Seorang teman saya yang belajar Neuro-Linguistic Programming atau NLP sering mengatakan, "Satu pilihan berarti tidak ada pilihan, dua pilihan berarti dilema, tiga pilihan baru sebuah pilihan." Kemudian dia mengatakan bahwa kita harus memiliki sangat banyak pilihan untuk menjadi orang yang berdaya guna.
Logika kita mungkin dapat dengan mudah mencerna kalimat itu. Nalar kita mungkin berpikir: semakin banyak pilihan yang kita miliki, semakin besar keputusan baik yang bisa kita peroleh, dan dengan demikian kita akan lebih bahagia.
Tapi siapa yang mengira bila pemikiran "semakin banyak pilihan, semakin baik" justru terbukti salah secara empiris, melalui berbagai penelitian yang ilmiah?
Eksperimen Psikologi
Dua orang peneliti bernama Iyengar dan Lepper pada tahun 2000 melaporkan hasil eksperimen mereka.Â
Pertama, mereka bekerja sama dengan sebuah toko bahan makanan dan membuka sebuah booth untuk menawarkan selai. Para pengunjung dapat mencoba selai-selai tersebut dan kemudian mereka akan diberikan kupon belanja jika membeli selai itu.
Mereka melakukan dua percobaan pada waktu yang berlainan. Pada percobaan pertama, mereka hanya menawarkan 6 varian selai; sedangkan di lain waktu pada percobaan kedua, mereka menawarkan 24 macam selai.
Kira-kira mana booth yang lebih ramai didatangi penunjung? Booth yang menawarkan hanya 6 jenis selai atau 24 jenis selai?
Jawabannya masih sesuai dengan logika kita. Booth yang menawarkan pilihan rasa yang lebih banyak (24 varian) justru lebih ramai dikunjungi oleh pengunjung yang hendak mencicipi selai. Tetapi mind blowing-nya di sini: meskipun booth dengan 24 varian selai lebih ramai didatangi pengunjung, tetapi hanya 3% dari total pencicip yang membeli selai itu. Sedangkan booth yang menawarkan pilihan rasa yang lebih sedikit (6 varian) justru berhasil mendapatkan lebih banyak pembeli, yakni sebesar 30% dari total orang yang datang mencicipi selai.