Pembicaraan mengenai sekte-sekte ramai dibicarakan sejak kasus penemuan mayat di Kalideres. Meski saat tulisan ini dibuat (21 November 2022) polisi belum memberikan pernyataan resmi tentang penyebab kematian, tetapi orang-orang sudah memunculkan asumsi bahwa para korban merupakan pengikut sekte apokaliptik yang meyakini bahwa akhir zaman sudah dekat.
Terlepas dari benar atau tidaknya asumsi "sekte" ini, saya hendak menulis sedikit tentang sekte dan kultus dari sudut pandang psikologi.
Kasus bunuh diri massal yang cukup menarik untuk diingat adalah kasus bunuh diri sekte "Heaven's Gate" yang pernah terjadi di California. Pada tanggal 26 Maret 1997, ditemukan 39 orang mayat di sebuah rumah mewah; di mana mereka terbaring di atas kasur dengan kepala dan dada tertutup oleh kain berwarna ungu.
Setelah dilakukan pemeriksaan, mayat-mayat tersebut adalah mayat pengikut sekte "Heaven's Gate" yang meyakini bahwa akhir zaman sudah dekat, dan mereka harus membersihkan jiwa mereka dengan cara meminum racun, sehingga jiwa mereka akan dibawa ke surga.
Selain Heaven's Gate, juga ada NXIVM (baca: neksiam), sebuah sekte dengan bungkus pengembangan diri, yang pada tahun 2018 dilaporkan kepada pihak berwenang karena kasus sex trafficking. Meski tidak sampai melakukan bunuh diri masal seperti Heaven's Gate, tetapi kasus NXIVM ini sampai didokumentasikan sebagai film dokumenter oleh HBO.
Pertanyaannya, mengapa para pengikut sekte ini bisa begitu patuh kepada pemimpin dan komunitasnya, mengorbankan apa saja hingga nyawa mereka sendiri?
Tawaran Solusi atas Permasalahan Hidup
Pertama-tama kita perlu tahu dulu alasan seseorang bergabung dengan sebuah sekte atau kelompok kultus. Penelitian yang dilakukan oleh Rousselet dan rekan-rekannya (2017) menemukan bahwa sebagian besar orang bergabung dengan sekte karena mengalami permasalahan hidup yang berkepanjangan, dan berpikir bahwa sekte ini dapat membantu mereka. Nah, mari kita amati, biasanya kelompok-kelompok sekte ini memang menawarkan solusi terhadap kehidupan. Misal, beberapa tahun yang lalu muncul kehebohan tentang sekte NXIVM (baca: neksiam) yang merekrut anggota melalui modus "kursus pengembangan diri". Atau pada kasus Heaven's Gate, menjanjikan bahwa sekte ini dapat membawa kita kepada kehidupan yang lebih indah di luar kehidupan ini, membuat orang-orang yang sudah putus asa dengan kehidupannya menjadi tertarik untuk bergabung karena iming-iming kehidupan yang indah itu.
Riset yang dilakukan oleh Salande dan Perkins (2011) menemukan bahwa anggota-anggota baru pada sekte biasanya merasakan kelegaan psikologis terlebih dahulu, yang seringkali disebut sebagai fase "bulan madu" di dalam sekte. Hal ini karena pemimpin sekte meyakinkan mereka bahwa bergabung dengan sekte ini akan membantu mereka keluar dari masalahnya, baik itu melalui cara yang logis maupun tidak logis. Ingatlah bahwa mereka memang merekrut orang-orang yang sudah hampir putus asa dengan hidupnya, sehingga kadangkala mereka sudah tidak memikirkan lagi logis atau tidak logisnya suatu cara.
Selain itu, rasa kebersamaan yang ditawarkan oleh kelompok sekte juga membuat seseorang tertarik untuk bergabung. Biasanya sekte-sekte kultus ini memiliki rasa komunitas yang kuat, sehingga memberikan rasa aman bagi orang-orang yang mengalami kesepian atau pengucilan di dalam hidupnya.
Meski demikian, rasa komunitas ini sebenarnya hanyalah semu. Setelah seseorang bergabung ke dalam kelompok sekte, ia akan diminta untuk memutuskan hubungan dengan keluarganya dan hanya diizinkan untuk berinteraksi dengan sesama anggota sekte itu sendiri.
Terisolasi dari Dunia Luar
Setiap anggota sekte harus memutuskan hubungannya (atau setidaknya, meminimalkan hubungannya) dengan dunia luar, termasuk dengan keluarganya sendiri, kecuali bila anggota keluarganya juga tergabung di dalam sekte. Aturan ini merupakan strategi dari pemimpin sekte untuk membuat anggota-anggotanya tidak dapat lepas dari sekte, sebab keluarganya sendiri pun tidak dapat menyadarkannya.
Selain itu, mengisolasi anggotanya dari dunia luar juga bertujuan untuk memunculkan tekanan kepada anggotanya. Setelah bertahun-tahun terisolasi dari lingkungan di luar sekte, anggota akan berpikir berkali-kali sebelum mengajukan diri untuk keluar dari sekte, sebab mereka tidak memiliki siapa-siapa lagi selain komunitas di dalam sektenya sendiri. Kita tahu bahwa manusia sangat takut dengan kesepian dan sangat terpengaruh oleh dorongan sosial. Penelitian yang dilakukan pada mantan pengikut kelompok sekte / kultus menemukan bahwa para mantan anggota mengalami permasalahan sosial setelah meninggalkan sektenya (Coates, 2010), hal ini karena mereka canggung untuk bergabung kembali dengan dunia luar setelah putus hubungan bertahun-tahun lamanya.
Karena tidak memiliki siapa-siapa lagi selain komunitas sektenya sendiri, anggota kemudian akan sangat patuh terhadap sektenya, baik itu untuk instruksi yang masuk akal hingga yang tidak masuk akal sekalipun. Ketidakpatuhan terhadap instruksi pemimpin sekte akan menyebabkan hukuman dikucilkan di dalam komunitas, dan karena individu tidak memiliki siapa-siapa lagi selain komunitas sekte, maka hukuman pengucilan terasa sangat menakutkan. Belum lagi faktor konformitas, yakni kecenderungan seseorang untuk patuh dan mengikuti hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya. Tidak heran, penggunaan obat-obatan terlarang, hubungan seksual yang berisiko, hingga tindakan menyakiti diri menjadi lumrah di dalam sekte.
Inilah yang terjadi pada kasus sekte Heaven's Gate itu, sehingga mereka dapat melakukan bunuh diri massal dengan iming-iming kehidupan yang lebih indah setelah ini, sekalipun ide ini mungkin terdengar absurd bagi kita.
Melindungi Orang Terdekat Kita
Pertanyaan yang muncul di kepala kita barangkali adalah, "Bagaimana cara melindungi orang-orang terdekat kita agar tidak bergabung dengan sekte sesat?"
Rousselet dan rekan-rekannya (2017) menemukan bahwa keluarga dan dukungan sosial merupakan faktor pelindung seseorang untuk tidak bergabung dengan kelompok-kelompok sekte. Sekitar 23% (hampir seperempat) dari anggota sekte melaporkan bahwa mereka memiliki masalah serius di dalam keluarganya sebelum bergabung dengan sekte.
Mari kita bayangkan sejenak, salah seorang teman atau saudara kita sedang mengalami permasalahan hidup, kemudian tidak ada satupun baik dari keluarga, lingkungan kerja, atau lingkungan tempat ibadahnya yang peduli kepadanya. Kemudian di tengah kekalutan perasaannya atas kehidupan, muncullah seseorang yang sangat peduli, yang sering datang untuk menanyakan kabar dan mengajak untuk berdoa bersama. Setelah muncul rasa nyaman, barulah teman atau saudara itu diajak ikut ke sebuah perkumpulan, yang ternyata adalah sebuah sekte.
Apakah teman atau saudara kita itu akan bergabung?
Kemungkinan besar, jawabannya adalah iya. Sebab mereka sudah merasa putus asa dengan hidupnya dan tidak ada yang peduli dengannya (kalaupun ada, hanya sekadar basa-basi menanyakan kabar tanpa benar-benar menunjukkan kepedulian). Satu-satunya pihak yang menunjukkan perhatian dan kepedulian adalah anggota sekte itu. Setelah mendapatkan kenyamanan psikologis dan perhatian, tentu saja teman atau saudara kita itu akan sangat tertarik untuk bergabung.
Pembelajaran Bagi Kita
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari sekte ini?
Pertama, apakah kita sudah peduli dengan orang-orang di sekitar kita? Bila kita mengetahui ada anggota keluarga atau sahabat yang mengalami permasalahan hidup, hadirlah untuk mereka. Tunjukkan perhatian dan kepedulian, izinkan mereka menceritakan permasalahan mereka tanpa kita perlu menghakiminya. Bila kita tidak dapat membantu secara finansial, membantu secara moril sebenarnya sudah sangat membantu.
Kedua, siapkah kita menerima kembali anggota keluarga atau teman kita bila mereka berhasil lepas dari sektenya? Para mantan anggota sekte seringkali mengalami kesulitan untuk hidup normal setelah keluar dari sekte karena sudah terlalu lama menutup diri, ditambah lagi adanya stigma yang diberikan oleh orang-orang kepadanya. Apakah kita siap menerima kembali mereka dalam kehidupan kita? Ia sedang merasa rapuh dan canggung, apakah kita akan hadir dan merangkulnya, atau justru menghancurkan hidupnya (untuk kedua kali) dengan memberikan stigma dan menjauhinya karena pernah menjadi anggota sekte?
Ini merupakan permasalahan sosial dan psikologis. Pada dasarnya, manusia membutuhkan kehangatan psikologis dari sesamanya. Apakah kita akan mengabaikan orang-orang di sekitar kita yang sedang mengalami masalah dengan pembenaran "setiap orang menjalani hidupnya masing-masing", atau bersedia untuk berempati dan bersikap peduli dengan sesama?
Silakan jawab di dalam hati masing-masing, biarkan menjadi perenungan kita.
Referensi:
- Rousselet, M., Duretete, O., Hardouin, J.B., & Grall-Bronnec, M. (2017). Cult membership: What factors contribute to joining or leaving? Psychiatry Research, 257, h.27-33.
- Salanda, J.D., & Perkins, D.R. (2011). An object relations approach to cult membership. American Journal of Psychotherapy, 65(4), h.381-391.
- Coates, D.D. (2010). Post-involvement difficulties experienced by former members of charismatic groups. Journal of Religion and Health, 49, h.296-310.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H