Cantik, lincah dan energik..itulah sosok Indrawati Lukman, seorang tokoh atau Maestro Tari Sunda yang namanya dikenal di dunia jagat tari di Jawa Barat, Indonesia bahkan ke mancanegara. Kiprah beliau di dunia tari khususnya tari Sunda sudah tidak diragukan lagi, bahkan Harian Kompas memberi julukan kepada beliau sebagai Penari Senior Indonesia.
Ketika penulis bertatap muka dan mewawancarai beliau dikediamannya yang sejuk dan asri di daerah Antapani-Bandung, wanita kelahiran Bandung, 1 April 1944 ini menyambut penulis dengan ramah dan senyumannya yang khas. Di usianya yang tidak muda lagi, beliau sangat antusias dan bersemangat ketika menceritakan awal karirnya di dunia tari.
“Ketika itu tahun 1955. Sebenarnya dulu saya hanya sekadar mengikuti teman-teman untuk menari, sebagai hobi saja. Pada waktu itu satu-satunya guru tari yang terkenal adalah Pak Tjetje Somantri, tempatnya di Badan Kesenian Indonesia (BKI) di Jalan Naripan Bandung. Ya, memang awalnya saya terjun ke dunia tari betul-betul hanya ikut-ikutan. Tidak tahu bahwa akhirnya di situlah bakat dan dunia saya,” ujarnya.
“Dari tahun ke tahun ketika itu saya selalu dibawa dalam berbagai pertunjukan. Sampai tahun 1957 saya pertama kali terpilih menjadi anggota misi kesenian ke luar negeri. Waktu itu ke Rusia, Cekoslowakia, Polandia, Hongaria dan Mesir. Selama 3 bulan saya harus meninggalkan sekolah, tapi memang mendapat izin karena itu merupakan sebuah misi kesenian Indonesia. Pilihan untuk menggeluti dunia tari itu berlangsung secara tak sadar. Karena terus-menerus dan juga karena hobi. Kalau saya ingat lagi ke belakang, karena hobi itulah saya asal bisa menari saja. Tidak dibayar saja saya merasa senang, dibayar sedikit juga tidak masalah dan mendapat kesempatan menari ke mana-mana. Jadi saya juga, ya, enjoy saja. Sampai suatu ketika pada tahun 1964, ada orang menawarkan saya beasiswa untuk belajar ke Amerika Serikat. Saat itu, kebetulan juga saya diminta tampil di New York World Fair. Saya berangkat ke Amerika dengan lebih dulu mengikuti program pemerintah di New York World Fair, lalu saya berangkat ke Stephen’s College atas beasiswa. Tapi beasiswa itu bukan untuk studi tari, melainkan meneruskan studi seperti yang saya pelajari semasa semester satu di Unpad, yaitu psikologi. Tapi ketika itu bahasa Inggris saya pas-pasan, dan tentu saja mendapat banyak kesulitan. Akhirnya saya memilih untuk memfokuskan diri pada studi tari. Di situlah saya merasa apa yang saya miliki bisa keluar, terutama dalam kelas koreografi. Di situlah selama dua tahun saya sempat juga mempelajari berbagai tari etnis, dari mulai tari India, Spanyol, Hawai hingga teknik modern dance Martha Graham,” urainya panjang lebar dengan penuh semangat.
Perjalanan beliau di dunia tari tidaklah semudah yang dibayangkan, hambatan dan rintangan pun sempat menyertai beliau ketika pertama kali merintis karir di dunia tari, seperti yang beliau tuturkan kepada penulis di bawah ini:
“Ya, memang dari awal, ketika saya mulai menikah..suaminya saya sempat melarang untuk terjun di dunia tari…Awalnya malah saya tidak boleh menari, dia mengatakan bahwa dia bukan artis seperti saya. Karena itu saya diminta untuk menjaga perasaannya. Dia enggak suka saya menari tapi perasaan dan jiwa saya menari terus…Setelah dia melihat saya dari tahun ke tahun selalu gelisah, suami saya menganggap memang saya tidak bisa ditahan untuk terjun di dunia tari…dia mengizinkan saya untuk mengajar dulu. Oleh karena itu saya mendirikan STI (Studio Tari Indra) dengan tujuan mengajar saja. Tapi lama-kelamaan dia melihat bahwa itulah dunia saya sampai akhirnya dia juga terjun dan terlibat. Akhirnya mendukung dalam arti positif dan saya boleh menari asal mendapat izin dari suami…dengan pegangan itu saya pegang terus…akhirnya sampai sekarang suami dan anak mendukung, malahan kalau keluar negeri ikut.”
Ibu dari satu anak yang telah mempunyai satu orang cucu ini sangat produktif dalam menciptakan tarian, setidaknya kurang lebih 30 tarian telah diciptakannya selama beliau aktif di dunia tari. Tarian yang pertama kali beliau ciptakan adalah tari Batik, beliau menuturkan kepada penulis mengenai penciptaan tari Batik ini sebagai berikut:
“Saya mulai mencoba menciptakan tarian, seingat saya judulnya “Tari Batik”, tarian diciptakan sekitar tahun 1968-1971, itu diciptakan sepulang dari Amerika, saya tidak melanjutkan sekolah, karena lebih senang meneruskan apa yang sedang saya geluti. Dari awal itulah apa yang dulu saya pelajari, saya coba masukkan ke dalam karakter tari Sunda. Karena itulah garapan-garapan saya banyak mengambil gerakan dari daerah lain dengan tetap mempertahankan roh Parahyangannya. Tapi pola geraknya saya ambil dari tradisi lain yang mungkin sepintas tidak akan terasa, tapi jika dilihat secara detail akan terasa. Salah satunya, misalnya, idiom gerak yang saya ambil dari Thailand. Saya belajar di Bangkok dua kali. Atau juga saya mengambilnya dari idiom tari Jawa dan Bali. Tapi itu bukan berarti asal mengambil begitu saja, tapi ada alasan atau ketentuan estetikanya. Jadi bukan berarti saya harus begitu saja memasukkan unsur-unsur modern dance. Saya tidak bisa, karena jiwa saya lebih ke tari-tari tradisional. Sebagai orang yang lebih dulu mendalami tari-tari tradisional, untuk lepas dari akar itu sangat sulit. Saya membuat koreografi yang tidak sulit dan mudah dimengerti oleh murid sehingga gampang ditiru, tidak hanya anak-anak tapi mahasiswa juga, kemudian dikemas dengan lagu yang sedemikian rupa agar menarik para penonton yang melihatnya.”
Ada keistimewaan yang telah melekat dimata masyarakat mengenai tarian yang beliau ciptakan, keistimewaan ini terletak di bagian busana yang dipakai para penari. Mengenai busana ini, dengan percaya diri beliau menjelaskan:
“Unsur busana dari awal..saya membuat pertunjukan itu nomor satu memang di busana…memiliki ciri khas tersendiri supaya bisa memuaskan penonton, sehingga muncul kesan dipublik bahwa karya tari saya glamor, padahal biasa saja hanya dari unsur tata cahaya yang mengakibatkan kostum menjadi lebih menarik….saya tidak melihat kaidah-kaidah yang terdapat dalam suatu warna…yang penting masih mengikuti norma-norma tari Sunda, mengikuti zaman tapi kita jangan sampai dikalahkan. Saya ingin tari tradisional yang dulu pakaiannya demikian sederhana bisa ikut dalam kekinian. Kita tidak bisa menari terus-menerus seperti zaman dulu, tapi kita juga tidak bisa menghilangkan yang dahulu itu. Yang dahulu dipelihara tapi selanjutnya kita harus membuat anak-anak sekarang menyukainya. Ketika anak-anak sekarang tidak suka, bahkan untuk melirik pun tidak mau, bagaimana dia mau belajar.”
Seperti telah dipaparkan pada tulisan di atas, bahwa beliau mendapatkan pendidikan tari ini dari seorang guru tari yang bernama Tjetje Somantri. Perlu diketahui bahwa Tjetje Somantri merupakan tokoh tari Sunda yang karya tarinya sangat digemari pada zaman Presiden Sukarno. Indrawati Lukman dengan jujur menceritakan pengalamannya kepada penulis, tatkala mendapatkan pendidikan tari bersama Tjetje Somantri:
“Saya mengenal beliau ketika saya bergabung di BKI (Badan Kesenian Indonesia). Pak Tjetje orangnya sangat low profile, tidak banyak bicara, cuma dia seorang penari yang tahu kondisi si anak, Pak Tjetje intens mengajar agar muridnya bagus, teknik menari Pak Tjetje luar biasa, ini merupakan contoh pengorbanan, dia mengajar tanpa pamrih.”
Rasa ketertarikan terhadap tari ini semakin besar ketika mengenal Tjetje Somantri, beliau kembali melanjutkan ceritanya dengan suara lirih: “Sebenarnya ketika saya mendapat pengajaran dari Pak Tjetje, banyak sekali kemudahan atau rahmat yang saya dapat dari Allah SWT melalui tari, andaikata saya tidak mengenal Pak Tjetje…tidak mungkin saya seperti sekarang ini. Saya menemukan segalanya dari beliau. Beliau suka bilang “hargailah kehidupan”, “hargailah yang kamu dapatkan”…beliau suka bilang begitu.”
Tanpa Tjetje Somantri, Indrawati Lukman bukanlah apa-apa, perjuangannya di dunia tari selama kurun waktu hampir setengah abad tentu banyak sekali suka duka dan pengalaman yang beliau dapatkan. Ketika penulis mengajukan pertanyaan: sudah 50 tahun Ibu menggeluti dunia tari. Selama itu apa yang Ibu dapatkan? nenek yang masih tampak kecantikannya itu menjawab:
“Kalau saya lihat itu, yang saya dapatkan adalah bagaimana kita menyelesaikan masalah dengan kegigihan, pengorbanan dan kerja keras..tanpa itu semua usaha kita tidak akan berhasil…dan jujur, dalam arti kata jujur pada diri sendiri dan jujur pada orang lain…Kalau pengalaman sudah jelas. Demikian juga dengan anak-anak didik dan networking. Tapi ada juga nilai tersendiri, bahwa dengan menjadi penari saya merasa kaya. Merasa kaya bukan dalam pengertian materi, tapi suatu jenis kekayaan yang kelak juga harus bisa bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Ketika saya ingin berhenti, itu tidak bisa karena saya ingin menularkan kebahagiaan saya sebagai penari pada para generasi muda. Besok lusa saya misal sudah tidak ada. Kalau saya berhenti dan saya belum memberikan apa yang saya miliki ini pada orang lain, maka semuanya akan terputus. Keindahan itu dari Allah, tapi persoalannya bagaimana kita bisa merawat dan melanjutkan keindahan itu dengan sebaik-baiknya.”
Mengenai perkembangan tari Sunda di zaman modern ini, beliau menjelaskan bahwa perkembangan tari sunda masih berjalan ditempat dan biasa-biasa saja. “Perkembangannya sih sejak dengan adanya jaipongan, saya pikir tari Sunda biasa-biasa saja yah, hidup segan mati pun tak mau, kemudian itu apresiasi masyarakat terhadap tari Sunda masih kurang..makanya ketika mereka diam, saya tidak diam. Pikiran saya selalu berputar agar bisa terus menerus mengembangkan tari Sunda.” ujarnya.
Tatap muka dan wawancara penulis dengan sang maestro ini ditutup dengan pertanyaan: Adakah pesan yang ingin ibu sampaikan untuk para penari generasi sekarang? beliau menjawab: “Yang penting dia peduli kepada kebudayaan, pesan yang disampaikan terutama kepada lingkungan akademik seperti sekolah, guru. Mereka harus mau menjadikan kesenian suatu keharusan untuk dipelajari oleh generasi muda, diarahkan untuk mencintai kesenian dan juga budi pekerti kalau budayanya ingin maju dan berkembang.”
Di usianya yang semakin senja beliau masih tetap bersemangat dalam menjaga nilai-nilai tradisi Sunda. Berbagai penghargaan dari berbagai pihak telah ia raih, penghargaan terakhir yang ia peroleh adalah Penghargaan Budaya dari Walikota Bandung Drs.H.Dada Rosada,SH,M.Si pada tanggal 25 September 2010 disaat Kota Bandung memperingati hari ulang tahunnya yang ke-200. Saat ini beliau sedang mempersiapkan studionya untuk mengikuti misi kebudayaan ke berbagai negara diantaranya Malaysia, Portugal dan Spanyol.
Sisa-sisa kecantikannya yang masih tampak sampai saat ini menyiratkan bahwa perjuangan beliau di dunia kesenian tidaklah padam. Semangat yang patut kita contoh oleh kita generasi muda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H