahun 2003 lalu, penyanyi 53 tahun itu pernah mengadakan konser serupa yang diberi judul "Greatest Hits". Konser itu merupakan rangkuman pencapaiannya di empat album pertamanya.
Konser "Cornucopia" tidak akan fokus pada salah satu albumnya. Konser tersebut mempersembahkan sejumlah karya musik dari album-album musik yang pernah ia rilis mulai dari album "Debut" di tahun 1993 hingga album terakhir "Utopia" di tahun 2017 lalu. Tetapi lagu-lagu dalam album "Utopia" lebih mendominasi, mungkin karena album itu masih terbilang baru.
"Bjork's Cornucopia" hanya digelar di tujuh kota dan tujuh negara. Semua tiket dikabarkan sold out sejak penjualan tiket dimulai. The Shed di NYC, Amerika Serikat menjadi venue pertama, bersamaan dengan mulai beroperasinya gedung museum dan pusat kebudayaan megah tersebut.
Dua kota di Inggris Raya, London dan Glasgow menjadi tempat persinggahan berikutnya, lalu berakhir di 3Arena di kota Dublin di Irlandia.
Konsep yang diusung konser tersebut adalah mengawinkan presentasi musik akustik dan visualisasi digital. Dalam cuitannya di Twitter pada 12 November 2018 lalu, Bjork mengatakan bahwa ia akan menyiapkan konser panggungnya yang paling rumit dimana akustik dan digital akan saling berjabat tangan, yang didukung oleh tim kolaborator pilihan.
Kepada Spin, Bjork mengatakan bahwa konser musiknya ini merupakan perpaduan kostum, tata suara yang imersif, proyeksi video dan paduan suara. Ia juga menyebutnya sebagai konser pop sci-fi dan teater digital. Â Â
Bjork adalah seniman multitalenta pekerja keras yang bisa dibilang idealis dalam setiap karya musiknya, termasuk ketika menghelat konser. Selain menjadi creator dan bintang utama "Cornucopia", ia juga menjadi creative director yang mengerjakan konsep konser tersebut.
Ia pernah mengatakan bahwa konser musik spesialnya ini akan didukung oleh kolaborator pilihan. Bjork mengusung semangat inklusif dalam konsernya ini. Ia menggandeng sejumlah nama beken dari berbagai negara.
Ia juga melibatkan sejumlah figur berbakat dari negerinya. Lucrecia Martel, sutradara film dari Argentina, didapuk menjadi sutradara konser ini. Tugasnya menerjemahkan konsep kreatif dari Bjork menjadi presentasi konser musik yang artistik.
Tobias Gremmler, digital artist dari Jerman, punya tugas penting membuat visualisasi digital untuk konser dan juga menggarap video musik. Gremmler pernah menggarap karya desain digital untuk sejumlah brand ternama seperti Apple, Adidas, Samsung dan Sony. Ia punya semangat eksperimental yang sama dengan Bjork.
Penampilan live Bjork selalu mengundang pertanyaan, kostum apa yang akan ia pakai? Baiklah, tak tanggung-tanggung, dua perancang busana terkenal akan membantunya. Mereka adalah Iris van Herpen dari Belanda dan Olivier Rousteing dari rumah mode Balmain, Perancis.
Iris adalah perancang busana yang telah beberapa kali bekerja sama dengan Bjork. Ia adalah salah satu pionir penggunaan teknik 3D printing dalam rancangan busananya. Iris akan fokus pada kostum yang dikenakan Bjork. Sedangkan Olivier selain menggarap kostum Bjork, juga mengerjakan kostum untuk para musisi yang mengiringi penampilan Bjork.
Bila kita mengikuti musik Bjork, kita akan memahami bahwa fashion adalah salah satu elemen penting dalam presentasi musik Bjork, khususnya dalam konsernya. Ia menerapkan standar tinggi bahkan dalam hal kostum, yang sebenarnya "cuma" menjadi elemen pendukung presentasi karya musiknya.
Kostum yang ia kenakan selama konser tergolong kostum adibusana atau haute couture yang secara sederhana diartikan sebagai busana yang dibuat secara khusus dari bahan berkualitas tinggi dan teknik pembuatan yang rumit.
Misalnya kostum yang secara khusus dibuat untuk video musik "The Gate" (album "Utopia" tahun 2017). Kostum tersebut dirancang oleh Alessandro Michele dan dibuat oleh Gucci. Proses penggarapan kostum yang cukup rumit itu diperlihatkan dalam sebuah video khusus yang bisa Anda tonton di tautan ini.
Tentang musisi yang mengiringi konser Bjork, ada nama Katie Buckley, pemain harpa yang kini bermukim di Islandia. Juga Manu Delago, pemain perkusi dari Austria.
Selain membawa nama-nama beken dari sejumlah negara, ia juga mengajak musisi dari negerinya. Viibra, septet flute, beranggotakan para pemain flute wanita. Juga paduan suara The Hamrahlid Choir yang  beranggotakan anak muda berbakat.
Bjork tidak hanya menyanyi di konser "Cornucopia". Ia juga terjun langsung mengatur paduan suara. Ia juga mengatur presentasi instrumen musik. Tidak cukup sampai di situ, ia memegang kendali music production bersama Arca (nama panggung Alejandra Ghersi), musisi multitalenta dari Venezuela yang kini bermukin di London.
Dalam rangka promosi konser spesialnya ini, Bjork sudah meluncurkan tiga video musik. Video musik pertama adalah "Tabula Rasa" yang dirilis pada 11 Mei 2019 lalu. Video musik ini menampilkan visual art super keren hasil garapan Gremmler. Lagu ini pernah muncul dalam album "Utopia".
Video musik berikutnya adalah "Pagan Poetry" (dari album "Vespertine" tahun 2001) yang dirilis pada 9 Juli 2019 lalu. Video musik ini disutradarai oleh Nick Knight. Bjork secara fisik menjadi titik sentral video musik ini dengan bubuhan sedikit olahan visual di bagian awal. (Perhatian, video musik ini mengandung konten dewasa yang perlu mengonfirmasi usia bila hendak melihatnya).
Video musik ketiga berjudul "Losss", bagian dari album "Utopia". Video musik itu baru saja dirilis pada 7 Agustus 2019 lalu. Video musik ini lagi-lagi adalah karya visual art super keren nan elegan dari Gremmler.
"Cornucopia" menjadi standar konser musik Bjork di masa mendatang?
Genre musik Bjork adalah art pop, avant-garde dan experimental. Cukup jauh dari pop arus utama yang kini diramaikan dengan musik-musik club-banger. Meski begitu penggemarnya tidak sedikit. Sejauh ini rasanya belum ada artis atau musisi lain yang bisa memberikan presentasi musik unik seperti Bjork.
Konser "Cornucopia" sendiri bisa dibilang adalah konser musik multidispliner, lintas seni. Itu karena konser tersebut menggabungkan sejumlah karya seni dalam satu pertunjukan musik. Tidak hanya suguhan karya musik, tetapi juga suguhan visual arts sepanjang konser dan kostum-kostum yang keren.
Sebagai musisi, Bjork mampu berbuat banyak hal. Ia membuat lirik yang puitik dengan melodi musik unik menggunakan instrumen akustik. Ia juga membuat video musik yang menarik, juga menjadi bintang pertunjukan dengan kostum adibusana yang eksentrik.
Bjork juga musisi yang mengikuti perkembangan jaman. Ia tidak terpaku pada musik, musik dan musik. Selain pernah berakting dalam film di kurun waktu 1990 hingga 2005, Bjork juga pernah membuat terobosan baru dalam karya musiknya.
Dalam album "Biophilia" (2011) misalnya, Bjork membuat sebuah album multimedia yang berkonsep memadukan alam, musik dan teknologi. Sepuluh aplikasi menyertai album dalam platform iOS dan Android, diantaranya aplikasi gim berjudul "Moon" dan "Virus".
Bagi sebagian penggemar musik, apalagi jika seorang music freak, musik tidak hanya "untuk didengar" tetapi juga "untuk dinikmati". Makna "untuk didengar" artinya hanya melibatkan indera telinga (mendengarkan lewat CD atau layanan streaming), sedangkan "untuk dinikmati" melibatkan multi indera yang menghasilkan sensasi tersendiri bagi audiens. Misalnya, selain mendengarkan musik sang artis, fans berat juga membeli merchandise, menonton film dokumenter sang artis, menonton konsernya dan lain-lain.
Dalam konser musik seorang artis penyanyi misalnya, telinga audiens menyerap musikalitas sang artis, mencecap melodi musik dari instrumen dan teknik vokalnya. Mata audiens menatap lekat-lekat penampilan sang artis baik gerak-geriknya, gaya busana yang ia kenakan, koreografinya, tata panggung, visual art ataupun elemen lain yang nampak di panggung.
Tangan dan kaki audiens bergerak mengikuti irama, kadang mulut ingin pula bersenandung mengikuti lantunan lagu yang dibawakan sang artis. Semua itu akan masuk ke hati yang akan mengeluarkan sinyal kepuasan atau ketidakpuasan akan penampilan sang artis dalam konsernya. Begitulah sebuah konser musik bekerja, memberikan pengalaman musik ke level yang lebih tinggi bagi audiens
Itulah mengapa tiket konser musik seorang artis harganya jauh lebih tinggi daripada harga album musiknya. Itu karena presentasi musik dalam konser musik berbeda dengan album musik. Rasanya akan sangat membosankan apabila sang artis membawakan lagu-lagunya dengan cara yang sama seperti dalam albumnya. Apalagi bila ia hanya melakukan lipsync.
Sadar akan konsep musiknya yang unik, Bjork mengemas konsernya semaksimal mungkin dengan menyuguhkan musik akustik secara ekstrim dan visualisasi digital secara ekstrim pula, membuat konser "Cornucopia" penuh imajinasi. Seperti mimpi yang terlihat dari kejauhan, begitu kata Bjork kepada media Dazed baru-baru ini.
Kita bisa menyimpulkan bahwa konser "Cornucopia" ini adalah konser ideal bagi Bjork yang mungkin akan menjadi standar untuk konser-konser musik Bjork berikutnya. Sebagaimana visual art yang kental dalam banyak video musiknya, nampaknya ia mantap mengusung teknologi visual arts sebagai bagian dari penampilan live-nya.
Bjork kini tengah sibuk dengan persiapan konsernya di Parque Bicentenario, Mexico City yang akan digelar selama empat hari di bulan Agustus ini. Ticket box akan dibuka pada tanggal 9 Agustus 2019. Setelah itu, ia akan rehat beberapa bulan sebelum melanjutkan konsernya lagi di Eropa November ini.
Berikut adalah video musik "Losss" dari Bjork yang sarat visual art. Video musik ini dibuat oleh Gremmler.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H