Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Benci adalah Hak, tapi Jangan Ajak-ajak!

15 Juli 2019   13:28 Diperbarui: 15 Juli 2019   15:09 3281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: Nautil.us)

Membaca tulisan salah seorang Kompasianer senior, Bapak Tjiptadinata Effendi yang berjudul "Jangan Membenci Walau Hati Kita Sering Dilukai" , saya tergerak untuk menuliskan hal serupa. Apabila tulisan Pak Tjipta, begitu saya menyapa beliau, sarat dengan pesan atau wejangan maka apa yang saya sampaikan dalam tulisan ini adalah menerapkan apa yang disampaikan oleh beliau.

Setiap memasuki lingkungan atau komunitas baru, kita selalu ingin dapat mengenal orang lain. Sebagai "warga baru" tentu kita ingin kedatangan kita diterima. Tetapi bukan itu saja motivasinya. Hal penting dari semua itu adalah adanya pengetahuan atau wawasan baru dari orang lain yang kita kenal.

Pindah sekolah bagi seorang pelajar adalah punya teman baru dan makin banyak. Misalnya, semasa SD dulu saya tiga kali pindah sekolah tetapi saya merasa biasa saja. Tidak merasa kehilangan teman-teman lama. Malah saya merasa senang karena bakal mendapat teman baru.

Hal itu berlanjut ketika sekolah menengah dan kuliah. Ketika bekerja, saya sudah sekian kali berpindah tempat bekerja dan beragam bidang industri. Itu belum termasuk magang yang pernah saya jalani juga di beberapa tempat.

Mungkin Anda bertanya-tanya mengapa saya sering pindah tempat kerja? Saya kerap pindah tempat kerja karena ada situasi yang tidak dapat saya hindari. Tidak ada masalah apapun selama saya bekerja di setiap perusahaan. Saya keluar dengan baik-baik. Saya tidak nakal, malah selalu berusaha bekerja sebaik-baiknya di setiap tempat kerja.

Hikmah kerap berpindah tempat kerja membuat saya mengenal lebih banyak orang, berjumpa dengan orang-orang baru. Tapi bagi saya hal terpenting bekerja di tempat yang baru adalah wawasan baru. Termasuk mengenal lebih banyak lagi ragam karakter orang lain.

Ketika mengenal orang lain, beberapa dari mereka menjadi dekat, kadang menjadi sahabat. Tetapi kita tidak tahu bahwa suatu hari nanti hati kita akan terluka oleh karena sebuah situasi yang merenggangkan hubungan kita dengan seseorang. Tidak hanya merenggang, malah semakin jauh. Tidak ada hubungan spesial lagi seperti ketika dulu masih menjadi kawan dekat.

Pada level yang lebih tinggi, bagaimanapun dekatnya hubungan kita dengan orang itu, bisa saja terjadi perselisihan dimana ia berubah membenci kita lahir dan batin. Berpangkal pada sebuah persoalan yang tidak kunjung reda, situasi semakin meruncing. Awal mula persoalan bisa berawal di dunia maya atau di dunia nyata.

Seorang yang membenci diri kita tidak selalu identik dengan wajah seram dengan kata-kata penuh kebencian. Sering ia muncul bak seorang malaikat, baik hati, penyayang, suka menolong dan bertutur kata baik. Tetapi pada suatu hari, ia bisa berubah seratus delapan puluh derajat menjadi peneror hati kita, bahkan peneror kehidupan kita.

Misalnya di lingkungan kerja atau di lingkungan tempat tinggal kita, toxic person ini awalnya akan curhat kepada rekan kerja lain tentang masalah yang ia hadapi dengan diri kita. Pada tahap berikutnya, ia juga akan berbicara hal negatif tentang diri kita. Kemudian, ia melakukan provokasi agar orang lain juga mengikuti langkahnya, membenci diri kita.

Pada dasarnya, tiada orang yang terlahir sempurna karena setiap orang punya sisi baik dan sisi buruk. Tetapi orang-orang yang berkarakter toxic ini akan lebih banyak menceritakan sisi negatif seseorang yang ia benci kepada orang lain.

Kadang dengan racikan bumbu tertentu yang menjurus ke fitnah yang membuat orang lain termakan omongannya. Parahnya, bila ia sosok yang populer, maka akan semakin banyak orang yang sepakat dengannya untuk membenci seseorang. Kadang terdapat efek dramatis yang membuat ia playing victim. Padahal pangkal permasalahan justru ada pada dirinya.

Saya pernah mengalami hal tersebut baik di lingkungan kerja maupun di lingkungan tempat tinggal saya. Hal itu saya rasa wajar-wajar saja. Saya sadar ketika saya memutuskan berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain , maka secara bersamaan pula saya juga menekan tombol "aktivasi potensi konflik".

***
Pada dasarnya, kita tidak bisa membuat semua orang senang kepada kita. Di lingkungan manapun kita berada, pasti ada minimal satu orang yang akan menjadi pembenci kita. Hal itu wajar. Menjadi tidak wajar ketika seseorang yang membenci kita ternyata menyimpan bara amarah, yang mendorongnya untuk memprovokasi orang lain untuk ikut-ikutan membenci diri kita.

Inilah saat dimana kita menerima ujian hati cukup berat dimana hanya diri kita yang memiliki kunci untuk menyikapinya. Kita hanya perlu memilih dua opsi, larut dalam situasi tersebut atau mengacuhkannya.

Apabila kita memilih opsi pertama yaitu larut dalam situasi yang dibuat oleh seseorang yang membenci kita atau keluarga kita, maka itu akan membuat kehidupan kita semakin terpuruk. Hati kita akan semakin sakit yang bakal merembet ke aspek psikologis (misalnya stres, depresi) dan fisik (misalnya menjadi sakit).

Kita tidak bisa menafikkan pendapat yang menyatakan bahwa kesehatan tubuh berawal dari suasana hati dan pikiran kita. Seseorang yang mengalami tekanan batin biasanya sulit makan dan minum.

Apabila stres semakin berkembang, maka akan memicu pergolakan di lambung, merangsangnya memuntahkan isi perutnya yang mungkin hanya sedikit atau kosong karena tidak terisi makanan. Karena tidak ada gizi yang diserap tubuh, kesehatan tubuh pun menurun, penyakit pun datang.

Lebih jauh, Anda bisa membaca artikel di Kompas.com yang berjudul "Mengapa Rasa Bahagia Membuat Tubuh Sehat?" atau artikel di Tribun News yang berjudul "Kendalikan, 90 Persen Penyakit Berasal dari Pikiran Anda". Menurut saya kedua artikel tersebut relevan dengan opsi pertama.

Memilih opsi kedua, yaitu mengacuhkannya, memang membuat kita menjadi orang yang merdeka. Bila orang lain membenci kita maka itu adalah masalah mereka, bukan masalah kita.

Misalnya apa yang terjadi pada diri saya atau keluarga saya. Beruntung saya orang yang cuek sehingga saya tidak memedulikan apa kata orang lain terhadap diri saya atau keluarga saya. Tetapi sesungguhnya saya memahami bahwa sebuah situasi sedang terjadi di sekitar diri atau keluarga saya.

Hal itu nampak pada perubahan sikap yang kemungkinan didasarkan pada sentimen negatif terhadap diri saya (dalam konteks tempat kerja) dan terhadap keluarga saya (dalam konteks lingkungan tempat tinggal) yang berawal dari suatu problem.

Tapi ternyata bersikap cuek itu belum cukup. Kompasianer dr. Hafid Algristian, Sp.KJ lewat tulisannya yang berjudul "Haruskah Kita Menghindari "Toxic Person"?" berpendapat bahwa kita jangan menghindari toxic person. Malah seharusnya menghadapinya, tetapi dengan cara yang elegan.

Dalam tulisannya, Algristian mencantumkan pendapat Sabrina Michele Maxwell dalam disertasinya yang berjudul "An Exploration Of Human Resource Personnel And Toxic Leadership" (Walden University, 2015) bahwa toxic behavior ditandai oleh perilaku "menyebalkan" yang cenderung memancing konflik antar pihak. Maxwell menjajarkan toxic behavior dengan tiga ciri kepribadian patologis yang biasa disebut "karakter gelap" atau dark triad, yakni narsisisme, psikopatik, dan machiavellianisme.

Para toxic person itu bisa memiliki satu karakter atau lebih. Mereka juga memiliki kemampuan politik yang alami sehingga meskipun ia tergolong toxic person, ia memiliki citra yang baik di mata orang lain. DI tempat kerja, kadang karirnya cemerlang padahal kemampuannya biasa saja atau bahkan kurang kompeten. Di lingkungan tempat tinggal, kadang para tetangga menghormatinya padahal ia tidak lebih dari seorang psikopatis durjana.

***
Kepada orang yang mungkin pernah membenci saya atau keluarga saya baik di lingkungan tempat kerja atau tempat tinggal, saya tidak dapat berbuat banyak karena itu adalah haknya yang harus saya hormati. Sebagaimana seseorang juga punya hak untuk mencintai atau menyayangi diri kita. Itu adalah manusiawi.

Tetapi saya tidak setuju apabila kebenciannya itu ia tumpahkan kepada orang lain, yang secara bersamaan, ia mengajak orag lain untuk ikut membenci diri kita. Menurut saya, perbuatan itu termasuk jahat karena akan menimbulkan dampak yang lebih dari sekadar benci.

Apabila seseorang yang ia benci sedang meniti karir dan bercita-cita tinggi ingin mencapai jabatan tertentu, karena ulah seorang pembenci yang provokatif, maka bangunan reputasinya perlahan akan rusak, membuat ia gagal meraih cita-citanya. Apabila seseorang yang dibenci oleh pembenci berprofesi sebagai pedagang, makan hasutan mautnya akan membuat dagangannya tidak laku hingga akhirnya ia gulung tikar karena terus merugi.

Bayangkan, begitu dahsyatnya seorang pembenci dengan karakter gelap tersebut. Ia justru membiarkan dirinya diliputi dengan aura demonic untuk meneror hati dan kehidupan seseorang. Sesungguhnya ia juga tidak lebih baik daripada seseorang yang ia benci. Bahkan menjelma menjadi sesosok monster kejam.

Lalu bagaimana sebaiknya sikap kita untuk menghadapi para pembenci itu agar tidak merasa susah, tidak stres bahkan menjadi semakin sehat baik jiwa dan raga? Saya sepakat dengan pendapat Kompasianer dr. Hafid Algristian, Sp.KJ dimana kita tidak perlu menjauhi mereka. Bila perlu kita melawannya tetapi dengan cara-cara yang elegan. Walau menurut saya susah, tetapi ternyata beberapa sarannya pernah saya lakukan bahkan sebelum saya membaca tulisannya itu.

Cara-cara yang elegan itu luas. Tujuannya agar kita bisa melawan stigma tentang diri kita yang tertanam di benak sang pembenci. Menurut saya, langkah awalnya ialah dengan "memupuk rasa cuek". Saya tidak dapat menemukan kalimat yang lebih sesuai untuk menggambarkannya kecuali kalimat tersebut. Tapi mungkin kalimat berikut ini lebih pas: "bodo amat".

Nah, pertama kita perlu bersikap bodo amat. Biarlah orang lain melakukan apa yang mereka suka, termasuk membenci diri kita. Karena sekali lagi membenci juga salah satu hak seseorang selain hak menyayangi, hak mencintai. Bagaimanapun kita harus berusaha menghormati hak orang lain. Tetapi ketika seseorang membenci diri saya atau keluarga saya, saya tidak membalasnya dengan membenci si pembenci. Saya hidup seperti biasa saja.

Memang, ketika suatu provokasi atau hasutan terhadap diri kita berhasil tertanam di banyak orang, maka hak kita untuk disayangi oleh rekan kerja kita ataupun tetangga kita pun sirna. Para pembenci kita itu sadar atau tidak sadar telah menggerus hak saya dan keluarga saya untuk disayangi orang lain oleh karena perkataan bernada provokatif atau hasutan dari si pembenci kita terhadap diri kita atau keluarga kita.

Kalau kebencian terhadap diri kita atau keluarga kita sudah terlanjur menguat dan menyebar, maka selain bersikap cuek atau bodo amat, kita perlu berdoa kepada Tuhan untuk meminta perlindungan. Kita memohon agar selalu berada di sekitar orang-orang yang baik, berteman dengan orang-orang yang baik, atau memiliki tetangga yang baik, misalnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun