Kompas cetak pada edisi 13 November 2018 lalu memuat foto headline berjudul "Sampah Sungai Ciliwung". Dalam foto tersebut nampak berkubik-kubik sampah yang hanyut di sekitar Pintu Air Manggarai. Tingkat ketinggian air di pintu air tersebut kerap menjadi patokan kala musim penghujan tiba.Â
Begitu pula dengan kondisi permukaan air di sungai Ciliwung. Sebagian warga kerap memperhatikan level permukaan airnya dengan was-was, khawatir tempat tinggalnya terkena dampak luapan air sungai.
Baru-baru ini saya menonton sebuah tayangan video yang lumayan viral di YouTube mengenai kejadian "tsunami" sampah di Bandung. Kejadian yang terekam video di akhir Oktober 2018 lalu itu terjadi di sungai Cisunggala di Desa Panyadap, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung.
Dalam tayangan tersebut kita dapat melihat gulungan air sungai yang cukup kental, mengandung banyak sekali sampah yang mengalir cukup deras di sungai yang sebelumnya kering.
Sampah beraneka macam baik kertas, plastik, ranting tanaman memenuhi sungai tersebut. Pada bagian sungai yang lain terlihat jelas jenis sampah yang terdapat di sungai. Bahkan ada bantal kapuk yang terendam manja di sana. Sungai Cisunggala tersebut mengalir hingga ke sungai Citarum.
Disanalah sampah-sampah dari sungai Cisunggala berkumpul dengan sampah-sampah dari sungai-sungai lainnya, menjadikan Sungai Citarum menjadi lautan sampah raksasa, bahkan menjadi salah satu sungai paling tercemar di dunia, demikian menurut BBC. (https://www.bbc.com/indonesia/media-43959742).
Kota Surabaya memiliki sejumlah sungai yang disulap menjadi jalan raya dengan menggunakan box culvert. Area sungai yang ditutup dengan box culvert bisa berkilo-kilo meter panjangnya. Penutupan sungai itu menimbulkan konsekuensi sampah-sampah yang menumpuk didalamnya.
Dan memang benar demikian halnya. Pada tahun 2017 lalu, tim Pemerintah Kota Surabaya mengecek kondisi di bawahnya. Beraneka macam sampah ditemui di sana. Ada sampah popok bayi yang sudah menggelembung seperti bola karena menyerap air, ranting-ranting pohon, sampah plastik, juga sampah kasur, ranjang, meja, kursi, hingga pohon utuh! (sumber)
Kebijakan pemerintah terkait problem sampah
Persoalan tentang sampah memang pelik dan pastinya membuat departemen atau dinas terkait mengerutkan kening. Problem tentang sampah memang lumayan kompleks, tetapi bukan berarti problem tersebut tidak dapat teratasi.
Sejumlah langkah dirumuskan dengan menerbitkan peraturan berkaitan dengan hal ini, misalnya Undang-undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Guna mengendalikan dan mengawasi sungai Citarum, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Program Citarum Harum yang dicanangkan pada Februari 2017 silam menargetkan sungai Citarum bakal bersih dalam tujuh tahun.
Mengenai pengelolaan sampah, pemerintah juga telah melakukan sejumlah upaya. Misalnya, Kota Surabaya memiliki fasilitas pengolah sampah yang mampu menghasilkan energi listrik . Fasilitas ini dibangun berdasarkan amanat Perpres 18 Tahun 2016 tentang Percepatan pembangunan listrik berbasis sampah. Fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) tersebut berada di TPA Benowo, Surabaya, dirancang untuk menghasilkan listrik sebesar 2 Megawatt, cukup untuk melistriki kira-kira 4.000 hingga 6.000 rumah.
Cita-cita Perpres tersebut nantinya akan ada tujuh kota yang menjadi pilot project yaitu Surabaya, Jakarta, Tangerang, Bandung, Surakarta, Makasar dan Semarang. Kota Surabaya sukses mengawali proyek tersebut pada tahun 2016. (sumber). Sementara itu, PLTSa lainnya yang akan segera beroperasi adalah PLTSa di TPA Piyungan, Jogjakarta dan PLTSa Jatibarang, Jawa Tengah. Untuk PLTSa Jatibarang, sudah dipastikan pengoperasiannya mundur dari semula Oktober 2018 menjadi April 2019, sebagaimana informasi dari Tribun Jawa Tengah.
Merunut problem utama sampah
Sebenarnya bila kita merunut problem utama sampah adalah kurangnya kesadaran masyarakat dalam menangani sampah rumah tangga. Sebagian rumah tangga dengan seenaknya membuang sampahnya misalnya ke sungai, tanah kosong atau bahkan rumah yang lama tidak dihuni.
Serius. Saya pernah menemui sebuah rumah tinggal di daerah Surabaya Utara yang lama tidak dihuni, dimana pekarangan depan rumahnya menjadi tempat pembuangan sampah warga sekitar. Tega nian para tetangganya. Meskipun rumah itu kosong bukan berarti menjadi tempat pembuangan sampah. Tetapi syukurlah, terakhir ketika saya melewatinya rumah itu nampak tengah direnovasi dan akan ditempati.
Sampah memang tidak bisa dihindarkan dari kehidupan manusia. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, manusia akan selalu menghasilkan sampah. Setiap rumah tangga di Indonesia ditaksir menghasilkan sampah sebesar 0.28 hingga 0,40 kg per orang per hari (berdasarkan data SNI 19-3983 (1995) dalam Windraswara dan Prihastuti (2017). Itu masih sampah rumah tangga, belum termasuk volume sampah dari pusat perbelanjaan, warung makan dan minum, fasilitas publik hingga rumah kos yang pastinya volume hariannya cukup besar.
Menurut penelitian Trihadiningrum et al.(2015) dalam sumber yang sama, sumber utama sampah di Indonesia adalah sampah rumah tangga. Menurut penelitian Damanhuri pada tahun 2008 dan Setyowati pada tahun 2013 (juga dalam Windraswara dan Prihastuti (2017)), sekitar 86,7% rumah tangga di Indonesia baik perdesaan maupun perkotaan telah terlayani akses pengelolaan persampahan. Sampah yang tidak dipilah masih sebesar 81,2% dan hanya 60% dari limbah rumah tangga yang ada terangkut menuju proses selanjutnya.
Nah, dari data tersebut kita bisa memperkirakan volume sampah yang sebenarnya menjadi permasalahan. Ada sekitar 19,8% sampah tidak dipilah, lalu sekitar 40% limbah rumah tangga tidak terangkut ke proses selanjutnya, ditambah 13,3% rumah tangga yang tidak terjangkau oleh akses pengelolaan sampah.
Kita bisa menduga kemana larinya sampah-sampah yang dihasilkan rumah tangga tersebut. Bisa jadi dibuang ke kali atau sungai, atau di salah satu areal tanah kita yang kosong? Bisa jadi di tempat yang tidak semestinya menampung sampah, dan itu dilakukan setiap hari!
Ketika melewati suatu jembatan, Saya pernah melihat seorang bapak-bapak yang sedang menaiki motor tiba-tiba menepikan motornya ke kiri mendekat ke pagar jembatan. Setelah cukup dekat dengan pagar jembatan, seketika ia melemparkan seplastik besar sampah ke arah sungai. Suatu kali saya juga pernah melihat seorang ibu-ibu yang keluar dari sebuah warung makan, menyeberang jalan raya ke arah sungai di sisi jalan raya untuk membuang sekantong plastik sampah.
Hal serupa tidak sekali dua kali saya lihat. Itulah mengapa di sejumlah jembatan sungai-sungai kecil di kota Surabaya atau Sidoarjo misalnya, terdapat pagar yang cukup tinggi yang cukup menyulitkan orang-orang yang memiliki kebiasaan membuang sampah ke sungai. Pagar-pagar itu berupa pagar besi bermotif atau pagar besi dengan pot-pot tanaman.
Ada hal lain yang saya pernah saya amati kira-kira dua tahun yang lalu. Ketika saya melewati sebuah jalan yang cukup ramai di suatu kabupaten di Jawa Timur. Jalan itu bersebelahan dengan sungai yang tidak begitu besar.
Ketika saya melewati jalan itu, sungai tersebut sedang dikeruk menggunakan ekskavator karena terjadi pendangkalan yang membuat air sungai meluber hingga menggenangi jalan suatu kampung. Pengerukan sungai itu sukses mengeruk endapan sungai berupa lumpur yang bercampur dengan begitu banyak sampah, khususnya sampah plastik.
Endapan lumpur bercampur sampah itu diletakkan di tepi sungai, membentuk semacam tanggul di sepanjang bantaran sungai untuk mencegah melubernya air sungai. Ketinggian tumpukan endapan yang berhasil dikeruk itu kira-kira mencapai satu meter.
Beberapa minggu kemudian saya melewati jalan tersebut dan mendapati endapan lumpur telah mengering. Saya mengamati sampah-sampah, terutama sampah plastik nampak jelas terlihat, banyak sekali. Ada kantong plastik atau kresek, bekas kemasan makanan dan minuman, dan lain-lain. Sampah-sampah itu menyembul di antara endapan lumpur yang mengering di sepanjang bantaran sungai yang jauhnya kira-kira tiga atau empat kilometer.
Melihat perilaku sebagian masyarakat akan sampah yang saya lihat sendiri itu membuat saya prihatin dengan pola pikir mereka yang seakan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Mereka tidak menyadari (atau mungkin cuek) bahwa perilaku memindahkan problem sampah rumah tangga mereka akan berpotensi menimbukan masalah baru yaitu degradasi lingkungan yang akan berdampak pada ekosistem sungai, termasuk merugikan masyarakat lainnya.
Hal ini pernah ditulis oleh Kompasianer R. Firkan Maulana dalam tulisannya yang berjudul "Degradasi Lingkungan Hidup di Perkotaan" dimana salah satu akar penyebab degradasi lingkungan adalah perilaku membuang sampah sembarangan yang dilakukan sebagian warga masyarakat.
Solusi atas problem sampah
Lalu bagaimana sebaiknya solusi mengatasi permasalahan sampah yang seakan tidak kunjung teratasi ini? Banyak sudah berbagai inisiasi atau gerakan mengelola sampah rumah tangga didengungkan untuk mengajak masyarakat peduli dengan penanganan sampah di masing-masing rumah tangganya. Misalnya memilah sampai organik dan inorganik, atau memasang komposter untuk sampah organik, dan lain-lain.
Sayangnya, gerakan positif itu nampaknya belum mampu menggapai seluruh lapisan masyarakat. Buktinya sebagian masyarakat masih saja membuang sampah sembarangan. Persoalan krusial sampah ini memang tidak main-main karena dampaknya, yaitu banjir, yang cukup masif.
Setiap gerakan atau inisiasi tentang penanganan sampah sudah waktunya memasang target setiap orang harus memiliki pola pikir yang sama dalam menyikapi sampah rumah tangganya. Nampaknya, hal ini masih menjadi tantangan berat buat pemerintah serta organisasi lingkungan hidup walaupun mereka cukup konsisten mengajak masyarakat.
Baru-baru ini, tepatnya pada 7 November 2018 lalu, Pusat Inovasi Agroteknologi Universitas Gadjah Mada mengadakan even Forum Group Discussion (FGD) dengan tema "Permasalahan dan Solusi Pengelolaan Sampah Perkotaan" di Heritage Place, Yogyakarta.
Salah satu narasumber even, Ir. Rani Sjamsinarsi, M.T, anggota Tim Percepatan Pelaksanaan Program Prioritas Pembangunan DIY, menyampaikan pendapatnya bahwa masalah sampah ini harus diselesaikan dari hulu ke hilir, tidak hanya bergantung ke pemerintah, tetapi masyarakat juga harus mampu berkomitmen untuk mengubah budaya yang sudah ada.
Budaya yang dimaksud adalah mau memilah sampah mulai dari tingkat rumah tangga karena karakteristik sampah yang semakin beragam, sehingga nantinya sampah bisa diolah untuk menjadi energi. Menurut Rani, dengan teknologi pirolisis sampah plastik dapat diolah menjadi minyak yang dapat digunakan sebagai bahan bakar.
Narasumber lainnya, Dr.Eng. Mochamad Syamsiro dari Universitas Janabadra mengamini hal itu, bahwa dalam skala besar, sampah yang dikelola di PLTSa bisa menjadi sumber energi berupa listrik. Mengenai pemilahan sampah yang dimulai dari tingkat rumah tangga, narasumber Dr. Prabang Setyono, M.Si. dari Universitas  Sebelas Maret menyetujui hal itu. Misalnya limbah pospak (popok sekali pakai) yang mengandung gel di dalamnya dapat dimanfaatkan sebagai filter peredam suara.
Itu berarti permasalahan sampah mutlak harus melibatkan peran serta masyarakat. Perlu ada strategi terobosan dalam mengubah pola pikir masyarakat dalam menyikapi sampah. Teknologi secanggih apapun baik PLTSa ataupun teknologi pengurai limbah menjadi sia-sia saja jika masyarakat sendiri masih berpola pikir lama: membuang sampah secara sembarangan.
Penyebaran informasi mengenai pelestarian lingkungan hidup agar masyarakat semakin sadar akan lingkungan sekitar perlu dipromosikan lebih luas dan lebih gencar lagi. Secara bertahap hal ini akan mengasah kecerdasan akan lingkungan (environmental quotient) masyarakat.Â
Kini media informasi begitu luasnya, sehingga platform di internet pun dapat menjadi media mempromosikan pola pikir masyarakat yang baik dalam menyikapi sampah minimal menangani sampah dalam lingkup rumah tangganya dengan tidak membuang sampah secara sembarangan.
Sudah berulang kali musibah banjir terjadi karena sampah yang dibuang sembarangan ke sungai. Sementara tenaga, anggaran dan sumber daya pemerintah lainnya terkuras untuk menangani banjir. Warga yang terkena dampaknya juga pasti merasakan kesulitan beraktivitas kala banjir menerjang rumah mereka. Kualitas hidup mereka pasti menurun, otomatis tingkat kebahagiaan mereka menurun.
Oleh karena itu, tidak membuang sampah secara sembarangan adalah sikap mendasar yang harus menjadi kebiasaan dalam kehidupan setiap individu sehari-hari. Selebihnya, mengenai ketersediaan pengangkutan sampah hingga strategi pengolahan sampah, misalnya menjadi energi listrik, adalah porsi dari pemerintah. Dengan tidak membuang sampah secara sembarangan saja sudah sangat membantu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H