Tapi ternyata bersikap cuek itu belum cukup. Kompasianer dr. Hafid Algristian, Sp.KJ lewat tulisannya yang berjudul "Haruskah Kita Menghindari "Toxic Person"?" berpendapat bahwa kita jangan menghindari toxic person. Malah seharusnya menghadapinya, tetapi dengan cara yang elegan.
Dalam tulisannya, Algristian mencantumkan pendapat Sabrina Michele Maxwell dalam disertasinya yang berjudul "An Exploration Of Human Resource Personnel And Toxic Leadership" (Walden University, 2015) bahwa toxic behavior ditandai oleh perilaku "menyebalkan" yang cenderung memancing konflik antar pihak. Maxwell menjajarkan toxic behavior dengan tiga ciri kepribadian patologis yang biasa disebut "karakter gelap" atau dark triad, yakni narsisisme, psikopatik, dan machiavellianisme.
Para toxic person itu bisa memiliki satu karakter atau lebih. Mereka juga memiliki kemampuan politik yang alami sehingga meskipun ia tergolong toxic person, ia memiliki citra yang baik di mata orang lain. DI tempat kerja, kadang karirnya cemerlang padahal kemampuannya biasa saja atau bahkan kurang kompeten. Di lingkungan tempat tinggal, kadang para tetangga menghormatinya padahal ia tidak lebih dari seorang psikopatis durjana.
***
Kepada orang yang mungkin pernah membenci saya atau keluarga saya baik di lingkungan tempat kerja atau tempat tinggal, saya tidak dapat berbuat banyak karena itu adalah haknya yang harus saya hormati. Sebagaimana seseorang juga punya hak untuk mencintai atau menyayangi diri kita. Itu adalah manusiawi.
Tetapi saya tidak setuju apabila kebenciannya itu ia tumpahkan kepada orang lain, yang secara bersamaan, ia mengajak orag lain untuk ikut membenci diri kita. Menurut saya, perbuatan itu termasuk jahat karena akan menimbulkan dampak yang lebih dari sekadar benci.
Apabila seseorang yang ia benci sedang meniti karir dan bercita-cita tinggi ingin mencapai jabatan tertentu, karena ulah seorang pembenci yang provokatif, maka bangunan reputasinya perlahan akan rusak, membuat ia gagal meraih cita-citanya. Apabila seseorang yang dibenci oleh pembenci berprofesi sebagai pedagang, makan hasutan mautnya akan membuat dagangannya tidak laku hingga akhirnya ia gulung tikar karena terus merugi.
Bayangkan, begitu dahsyatnya seorang pembenci dengan karakter gelap tersebut. Ia justru membiarkan dirinya diliputi dengan aura demonic untuk meneror hati dan kehidupan seseorang. Sesungguhnya ia juga tidak lebih baik daripada seseorang yang ia benci. Bahkan menjelma menjadi sesosok monster kejam.
Lalu bagaimana sebaiknya sikap kita untuk menghadapi para pembenci itu agar tidak merasa susah, tidak stres bahkan menjadi semakin sehat baik jiwa dan raga? Saya sepakat dengan pendapat Kompasianer dr. Hafid Algristian, Sp.KJ dimana kita tidak perlu menjauhi mereka. Bila perlu kita melawannya tetapi dengan cara-cara yang elegan. Walau menurut saya susah, tetapi ternyata beberapa sarannya pernah saya lakukan bahkan sebelum saya membaca tulisannya itu.
Cara-cara yang elegan itu luas. Tujuannya agar kita bisa melawan stigma tentang diri kita yang tertanam di benak sang pembenci. Menurut saya, langkah awalnya ialah dengan "memupuk rasa cuek". Saya tidak dapat menemukan kalimat yang lebih sesuai untuk menggambarkannya kecuali kalimat tersebut. Tapi mungkin kalimat berikut ini lebih pas: "bodo amat".
Nah, pertama kita perlu bersikap bodo amat. Biarlah orang lain melakukan apa yang mereka suka, termasuk membenci diri kita. Karena sekali lagi membenci juga salah satu hak seseorang selain hak menyayangi, hak mencintai. Bagaimanapun kita harus berusaha menghormati hak orang lain. Tetapi ketika seseorang membenci diri saya atau keluarga saya, saya tidak membalasnya dengan membenci si pembenci. Saya hidup seperti biasa saja.
Memang, ketika suatu provokasi atau hasutan terhadap diri kita berhasil tertanam di banyak orang, maka hak kita untuk disayangi oleh rekan kerja kita ataupun tetangga kita pun sirna. Para pembenci kita itu sadar atau tidak sadar telah menggerus hak saya dan keluarga saya untuk disayangi orang lain oleh karena perkataan bernada provokatif atau hasutan dari si pembenci kita terhadap diri kita atau keluarga kita.