Beberapa waktu lalu saya berobat di salah satu poli rawat jalan spesialis di sebuah rumah sakit. Nama rumah sakit dan daerahnya tidak dapat saya sebutkan. Setelah mengurus administrasi, saya pun menunggu di ruang tunggu pasien bersama sejumlah pasien lainnya.
Hari itu sang dokter datang terlambat. Ia baru tiba kira-kira satu setengah jam seteah jadwal buka poli spesialis. Selama waktu menunggu itu, saya mengisinya dengan membaca sejumlah berita dari media online, menonton video di YouTube dan sesekali bermain games di ponsel saya.
Selama dokter belum tiba, tidak ada pasien yang menanyakannya kepada bagian administrasi atau perawat yang sekian kali hilir mudik antara meja ruang administrasi dan ruang praktik dokter. Tidak ada informasi sama sekali mengenai keterlambatan sang dokter. Pasien memang terlihat sabar menunggu, tetapi dalam hati siapa tahu?
Di waktu lainnya, saya pernah berobat di rumah sakit lain. Malam itu pasien sudah begitu banyaknya tetapi dokter belum nampak jua. Waktu pun berlalu hingga akhirnya sang dokter pun tiba. Para pasien pun segera bersiap menanti panggilan sesuai nomor antrian. Saya melihat sang dokter nampak tiba dengan tergesa-gesa dan nampak gelisah, mungkin merasa sudah sangat terlambat.
Bagi saya yang sudah sekian kali berobat ataupun mengantarkan keluarga saya berobat ke dokter umum maupun poli spesialis di rumah sakit, menunggu kedatangan dokter itu terasa biasa saja.
Menunggu setengah jam, satu jam bahkan hampir dua jam pun pernah saya alami. Bahkan pernah "mengganggu" agenda saya lainnya yang membuat saya pulang ke rumah hingga menjelang tengah malam. Padahal saya sudah mendapat nomor antrian awal.
Tetapi ada satu pengalaman yang cukup mengecewakan saya.
Suatu waktu, saya sudah tiba di sebuah rumah sakit hendak berobat di salah satu poli rawat jalan spesialis. Ketika mengurus administrasi di meja administrasi, tiba-tiba salah satu petugas menginformasikan bahwa sang dokter tidak bisa datang karena sesuatu hal. Tidak ada dokter pengganti pula. Padahal saya sudah jauh-jauh datang dari rumah, melintasi sekian kemacetan pula. Tapi ya, sudahlah.
Mungkin di antara Anda ada yang pernah mengalami hal yang sama. Bagi pasien, menunggu memang melelahkan, kadang menambah derita, terutama pasien sakit gigi. Bagi pasien yang kurang sabar menunggu, rasa nyeri di gigi seakan tak kunjung berhenti, malah semakin nyeri. Penderitaan pun bertambah karena bercampur dengan rasa dongkol dalam hati menunggu dokter yang tak kunjung hadir.
Terkadang, pasien atau keluarga pasien yang tidak sabar meluapkan kekesalannya kepada petugas administrasi atau perawat. Padahal bisa jadi mereka tidak tahu situasi yang sedang dihadapi dokter yang membuatnya terlambat datang praktik. Hal yang bisa dilakukan oleh petugas administrasi atau perawat adalah menenangkan pasien seraya mengatakan supaya bersabar, dokter akan segera tiba.
Sebagian dokter menghubungi petugas atau perawat di tempat praktiknya, menginformasikan situasi yag ia hadapi yang membuat ia terlambat datang atau mungkin tidak dapat datang. Tapi ada sebagian dokter lainnya yang karena sesuatu hal tidak menginformasikan kendala yang ia hadapi. Padahal pasien sudah menumpuk.
Pasien yang tidak tahu kapan dokter akan tiba merasa gelisah (bagi sebagian pasien memicu munculnya stres), tidak sabar (oleh karena menahan derita), kadang ada yang kesal dan marah-marah dan bahkan ada yang memutuskan pulang.
Menurut Setyawan (2017), faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan pasien dengan dokter adalah: tempat dan ruang pelayanan, waktu tunggu, latar belakang psikologi pasien, serta sikap dan perilaku dokter terhadap pasien.
Berkaitan dengan tema tulisan ini, maka tulisan ini akan fokus pada faktor kedua yaitu waktu tunggu. Faktor tersebut nantinya akan berkaitan erat dengan dua hal berikut. Pertama, rasa empati baik dari sisi pasien dan dokter.
Kedua, adanya komunikasi yang baik antara dokter (beserta institusi medis yang menaunginya) dan pasien. Menurut Derksen, Jozien, Lagro-Janssen dalam Gosal dan Jena (2017), komunikasi dan empati merupakan salah satu aspek yang menentukan kepuasan pasien.
Empati dua arah meningkatkan hubungan dokter dan pasien yang positif
Dalam pelayanan kesehatan, empati tidak selalu muncul dari sisi dokter. Dari sisi pasien, pasien juga perlu memiliki empati terhadap dokter. Tujuannya selain dokter dapat memahami kondisi yang dihadapi pasien, juga agar pasien memahami situasi yang dihadapi oleh dokter.
Empati tidak selalu dalam konteks sesi pemeriksaan saja tetapi juga hal lain, termasuk menunggu kedatangan dokter yang terlambat datang.
Empati, dalam Greater Good Magazine terbitan UC Berkeley merupakan kemampuan untuk merasakan emosi orang lain, ditambah dengan kemampuan untuk membayangkan apa yang dipikirkan atau dirasakan orang lain.
Sementara itu, dalam Encyclopedia of Social Psychology, Sara D. Hodges dan Michael W. Myers mengartikan empati sebagai upaya memahami pengalaman orang lain dengan membayangkan diri sendiri dalam situasi orang lain itu. Seseorang memahami pengalaman orang lain seolah-olah sedang dialami oleh diri sendiri, tetapi dirinya sendiri sebenarnya tidak mengalaminya.
Berkaitan dengan pelayanan medis atau kesehatan, empati menjadi salah satu aspek penting. Hal ini terungkap dalam sebuah artikel berjudul "7 key Traits of the Ideal Doctor". Artikel yang didasarkan pada sebuah penelitian yang melibatkan 200 orang pasien tersebut menyusun tujuh karakter ideal yang harus dimiliki oleh seorang dokter. Salah satu dari tujuh karakter ideal yang berkaitan dengan pembahasan tulisan ini adalah empati.
Empati pada umumnya dibedakan menjadi dua jenis yaitu empati afektif dan empati kognitif. Empati afektif mengacu pada sensasi dan perasaan seseorang sebagai respons terhadap emosi orang lain.
Sedangkan empati kognitif mengacu pada kemampuan seseorang  untuk mengidentifikasi dan memahami emosi orang lain dengan melihat dari sudut pandang orang lain. Perasaan orang lain seperti susah, senang, sedih, marah dapat dirasakan melalui empati kognitif.
Seorang dokter yang memahami empati kognitif ini akan berusaha membuat perasaan pasien menjadi tenang. Dokter yang tepat waktu praktik membuat pasien dapat menyingkirkan rasa gelisahnya.
Hal ini berbeda bila dokter terlambat praktik, apalagi bila tidak ada informasi yang jelas tentang keterlambatan dokter. Sebagian pasien merasa gelisah yang berpotensi memicu stres, yang membuat penderitaannya bertambah.
Bila dokter berpraktik tepat pada waktunya, perasaan pasien bermacam-macam. Yang pasti lega karena tidak lama lagi ia akan diperiksa oleh dokter. Kadang malah muncul perasaan sugesti dari pasien yang merasa keluhannya berkurang bahkan sebelum gilirannya masuk ke ruang periksa.
Perasaan gelisah ketika menunggu jam buka praktik dokter luruh tepat ketika dokter membuka pintu ruang praktiknya. Perasaan sugesti semacam ini susah untuk diteliti tetapi terjadi.Â
Contohnya, keponakan saya yang sudah merasa cocok berobat di salah seorang dokter umum. Penderitaannya berkurang bahkan ketika sedang duduk di ruang tunggu pasien. Ternyata bukan keponakan saya saja, ada sejumlah pasien lain yang merasakan sugesti yang sama ketika berobat ke dokter tersebut.
Bila dokter terlambat waktu berpraktik, pasien juga seyogyanya membangun empati kognitif terhadap dokter. Â Dokter juga manusia yang tak lepas dari sejumlah kendala (obstacles). Harap digarisbawahi bahwa maksud dari kendala adalah berkaitan dengan hal non-teknis.
Sedangkan dari sisi teknis, dokter sudah menguasai berbagai prosedur medis dan medikasi oleh karena pendidikan akademis dan pendidikan profesi yang ditempuh bertahun-tahun.
Hal-hal non teknis cenderung tidak dapat diprediksi, misalnya jadwal operasi di rumah sakit yang kadang lama, atau mungkin kemacetan parah yang membuat sang dokter terjebak di tengah kemacetan, atau ban motor/mobil sang dokter kempis atau bocor, atau ada jadwal rapat penting mendadak di rumah sakit, atau ada salah satu anggota keluarga dokter sakit, atau mungkin sang dokter sendiri yang sakit, dan lain-lain.
Bisa jadi dokter terlambat datang karena masih belum selesai berpraktik di lokasi sebelumnya. Perlu diketahui bahwa saat ini dokter umum dan spesialis berpraktik maksimal di tiga tempat. Hal ini berdasarkan Pasal 37 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Bila satu lokasi praktik dokter dengan lokasi praktik lainnya berjarak cukup jauh, dokter memerlukan waktu untuk menempuh perjalanan ke lokasi praktik berikutnya. Bila ia menangani banyak pasien di lokasi praktik sebelumnya, yang membuat waktu praktiknya lebih panjang, ditambah jarak yang cukup jauh untuk menuju ke lokasi praktik berikutnya, maka sang dokter sudah pasti akan terlambat tiba.
Sementara itu, empati afektif merupakan "hasil" dari keberhasilan membangun empati kognitif. Keberhasilan empati kognitif itu salah satunya bila dokter tepat waktu berpraktik. Bila dokter tiba terlambat, apalagi bila melihat antrian pasien yang mengular, hal ini mempengaruhi empati afektif yang positif.
Kadang perasaan gelisah melanda ketika dokter datang terlambat sekian jam dari jam buka praktik yang seharusnya. Sang dokter khawatir jadwal praktiknya bakal panjang. Ditambah dengan muka masam para pasien yang sudah lelah menunggu kedatangannya. Bagi sebagian dokter, situasi seperti itu dapat mempengaruhi kondisi psikologis mereka.
Situasi demikian dikawatirkan menyebabkan kurang optimalnya prosedur anamnesa dan pemeriksaan fisik oleh dokter, sehingga dikhawatirkan mempengaruhi penegakan diagnosis maupun prosedur medikasi. Bisa jadi dokter akan mensiasatinya dengan mempercepat proses pemeriksaan atau melewatkan beberapa poin dalam anamnesa dan pemeriksaan fisik.
Oleh karena itu sebagian instalasi rawat jalan spesialis rumah sakit kini menerapkan kebijakan pembatasan jumlah pasien dalam satu waktu praktik dokter. Sekali lagi, dokter juga manusia. Jika mereka terlalu lelah oleh karena menangani banyak sekali pasien dalam satu waktu praktik juga akan berdampak buruk bagi dokter baik secara fisik maupun psikologis. Situasi seperti ini pula yang mesti dipahami oleh pasien.
Komunikasi memperkuat empati dalam hubungan antara dokter dan pasien
Ketika seorang pasien masuk ke ruang praktik dokter, setiap dokter akan melakukan serangkaian anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (jika diperlukan) dalam rangka penegakan diagnosis penyakit pasien secara optimal.
Sekadar informasi, Setyawan (2017) menjelaskan bahwa anamnesa yang dilakukan oleh dokter biasanya bersandar pada "The Basic (Fundamental) Four" atau pedoman empat pokok pikiran dan "The Sacred Seven" atau tujuh dimensi keluhan utama yang disebut. Untuk sejumlah penyakit yang derajat keparahannya rendah, 80 persen diagnosis dapat ditegakkan lewat anamnesa (Kompas.com)
Kemampuan berkomunikasi yang baik adalah kunci hubungan antara dokter dan pasien. Menurut Setyawan (2017), 60 persen pasien sebenarnya tidak sakit, tetapi mengalami kelainan fungsional. Hanya 40 persen yang benar-benar sakit, itu pun 20 persen sembuh sendiri.
Tetapi bagaimanapun, syarat keberhasilan sesi anamnesa dan pemeriksaan fisik adalah "situasi dan kondisi" antara kedua belah pihak yang positif. Dokter harus fokus pada pasiennya dan harus dalam perasaan tenang ketika melakukannya.
Begitu pula pasien juga tidak dalam kondisi kelelahan karena menunggu datangnya dokter sementara antrian cukup panjang. Bagi pasien yang sudah cukup lama menunggu tibanya dokter, kadang ada rasa lelah yang mungkin dapat mempengaruhi kondisinya.
Bila tidak ada informasi yang jelas mengenai penyebab keterlambatan dokter, bisa jadi hal itu akan mempengaruhi kondisi psikologis pasien. Bisa saja pasien sudah kadung sebal atau marah karena lelah menunggu datangnya dokter. Ketika tiba gilirannya diperiksa, bisa saja ia akan ogah-ogahan dalam sesi anamnesa maupun pemeriksaan fisik oleh dokter yang membuat penegakan diagnosis kurang maksimal.
Untuk itu, sebaiknya pasien berinisiatif menanyakannya kepada perawat atau bagian administrasi. Informasi tentang penyebab keterlambatan dokter perlu disampaikan kepada para pasien, khususnya untuk lokasi praktik dokter di rumah sakit atau klinik yang memerlukan proses registrasi / administrasi sebelum waktu praktik dokter.
Bila dokter terlambat praktik dan ada informasi yang jelas tentang penyebab keterlambatan dokter, hal itu akan berdampak positif pada kondisi pasien. Paling tidak ada kepastian informasi bahwa dokter akan tiba meski terlambat.
Begitu juga bila dokter membatalkan praktik, pihak rumah sakit atau klinik sebaiknya segera menginformasikannya. Sekarang ini banyak rumah sakit telah memiliki website ataupun media sosial (medsos). Informasi semacam itu bisa segera disampaikan melalui website atau medsos.
Pasien juga bisa menghubungi rumah sakit atau klinik melalui telepon untuk mendapatkan konfirmasi kehadiran dokter. Atau bisa juga rumah sakit atau klinik yang segera menghubungi pasien untuk penjadwalan ulang atau pasien memilih dokter atau rumah sakit / klinik lainnya.
Urusan dokter terlambat praktik sepintas nampak sepele, tetapi tidak setiap orang menganggapnya demikian. Terkadang dalam situasi tertentu, hubungan dokter dan pasien menjadi kurang positif hanya karena dokter terlambat datang berpraktik.
Untuk itu, perlu adanya empati dan komunikasi dua arah yang positif agar kedua belah pihak sama-sama paham dengan situasi yang dihadapi. Dokter perlu memahami situasi pasien, pasien juga perlu memahami situasi dokter. Setiap pasien ingin sembuh dari penyakitnya. Hal itu juga menjadi harapan dokter yang menanganinya.
Bacaan:
Cara Membangun Empati untuk Membangun RelasiÂ
Dokter PNS Dilarang Telat PraktikÂ
Hubungan Keterlambatan Kedatangan Dokter terhadap Kepuasan Pasien di Instalasi Rawat JalanÂ
Komunikasi Medis: Hubungan Dokter-Pasien
Memahami Empati dan Mengapa Manusia MembutuhkannyaÂ
Sering Telat Praktek, Belasan Dokter di RSUD Bekasi Layak Dapat SP-3Â
The Psychology of Emotional and Cognitive EmpathyÂ
Terlalu Lama Menunggu Dokter? Lakukan 7 Hal IniÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H