Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Siasat Chika dan Teteh Rika

6 September 2018   09:40 Diperbarui: 6 September 2018   22:08 1808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi oleh Gatot Tri

"Selamat sore adik-adik yang ceria... Saya Kak Chika. Saya adalah pemain boneka. Pagi ini Kak Chika akan memainkan boneka dengan cerita 'Bermain Angka bersama Baba, Caca, Yaya dan kawan-kawan'. Yuk, Adik-adik semuanya mendekat kemari bersama kak Chika..."

Demikian sapaan Chika sebelum memulai pertunjukan boneka di depan para balita. Karakter boneka yang bernama Baba, Caca dan Yaya dan beberapa karakter lainnya sangat disuka para balita di kampung Sukanangka, Majalengka.

Chika, wanita usia dua puluh lima sudah lama suka boneka. Saking sukanya, ia mendirikan Rumah Boneka Chika yang menggelar pertunjukan teater boneka tiap hari Minggu di teras rumahnya. Sudah setahun ini pertunjukan bonekanya menggema. Para balita kampung Sukanangka selalu ceria dengan hiburan boneka. Mereka selalu datang bersama para ayah dan bunda.

Tapi hari Minggu itu ada yang agak berbeda. Kekasih Chika yang bernama Jaka datang ke rumah Chika. Itu karena semalam, Jaka tak bisa mengajak Chika jalan-jalan ke kota karena baru tiba dari tugas ke luar kota mendampingi lima siswa sekolahnya ikut lomba Fisika.

Jaka adalah guru Fisika SMA Sukanangka di Majalengka. Ia jejaka asli Jakarta. Usia Jaka dua puluh lima, sama dengan usia Chika. Tidak hanya mengajar Fisika, Jaka juga membina tim Paskibraka. Semua siswa suka kepadanya karena Jaka sangat jenaka. Oleh karenanya, para siswa senang dengan pelajaran Fisika. Tak heran SMA Saka, singkatan dari SMA Sukanangka, selalu langganan juara lomba Fisika.

"Jaka, Chika harus memainkan boneka hingga jam setengah lima. Lihat anak-anak itu, mereka sungguh ceria. Lihat anak-anak di luar sana. Mereka sudah menanti pertunjukan boneka sesi kedua. Tunggu Chika di warung Teteh Rika. Chika bakal ke sana usai pertunjukan boneka."

"Chika, kau tadi pagi bilang bisa ternyata aku harus menunggu hingga siang tiba. Ini sudah kali ketiga. Kau janji bisa tapi selalu kau batalkan tiba-tiba. Chika, aku sangat ingin mengajakmu jalan-jalan ke kota..." keluh Jaka.

"Jaka, Chika tak menyangka begitu banyak balita dengan wajah ceria bersama bunda mereka. Chika bahagia mereka suka pertunjukan boneka..."kata Chika.

"Demi apa, Chika? Demi apa dengan segala rupa boneka?" tukas Jaka.

Chika menatap mata Jaka lalu berpaling ke ujung sana, ke arah tumpukan boneka. Lalu kembali menatap Jaka. "Emm.. Paling tidak mereka sadar hiburan mereka bukan gadget semata."

"Chika, aku enggan menunggu di warung Teteh Rika. Teteh Rika pasti akan menanyakan hubungan kita. Aku tidak suka.." tukas Jaka.

"Ya ampun, Jaka.. Teteh Rika mah suka gitu orangnya. Dia memang suka bertanya tentang hubungan kita. Ke Chika juga. Jawab saja bahwa kita saling suka. Bilang saja kita akan jalan-jalan ke kota. Hihi.." kata Chika penuh manja.

Jaka selalu senang dengan ekspresi manja Chika, membuatnya menampakkan senyumnya. Hati Jaka luluh seketika. Akhirnya Jaka bersedia menunggu Chika di warung Teteh Rika.

Minggu sore itu warung Teteh Rika nampak ramai bertandang sejumlah pemuda. Beberapa lainnya nampaknya para ayah muda yang menunggu anak dan istrinya yang sedang berada di rumah Chika menonton pertunjukan boneka. Nampak Teteh Rika berbicara dengan beberapa pemuda dan ayah muda, sesekali diiringi gelak tawa.

"Aih.. Jaka... Tumben... Kumaha? Damang?" tanya Teteh Rika menymbut kedatangan Jaka di warungnya. Ia baru saja memberikan secangkir teh manis hangat kepada seorang pria. Jaka membalas sapaan Teteh Rika. Penampilan Teteh Rika seperti biasa menggoda. Wajahnya merona, rambut terurai terhias bandana. Blusnya ketat agak terbuka.

Teteh Rika adalah pemilik warung yang lokasinya persis di ujung kampung Sukanangka. Keluarga Teteh Rika sudah tinggal lama di sana sejak dahulu kala, kabarnya sejak jaman Belanda. Teteh Rika berusia tiga puluh tiga. Ia janda beranak tiga. Sejak suaminya tiada, ia kembali dari Jakarta ke rumah sang orang tua yang telah lama tiada. Rumah itu telah diwariskan kepadanya.

Jaka memesan secangkir kopi hitam tanpa gula. Ia menyambar koran di ujung meja dan mulai membaca berita. Ada kalanya ia manggut-manggut membaca berita dunia, ada kalanya ia tertawa membaca komik jenaka yang mengundang perhatian beberapa pemuda.

"Menunggu Chika kah?" tanya Teteh Rika penuh ingin tahu, sambil mulai menyeduh kopi pesanan Jaka.

"Iya, Teh. Chika masih sibuk dengan pertunjukan boneka. Makin banyak anak-anak yang suka. Bahkan saya melihat ada anak-anak dari kampung tetangga." Kata Jaka sambil mencomot sebuah roti mentega dan mulai menggigitnya.

"Chika...Chika.. main terus sama boneka. " kata Teteh Rika yang sambil mengangsurkan kopi hitam panas pesanan Jaka.

"Lalu, bagaimana hubungan Jaka dengan Chika?" tanya Teteh Rika sambil menatap mata Jaka. Kerlingan mata Teteh Rika yang sarat bulu mata sempat mendisrupsi batin Jaka kala menerima gelas berisi kopi tanpa gula pesanannya.

Jaka mendengar cerita dari Chika tentang Teteh Rika yang suka berpenampilan menggoda di warungnya, membuat para pemuda terpana. Tidak hanya pemuda, bahkan para ayah muda. Teteh Rika genit manja walau sudah tua, begitu kata Chika.

"Eee.. kita baik-baik saja Teh.." kata Jaka dengan senyum agak terpaksa. Hubungan Chika dan Jaka memang kadang membara kadang reda. Tetapi mereka sebenarnya sudah saling suka. Jadi, hubungan mereka kurang lebih baik-baik saja.

Teteh Rika tersenyum, membuat pulasan tebal gincunya makin merah merona. Kini posisi kepalanya agak dimiringkan ke kanan membuat Jaka seketika terpana. Tak mengira Teteh Rika bakal menggodanya. Wajahnya sungguh elok dipandang mata walau sudah berkepala tiga dan beranak tiga. Tapi Jaka lekas tersadar dari imajinasinya.

"Sok diminum kopinya, Jaka.." kata Teteh Rika yang mulai mengelap meja kerjanya yang terkena luapan air kopi dan teh serta beberapa ceceran gula. Terdengar lagu "Sengsara" dari Ade Irma mengalun dari pelantang suara di atas meja.

Teteh Rika mengelap meja kerjanya sambil menggerakkan tubuhnya, menggoyangkan pinggulnya yang nampaknya kompak dengan nada. Adegan singkat itu sukses membuat beberapa pemuda dan ayah muda di meja sisi utara menganga. Jaka hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tak lama, waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima. Para ayah muda nampak satu per satu menerima panggilan telepon dari para istrinya. Mereka segera beranjak dari warung Teteh Rika. Beberapa ayah muda yang masih belum dihubungi masih nampak di sana, nampaknya pura-pura membaca.

Jaka mengamati mata dua orang ayah muda dari kampung tetangga yang masing-masing memegang koran nampak sedang membaca. Tetapi anehnya bola matanya mengarah ke depan, ke arah Teteh Rika yang sedang membuka lemari gantung di atas meja kerjanya. Bagian atas blusnya yang sedikit terbuka membuat keduanya senyum-senyum saja.

"Gombranggg..." Tiba-tiba sebuah kaleng kerupuk jatuh dari atas sana, membuat kedua ayah muda itu terkejut seketika seraya melempar koran ke meja dan buru-buru mencomot kue bika. Kaleng yang tadinya berada di dalam lemari gantung terjatuh ketika Teteh Rika membukanya. Jaka menahan tawa melihat kelakuan dua ayah muda.

Jaka memutuskan menjemput Chika. Ia lekas bersiap, membayar kopinya dan dua kue bika seraya cepat-cepat meninggalkan Teteh Rika.

"Kapan-kapan datang lagi ya, Jaka.." kata Teteh Rika sambil melambaikan tangan kanannya dan mengibaskan rambutnya.

Jaka cepat-cepat memacu motornya agar lekas pergi dari Teteh Rika, si wanita penggoda. Ia ingin segera pergi saja dengan Chika ke kota.

"Hai Jaka, kau datang tepat pada waktunya. Tapi... Entah mengapa Chika sakit kepala..." Kata Chika sambil membereskan boneka dan sesekali memegang kepalanya.

Jaka menghela nafasnya, nampak khawatir mereka bakal batal jalan-jalan ke kota.

"Sejak kapan muncul sakit kepala?" tanya Jaka yang membantu Chika membereskan boneka.

"Sejak pertengahan sesi kedua. Mungkin Chika lelah, Jaka. Biasanya pertunjukan sekali saja. Mungkin karena semakin banyak karakter boneka. Tapi tidak apa, anak-anak balita jadi makin suka," kata Chika.

"Kalau begitu kau istirahat saja, Chika. Aku carikan obatnya ke Kang Jaja, ya." kata Jaka.

Chika mengiyakan. Kang Jaja adalah teman Jaka yang bekerja di apotek Sukanangka Farma yang letaknya di tepi jalan raya, letaknya cukup jauh dari desa Sukanangka. Tapi tidak apa, demi Chika ia akan mencari obatnya agar Chika kembali ceria.

Jaka pun segera memacu motornya cepat-cepat ke arah jalan raya. Kebetulan Kang Jaja bekerja hingga jam lima. Sampai di sana Jaka pun bersua dengan Kang Jaja yang segera mencarikan obatnya.

Selang beberapa waktu kemudian, Jaka sudah tiba membawa obat sakit kepala. Ia segera masuk ke rumah Chika tanpa menekan bel yang ada di atas jendela karena pintu sudah terbuka. Ia heran karena tidak biasanya pintu rumah terbuka. Ia mengernyitkan dahinya.

Jaka merasa lega setelah melihat punggung Chika di sofa ruang keluarga. Di depannya ada layar televisi menayangkan tayangan olah raga. Tapi ternyata, ada sesosok manusia lainnya di sana duduk di lantai di dekat sofa.

"Teteh Rika?" tanya Jaka heran.

Sontak Teteh Rika dan Chika menoleh ke arah Jaka bersama-sama, terkejut dengan kedatangan Jaka. Teteh Rika cepat-cepat memebereskan benda-benda di depannya, sejumlah uang kertas dan recehan ke dalam kantong kain, membuat Jaka bertanya-tanya. Chika bangkit dari sofa membalikkan badanya menghadap Jaka.

"Eee.. Jaka, eee.. anu.." kata Chika terbata-bata. Teteh Rika nampak cemas rasa seraya mengatakan kepada Chika untuk mengatakan semuanya saja, membuat benak Jaka semakin dipenuhi tanda tanya.

Mereka lalu duduk di sofa. Chika berkata-kata menjelaskan semuanya.

"Jaka, begini. Warung Teteh Rika sudah lama buka tapi tak jua ada pembeli ke sana. Chika merasa iba dengan Teteh Rika yang selalu datang ke sini dengan bimbang rasa, anaknya mau diberi makan apa...? Kebetulan Chika punya dana dari orang tua untuk membantunya melengkapi dagangan di warungnya."

"Lalu Chika punya ide membuat pertunjukan boneka. Kebetulan Chika punya banyak boneka. Anak-anak balita kampung Sukanangka pasti suka. Mereka pasti akan datang dengan ayah bunda. Pikir Chika, para bunda menemani sang balita menonton boneka, sang ayah Chika minta menunggu di warung Teteh Rika."

"Supaya menarik mata, Chika ubah penampilan Teteh Rika sedikit menggoda biar para ayah kerasan di sana dan membeli apa saja. Warung Teteh Rika pun jadi makin ramai saja. Tadinya satu dua orang ayah muda lalu semua ayah muda menunggu di sana. Bahkan para pemuda kampung tetangga pun juga pindah kongkow di sana. Teteh Rika hanya tampil menggoda, tidak sekalipun berbuat asusila karena itu dosa."

"Perjanjiannya, Teteh Rika bagi hasil dengan Chika seperlima saja dari laba. Ini dia bagi hasilnya. Taraaa.." kata Chika seraya merebut sekantong penuh uang dari genggaman Teteh Rika, rupanya komisi dari Teteh Rika.

"Uang ini Chika tabung untuk membeli karakter boneka lainnya. Anak-anak balita jadi makin suka karena ada karakter lain selain Baba, Caca dan Yaya. Sekarang karakter boneka sudah ada tiga puluh tiga, Jaka..." kata Chika bangga seraya tersenyum manja khas Chika.

Teteh Rika pun tersenyum lega. Kali ini tidak menggoda. Jaka pun merasa lega mendengar semuanya. Tanda tanya di hatinya hilang semuanya. Sungguh ia terkesima dengan siasat Chika dan Teteh Rika.

Hari pun telah berganti senja ketika Chika dan Jaka bersiap menuju kota. Pusing kepala Chika sebenarnya tidak ada karena itu adalah bagian dari siasat Chika juga agar Jaka pergi sejenak ke apotek Kang Jaja.

Ketika Jaka ke sana, ada cukup waktu buat Teteh Rika ke rumah Chika untuk memberikan komisinya. Chika mengatakan kepada Teteh Rika tentang rencana bersama Jaka pergi ke kota. Komisi itu hendak dipakainya sebagai tambahan tabungannya untuk membeli beberapa boneka di kota.

Dari jok motor belakang, Chika mengatakan sesuatu pada Jaka,"Itu semua rahasia kita ya, Jaka..."

 Jaka tersenyum seraya mempercepat laju motornya. Lampu-lampu kota sudah mulai nampak di depan sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun