Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Mereka dan Aku di Paris, Minsk, Kiev Dan Pripyat

16 Mei 2019   13:37 Diperbarui: 16 Mei 2019   14:03 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhirnya sampai juga di Rue de Dunkerque. Nampaknya Marc dan Daphne belum tiba. Aku menyelesaikan transaksi Uber terlebih dahulu, lalu segera keluar dari badan Skoda Octavia Combi itu. Satu tas ransel besar warna biru tua ukuran 50 liter dan satu tas ransel merah ukuran 30 liter aku ambil dari area bagasi mobil. Aku letakkan di trotoar begitu saja.

Sore itu jam 15.30. Cuaca Paris lumayan cerah. Sesekali awan mendung datang tetapi tidak membawa setetes pun air hujan. Tidak begitu banyak lalu lalang orang di trotoar. Driver Uber tadi berkata kalau semalam hujan turun cukup deras.

Aku mengambil ponselku dari tas pinggangku dan menekan nomor ponsel Marc. Nada sambung saja, dan ini sudah ketiga kalinya. Sepanjang perjalanan singkatku dari stasiun Gard du Nord ke sini tadi sudah dua kali aku meneleponnya namun tidak ada respon. Akhirnya aku mengirim pesan singkat via Whatsapp kalau aku sudah berdiri di titik pertemuan.

Kira-kira sepulu menit kemudian, sebuah mobil Citroen C4 melaju kencang dari Rue la Fayatte dan seketika membelok ke kanan dengan tajam, masuk ke Rue de Dunkerque, menuju ke arahku. Dari jendela depan sisi kanan yang terbuka, sebuah lengan kanan berselimut sweater berwarna kuning cerah melambai-lambai ke arahku. Ah, itu dia si Marc.

Ia segera turun dari mobil itu dan menurunkan tas ranselnya dari kursi belakang. Ada Daphne di sana. Akhirnya ia memutuskan ikut. Daphne adalah kekasih Marc. Gadis asal Lyon itu sangat tergila-gila dengan Marc. Entah apa yang ia suka dari pria Dreux yang berperawakan ceking, berambut pirang tipis dan punya kebisaan suka menggaruk-garuk wajahnya itu.

Sehari-hari Marc adalah pekerja independen. Bisa dibilang ia seorang digital nomaden. Ia bekerja sebagai anggota tim developer sebuah aplikasi bisnis dari Amerika. Selain itu ia juga seorang penulis yang menulis untuk sejumlah media lokal di Paris.

Sedangkan Daphne adalah staf di sebuah perusahaan farmasi yang sedang berkembang di kota Dreux, kota kecil yang tidak begitu jauh dari Paris.

Aku bertemu dengan mereka pertama kali di sebuah warung makan di Denpasar, kira-kira tiga tahun lalu. Waktu itu aku sedang liburan di Bali bersama beberapa sepupuku. Kami sedang menikmati makan siang di warung makan itu. Marc dan Daphne kebetulan duduk di sebelah kursiku.

Aku ingat Marc dan Daphne membelalakkan kedua matanya setelah mencicipi sepotong daging ayam betutu super pedas. Spontan aku tertawa melihat ekspresi dua orang bule yang sedang kepedasan itu. Lucu sekali dua bule ini, pikirku waktu itu. Tidak lama kami pun saling bertegur sapa dan berkenalan. Hari demi hari kami sering bertemu dan semakin mengenal satu sama lain.

 "Hey, Dirgantara my bro..! Akhirnya kita bertemu lagi. Jam berapa dari London?" tanya Marc agak terengah karena menenteng dua ranselnya yang cukup berat ke arah trotoar dan meletakkannya di sebelah kedua tas ranselku.

Kami bersalaman sejenak. Cukup erat mengingat sudah tiga tahun lamanya kami tidak bersua. Nampaknya ia sangat bersemangat. Kami berbicara dalam bahasa Perancis.

"Aku tadi dari London jam 11an. Kereta tepat waktu sampai di Gard du Nord. Lalu aku naik Uber ke sini.." jawabku.

"Oh? Dari stasiun ke sini naik Uber? Kenapa tidak jalan saja ?" kata Marc sambil mengusap sedikit peluh di wajahnya dengan sapu tangan handuknya yang berwarna hijau muda.

"Dengan bawaan seberat ini? Waduhh, bisa pingsan aku sampai sini. Hehe" kataku.

"Ah.. kau kan sudah biasa jalan-jalan kemana-mana membawa itu semua?" kata Marc terkekeh.

"Kemarin aku benar-benar lelah setelah seharian keliling London. Jadi begitu sampai hotel langsung tidur. Begitu bangun lihat jam sudah jam delapan, langsung deh kelabakan.." kataku tertawa. Marc juga tertawa.

Nampaknya pengemudi Citroen sudah bersiap pergi.  Marc meneriakkan "Merci beaucoup!!" ke pengendara mobil itu seraya melambaikan tangannya. Mobil Citroen C4 itu pun bergegas pergi. Pengemudinya melambaikan tangan kirinya yang berbalut jaket kulit hitam dari jendela sisi kiri.

"Itu Paul, sepupuku. Kebetulan dia lagi ada acara di Paris. Jadi aku telpon dia mungkin saja aku dan Daphne bisa nebeng. Syukurlah dia mau. Lumayan bisa lebih hemat dibandingkan naik transportasi umum," kata Marc menjelaskan tentang pria yang mengantarkan mereka.

Daphne yang tadi keluar dari pintu mobil sebelah kiri berjalan perlahan menuju ke arah kami. Ia mengenakan atasan tank top hitam dan celana skinny jeans. Kacamata hitamnya dengan frame berwarna perak ia sematkan di atas kepalanya yang berambut pirang. Oh mon dieu, elle est sexy, kataku dalam hati.

Posisi Daphne sudah cukup dekat dengan kami. Ia tersenyum. Tapi senyum yang agak masam.

"Helo Daphne..." sapaku pada wanita itu. Kami bersalaman.

"Hai Dirk..Lama tak ketemu.." jawab Daphne agak malas.

Aku sudah mengetahui apa yang terjadi dari Marc. Lewat pesan Whatsapp-nya yang berbaris-baris itu, yang baru sempat aku baca pagi tadi, nampaknya semalam mereka bertengkar hebat. Daphne memutuskan tidak mau ikut dan juga tidak mengijinkan Marc menemani perjalananku ke Chernobyl, Ukraina.

Daphne masih mengkhawatirkan kondisi di Chernobyl yang masih berbahaya. Berkali-kali Marc menjelaskan tentang kondisi terkini Chernobyl, dimana sejumlah area telah dibuka untuk para wisatawan.

Lagipula, Marc sudah mengurus banyak hal untuk kami bertiga. Ia sudah membelikan tiket kereta api, mengurus visa, menghubungi agen perjalanan yang menyediakan paket tur ke Chernobyl, dan lain-lain.

Ya, kami akan ke Chernobyl. Kunjungan kami nanti berkaitan dengan peringatan 33 tahun terjadinya insiden meledaknya pembangkit listrik tenaga nuklir di Chernobyl, Ukraina pada 26 April 1986 silam. Sudah cukup lama aku ingin mengunjungi Chernobyl dan baru kesampaian tahun ini.

Begitu pengajuan cutiku disetujui atasanku, aku berteriak dan melompat kegirangan, mengejutkan teman-teman kantorku yang sedang fokus bekerja. Perasaanku waktu itu campur aduk.

Sejak lima bulan lalu, aku memulai komunikasi dengan Marc lewat email tentang rencanaku ini, dan Marc senang dengan rencanaku seraya berjanji akan membantu sekaligus menemaniku ke sana bersama Daphne. Aku pun segera disibukkan dengan rencana perjalananku ini, termasuk mengurus sejumlah visa.

Sayangnya, kami tidak bisa datang ke Chernobyl tepat pada 26 April 2019. Itu karena kereta api dari Paris hanya tersedia pada hari Kamis. Jadi pilihan kami berangkat di tanggal 25 April. Kami masih bisa mengikuti paket tur ke Chernobyl pada Minggu pagi tanggal 28 April.

Kami bertiga berjalan ke arah lobi hotel St. Chirstopher's Inns. Kami berdua membawa barang terbanyak. Sementara Daphne hanya membawa tas ransel kecil, berjalan di belakang kami.

 "Dirk, kita akan stay di sini sampai besok. Kereta kita berangkat kira-kira jam tujuh malam dari stasiun Gard de L'Est. Aku memilih hotel ini karena kamar dormitory-nya ada rate promo bulan ini pakai kartu kreditku. Di sini nyaman, aku beberapa kali menginap di sini. Makanannya juga enak-enak. Besok kita bisa naik Uber ke stasiun." kata Marc.

"Tidak masalah, Marc. Aku biasa tidur di mana saja. Ingat tidak, dulu aku pernah tidur pulas di kursi panjang warung depan hostel di Denpasar pas kita ngopi malam-malam sampai pagi?" kataku membuka memori kami.

"Ahh.. ya aku ingat. Bakat tidur cepatmu sungguh luar biasa..haha" kata Marc tertawa. Ia sudah mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam antrian meja reservasi.

Sebenarnya dalam hati aku merasa tidak enak dengan Daphne. Tetapi Marc yang menghendaki untuk mengantarkanku ke sana. Ketika mereka di Bali, ia sudah berjanji akan mengantarkan aku bila aku mengunjungi Perancis.

Mungkin ini sebagai balas budi karena selama di Bali dulu aku menjadi guide dadakan mereka secara gratis. Mereka senang aku menunjukkan hostel yang lebih murah dari tempat mereka menginap tapi dengan fasilitas lebih oke.

Aku juga menunjukkan tempat-tempat makan yang enak dan murah. Aku juga membantunya menyewa motor di Denpasar, membuat mereka bisa menjelajah pedesaan Bali tanpa perlu pengeluaran ekstra. Bahkan, saking semangatnya menjelajah Bali, mereka sempat kesasar hingga kota Singaraja. Padahal jaraknya kan lumayan jauh dari Denpasar.

Oh ya, hubungan Marc dan Daphne sangat unik dan menggemaskan bagi siapa saja yang mengenal mereka. Mereka seperti pasangan yang sedang berbulan madu di Bali, tetapi beberapa bulan setelah itu mereka putus sampai setahun lamanya. Lalu mereka nyambung lagi yang hanya bertahan beberapa bulan sebelum putus lagi. Baru lima bulan lalu mereka kembali pacaran, dan ini sudah kali kelima.

Daphne lah yang sangat menggilai pemuda jangkung berusia 32 tahun itu. Daphne pula yang selalu memutuskan hubungan mereka. Kadang wanita memang aneh. Marc sendiri karakternya cuek. Tapi aku melihat Marc sebetulnya menyayangi Daphne, hanya kadang ia tidak tahan dengan karakter Daphne yang suka meledak-ledak ketika berselisih dengan Marc.

Apakah ini yang namanya wanita selalu benar? Ah, sudahlah. Jadi ikut pusing memikirkan hubungan mereka.. Aku sendiri masih menunggu jawaban pasti dari Fina setelah aku mengajaknya jadian sebulan yang lalu. Ia mengatakan bahwa ia masih perlu waktu.

Jadi, posisiku sebenarnya saat ini sedang digantung. Aku berharap ketika tiba waktunya, ia tidak mengatakan "Kamu terlalu baik buat aku...". Hehh.. Daripada pusing, lebih baik aku backpacking ke Eropa.  

***

Kamar tipe dormitory untuk kami bertiga cukup nyaman. Aku memilih tidur di ranjang atas, Daphne di bawahku. Marc tidur di ranjang bawah di sebelah ranjang Daphne. Malam harinya kami memilih makan malam di hotel dengan memanfaatkan promo makan super murah dari kartu kredit Marc.

Alhasil kami tidur malam dengan perut super kenyang. Tapi aku malah susah tidur, apalagi besok adalah hari keberangkatan kami menuju Chernobyl. Hal ini sering terjadi ketika aku hendak bepergian ke tempat-tempat baru. Entah kenapa aku selalu susah tidur malam sebelum hari bepergian, termasuk pada malam sebelum aku terbang ke London lima hari lalu.

***

Kompartemen di kereta api yang kami tumpangi berkapasitas empat orang. Untuk sementara, cukup lega buat kami bertiga. Semoga hanya kami bertiga saja di sepanjang perjalanan kami. Kereta kami berangkat tepat waktu jam 18.58 waktu Paris.

Perlahan roda gerbong berputar, yang segera membawa kami menjauh dari stasiun Gard de L'Est. Selama dua hari dua malam kami akan berada di dalam kompartemen itu.

Malam pun berganti pagi, berganti siang, hingga malam lagi. Paris pun berganti Berlin, lalu berganti Warsawa dan akhirnya berganti Minsk di daratan Belarus. Kami transit di kota itu selama kira-kira 12 jam. Kami memilih menunggu di stasiun dan baru keluar ketika orang-orang mulai beraktivitas. Udara Minsk pada dini hari itu sangat dingin bagiku, orang tropis.

Kereta yang akan membawa kami ke kota Kiev, Ukraina baru akan berangkat selepas siang. Jadi kami berencana akan mengunjungi beberapa area di kota yang letaknya tidak terlalu jauh dari stasiun Minsk-Pasazyrski.

***

Kota Minsk sangat mengesankan meskipun kami tidak bisa menjelajahinya lebih jauh lagi. Kami menikmati sarapan di sebuah kafe. Di meja kami, sepertinya aku menjadi obat nyamuk di tengah kemesraan Marc dan Daphne. Begitu menyesakkan.

Baiklah, mereka terlihat sangat berbahagia. Mereka nampak mesra, intim, kadang ada derai tawa. Mereka lupa kalau ada aku di depan mereka. Sesekali mereka saling bercumbu. Kalau sudah begitu, aku menyulap kedua telapak tanganku menjadi kanopi bagi kedua mataku. Mereka hanya tertawa melihatku.

By the way, sejak keluar dari stasiun, sudah belasan foto aku kirim ke Fina via Whatsapp dan tidak ada satu pun komentar darinya.

Dua kali aku mendapatinya ia sedang mengetik teks. Tetapi tidak lama ia berhenti mengetik. Jadi komentar yang aku harapkan darinya tidak pernah datang. Padahal aku mengharapkan itu, bahkan bila itu hanya satu kata pun. Sedikit kecewa.

Akhirnya aku memutuskan untuk membagikan beberapa fotoku di Instagram. Ada puluhan komentar dari teman-teman dan saudaraku di sana. Tapi aku tidak bersemangat membalas komentar-komentar mereka.

***

Tanggal 28 April 2019, jam dua dini hari kami pun tiba di kota Kiev. Sebelumnya kami hanya tidur sebentar setelah asyik bermain kartu. Tak terasa ternyata sudah jam 10 malam. Praktis mataku masih terasa berat begitu kami melangkahkan kaki turun ke peron stasiun.

Kami melangkah ke hall utama stasiun yang sangat megah itu. Menurut Marc, seseorang dari kantor agen perjalanan bernama David akan menjemput kami dan mengantarkan kami menuju kantor mereka.

***

Flashing Sparrow Tour. Begitu papan reklame yang terpasang di depan kantor agen perjalanan itu. Neon di beberapa huruf sudah nampak redup. Kami bertiga turun dari VW Touran warna putih dan segera memasuki ruang tamu kantor. David mempersilakan kami beristirahat di sofa. Ia segera menghilang dari balik pintu. Entah kemana.

Rasanya aku ingin memejamkan mata dulu. Berkali-kali aku menguap sejak turun dari kereta. Yah, tidur sejam dua jam tidak masalah. Toh, tur ke Chernobyl masih beberapa jam lagi. Rasa kantukku semakin menguat dan aku tidak tahan. Sambil memeluk bantal sofa, aku mulai memejamkan mata. Suasana ruang tamu kantor yang remang-remang membuatku semakin ingin tenggelam dalam mimpi.

Tetapi, Marc dan Daphne nampaknya tidak terlihat mengantuk. Mereka justru sangat bersemangat. Marc mengambil dua kaleng kola dari vending machine untuk dirinya dan Daphne. Mereka duduk di sofa yang lebih panjang.

Sayup-sayup aku mendengarkan pembicaraan mereka. Tidak lama aku juga mendengar suara-suara kecupan. Ah, sudahlah, aku sangat mengantuk. Tidak lama aku pun terlelap.

Kami akan berada di Ukraina selama tiga hari.

***

Perjalanan kami ke PLTN Chernobyl dari Kiev menggunakan minibus Mercedez Benz Sprinter keluaran tahun 2016. Hari itu ada 10 orang dalam rombongan kami. Meski kabin mobil sarat penumpang, kondisinya cukup nyaman dan lega. Peserta lain dalam rombongan kami berasal dari Portugal, Jerman dan Kenya.

Pemandu tur kami adalah seorang pria berusia 40an tahun bernama Zach. Ia menjelaskan agenda kegiatan kami secara singkat. Sementara pengemudi mobil kami bernama Andrey. Usianya kurang lebih sama dengan usia Zach.

Kami duduk di baris kedua. Marc menggenggam erat tangan Daphne. Kepala Daphne ia sandarkan di dada Marc. Sesekali mereka berbicara sambil berbisik. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Sepertinya Daphne agak cemas dan Marc berusaha menenangkannya.

Aku menimang-nimang alat kecil mirip ponsel jadul berwarna kuning di tanganku. Alat itu adalah Geiger counter atau dosimeter untuk mendeteksi dan mengukur tingkat radioaktif selama perjalanan di Chernobyl nanti.

Kami berhenti sejenak untuk sekedar minum kopi atau teh. Aku mengambil secangkir kopi Americano dan dua wafel yang disiram dengan sirup rasa jeruk. Hmm.. nikmat sekali.. Marc memilih menu wafel dengan telur mata sapi. Sementara Daphne nampak kehilangan selera.

Setelah Marc menenangkannya, baru ia mau meminum secangkir teh hangat dan wafel tanpa sirup. Kami juga membeli tiga bungkus french fries untuk camilan di mobil.    

Kurang dari dua jam kami pun sampai di tempat yang sangat bersejarah itu. Cuaca cukup cerah dengan udara yang cukup sejuk.

Aku mengambil beberapa foto di sekitar checkpoint Dytyatky dan mengirimkannya ke Fina. Ia hanya menjawab "super!". Sudah, tidak ada kalimat lagi.

Aku membalasnya, Pripyat est un bel endroit.. Aku masih mengambil sejumlah foto dan mengirimkan kepadanya. Tetapi tidak ada respon lagi darinya. Mungkin ia sedang tenggelam dengan pekerjaannya...

Beberapa waktu kemudian, kami menyusuri desa Zalissya yang sunyi. Kosong. Tiada satu pun manusia di sana. Dulunya mereka ada. Tapi mereka harus bergegas pergi. Angan saya melayang membayangkan apa yang sedang terjadi. Dan tak terasa, waktu pun berhenti. Desa ini tidak akan pernah sama lagi. Sampai kini.. Sampai nanti...

Aku berusaha tidak memegang satu pun benda-benda. Bahkan memegang dahan atau ranting atau daun pun. Aku yakin permukaan benda-benda itu masih mengandung radiasi. Pemandu tur mengingatkan zat radioaktif akan berbahaya jika masuk ke dalam tubuhku melalui mulut.

Desa itu benar-benar sunyi. Hanya ada kicau burung yang nampaknya tidak cukup dekat dengan posisi kami. Bangunan-bangunan tua di situ sekilas nampak kokoh tetapi sebenarnya rapuh. Tidak pernah ada lagi manusia yang memeliharanya sejak 30 tahun lalu.

Aku melihat Daphne sudah mulai tenang. Marc dan Daphne saling berangkulan ketika berjalan. Sesekali mereka tertawa kecil. Ketika mereka berjalan paling belakang, ekor mataku mendapati kedua bibir mereka saling bersentuhan.

Beberapa kali Marc memintaku untuk memotret mereka. Ketika melewati sebuah bangunan rumah kosong, mereka memintaku berhenti. Aku mengernyitkan dahi. Rupanya mereka ingin sesi foto singkat. Aku melihat teman-teman rombongan kami memasuki beberapa bangunan di depan kami.

Marc dan  mengajakku memasuki sebuah rumah yang bagian dalamnya porak poranda. Marc memintaku untuk memotret mereka dengan pose yang menurutku tidak pantas. Aku menolaknya.

"Ayolah, Dirk.."

"Hei, kalian mestinya merenungi apa yang pernah terjadi di sini.. Bukan malah foto-foto seperti itu.." kataku dengan nada agak meninggi.

"Dirk, sejak kapan kau jadi polisi moral??" teriak Daphne.

Aku tersentak dengan perkataan Daphne. Kedua matanya menatapku tajam. Ia nampak marah. Kami saling bertatapan cukup lama. Marc diam saja. Aku menghela nafas sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku berjalan ke arah Marc dan merebut ponselnya.

"Suka-suka kalian!" kataku.

Mereka pun mulai berpose. Sementara aku hanya mengucapkan "un, deux, trois.."

Aku melihat Marc dan Daphne sangat menikmati sesi foto-foto itu. Terus terang beberapa pose mereka membuat jakunku sempat naik turun. Sesi foto-foto berlangsung dengan cepat. Jadi kami tidak begitu tertinggal dengan rombongan kami di depan.

Jujur, kadang aku iri dengan hubungan mereka yang semakin panas saja meskipun beberapa kali putus nyambung, Aku dan Fina tidak mungkin mengumbar kemesraan di depan orang lain seperti mereka. Kadang aku merasa mereka sudah gila tetapi aku segera sadar bahwa kami hanya berbeda budaya.

Tiba-tiba Geiger counter Daphne mengeluarkan suara beep.

"Oh, lihat Marc, Geiger counter-ku menyala. Kita terkena radiasi nuklir... Oh tidak..." kata Daphne sambil terkekeh.

"Non, non... Geiger berkata kita sedang bergairah, sayang... Ohh, aku menjadi monster mutan yang akan menghisap habis mineral dalam tubuhmu... Arghh.." kata Marc sambil menyeringai. Ia memeluk tubuh Daphne erat dan menciumi lehernya berkali-kali.

Aku mengelus dada melihat kelakuan mereka yang sangat tidak pantas dilakukan di tempat penuh duka ini.

"Fine, I'm out..." teriakku kesal. Mereka berhenti dan menatapku.

Aku keluar dari bangunan itu dan berjalan cepat mengejar teman-teman rombongan kami di depan. Aku berusaha mendekat dengan sang pemandu tur. Ketika menoleh ke belakang, aku melihat mereka keluar dari bangunan itu. Daphne membetulkan bajunya.

Entah kenapa lama-lama aku merasa tidak nyaman berjalan dengan kedua manusia yang sedang di mabuk asmara itu. Tapi menurutku mereka sedang menggila.

Hari pertama tur pun berlalu. Mobil mengantarkan kami ke hotel Desyatka yang cukup asri. Ahh, akhirnya aku bisa menyegarkan diri dengan mandi air hangat. Ranjang di kamarku juga sangat nyaman. Usai makan malam yang lezat, aku memutuskan tidur di kamarku.

Sebuah televisi LCD yang menggantung di dinding tidak mebangkitkan minatku. Aku pun tidak berminat bercakap-cakap dengan Marc dan Daphne, atau anggota rombongan lain.

Aku lelah, sangat lelah. Tidak lama aku pun terlelap.

***

Hari kedua petualangan kami dimulai. Di dalam mobil, aku bertukar tempat dengan seorang turis dari Kenya. Aku mulai berkenalan dengan turis di sebelahku, orang Jerman. Marc dan Daphne menoleh ke belakang, menatapku. Aku hanya tersenyum kepada mereka.

Kami menyusuri jalan di tengah hutan yang tidak lama menyingkapkan sebuah konstruksi sangat besar di depan sana. Di depan, kami semua turun dan berjalan menyusuri pepohonan dan bangunan rusak.

Konstruksi itu adalah DUGA, sebuah radar militer raksasa yang dibangun di tengah hutan. Walau kagum, aku tidak mau meraba besi-besi konstruksi itu. Konstruksinya masih nampak kokoh setelah lebih dari 30 tahun lamanya berdiri.

Beberapa waktu kemudian, kami tiba di kota Pripyat, tempat dimana lima puluh ribuan manusia pernah tinggal, hingga akhirnya pergi begitu saja. Tingat radiasi di kota ini lebih tinggi daripada tempat-tempat yang sudah kami kunjungi.

Kami semua mendengarkan penjelasan Zach dengan seksama tentang situasi kelam di kota yang berdiri pada 4 Februari 1970 itu. Kami ikut merasakan situasi pada hari ketika insiden terjadi. Begitu pula Marc dan Daphne. Aku melihat mata Daphne yang berkaca-kaca. Mungkin ia sedang membayangkan situasi di tempat yang ia pijak, dimana waktu itu banyak orang kebingungan.

Ledakan reaktor nuklir nomor 4 itu cukup dahsyat dan berbahaya. Tanpa wujud, tanpa warna, tanpa bau... Zat radioaktif merengkuh banyak jiwa manusia. Marc mendekap tubuh Daphne yang wajahnya mulai sendu. Air mata mengalir di kedua pipinya.

Setelah beberapa menit berjalan, kami berada di depan bekas taman ria di kota itu. Aku melihat bianglala yang masyhur itu.. Bianglala yang belum sempat dirasakan oleh warga kota. Seakan menjadi saksi bisu atas apa yang pernah terjadi di tempat itu di masa lalu.

Kami memasuki beberapa gedung apartemen yang nampaknya masih kokoh. Tetapi aku mendengar ada sejumlah gedung yang roboh. Satu yang membuatku sedih adalah buku-buku yang tergeletak di lantai begitu saja.

Waktu itu penduduk kota hanya punya waktu tiga hari untuk keluar dari Pripyat, sehingga banyak barang berserakan dimana-mana. Aku memilih tidak menyentuh buku-buku beraksara Rusia itu, walau sebenarnya ingin membuka halaman demi halaman buku. Aku hanya memotretnya.

Tidak lama kami semua keluar dari gedung dan melanjutkan perjalanan kami. Kali ini kami menuju ke PLTN Chernobyl, pusat terjadinya insiden.

Kami sudah berada cukup dekat dengan PLTN yang bangunan reaktornya kini telah ditutupi sepenuhnya oleh sebuah bangunan berbentuk kurva raksasa. Bangunan kurva itu baru dipasang tahun 2017 lalu untuk mengurangi dampak radiasi yang ditimbulkan oleh reaktor nomor 4.

Zach mengatakan bangunan kurva raksasa itu efektif mengurangi tingkat radiasi. Aku luar biasa kagum dengan hasil kerja para insinyur itu. Banyak orang bekerja di dalam bangunan kurva itu untuk membersihkan zat radioaktif. Entah sampai kapan mereka akan bekerja di sana.. Satu, lima, atau sepuluh tahun lagi? Mereka tidak tahu...  

Mereka menantang resiko besar bekerja di situ demi menyelamatkan manusia dan lingkungan dari dampak radiasi yang berbahaya. Ternyata masih banyak orang mulia di sana...

Foto bersama di depan monumen insiden Chernobyl nampaknya mengakhiri perjalanan tur kami. Perasaan kami semua bercampur aduk. Kami bahagia bercampur haru, seraya berjanji bahwa kami semua akan selalu memelihara Bumi kami. Tidak ada tempat lain bagi ras manusia untuk tinggal selain di Bumi ini, satu-satunya tempat hidup kami.

***

Akhirnya kami pun berpisah di kota Kiev. Aku akan kembali ke Indonesia dari kota Moskow. Marc dan Daphne malam itu juga akan kembali ke Paris. Kami saling bersalaman. Tetapi mereka juga memelukku erat. Mereka meminta maaf bila mereka membuatku marah.

Aku tersenyum seraya mengingatkan bahwa ini bukan kali terakhir pertemuan. Well, mereka sangat ingin kembali ke Bali dan bisa saja kita akan bertemu lagi. Aku akan mengenalkan mereka dengan tempat lain selain Bali. Mereka mengangguk senang.

Sementara itu, aku memutuskan untuk tidak lagi berkirim WA ke Fina. Rasanya Fina tidak memerlukanku lagi. Tidak ada gunanya juga aku mengirimkan foto-foto tempat-tempat yang aku kunjungi.

Tetapi ketika menunggu pesawatku di bandara Sheremetyevo, sebuah pesan Whatsapp datang di ponselku. Dari Fina! Tak sabar aku membukanya. Aku tersenyum dan membalas pesan teksnya.

Fina: Je t'attendrai... (aku akan menunggumu...)

Aku (+25 detik):  bientt Jakarta ma chrie... (sampai jumpa di Jakarta sayangku..)

Fina (+55 detik): ;) (emotikon senyum dan mengedipkan mata)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun