Mohon tunggu...
Garvin Goei
Garvin Goei Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Akademisi, Penyuka Budaya

Penulis buku Psikologi Positif yang diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2021. Pengelola akun instagram @cerdasmental.id. Selain psikologi, suka mempelajari budaya dan mencoba makanan baru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Psikologi di Balik Sekte: Harapan Utopis dan Isolasi Sosial

22 November 2022   11:30 Diperbarui: 22 November 2022   11:29 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay (https://pixabay.com/photos/puppet-to-dance-toy-children-s-toys-1077694/)

Kemungkinan besar, jawabannya adalah iya. Sebab mereka sudah merasa putus asa dengan hidupnya dan tidak ada yang peduli dengannya (kalaupun ada, hanya sekadar basa-basi menanyakan kabar tanpa benar-benar menunjukkan kepedulian). Satu-satunya pihak yang menunjukkan perhatian dan kepedulian adalah anggota sekte itu. Setelah mendapatkan kenyamanan psikologis dan perhatian, tentu saja teman atau saudara kita itu akan sangat tertarik untuk bergabung.

Pembelajaran Bagi Kita

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari sekte ini?

Pertama, apakah kita sudah peduli dengan orang-orang di sekitar kita? Bila kita mengetahui ada anggota keluarga atau sahabat yang mengalami permasalahan hidup, hadirlah untuk mereka. Tunjukkan perhatian dan kepedulian, izinkan mereka menceritakan permasalahan mereka tanpa kita perlu menghakiminya. Bila kita tidak dapat membantu secara finansial, membantu secara moril sebenarnya sudah sangat membantu.

Kedua, siapkah kita menerima kembali anggota keluarga atau teman kita bila mereka berhasil lepas dari sektenya? Para mantan anggota sekte seringkali mengalami kesulitan untuk hidup normal setelah keluar dari sekte karena sudah terlalu lama menutup diri, ditambah lagi adanya stigma yang diberikan oleh orang-orang kepadanya. Apakah kita siap menerima kembali mereka dalam kehidupan kita? Ia sedang merasa rapuh dan canggung, apakah kita akan hadir dan merangkulnya, atau justru menghancurkan hidupnya (untuk kedua kali) dengan memberikan stigma dan menjauhinya karena pernah menjadi anggota sekte?

Ini merupakan permasalahan sosial dan psikologis. Pada dasarnya, manusia membutuhkan kehangatan psikologis dari sesamanya. Apakah kita akan mengabaikan orang-orang di sekitar kita yang sedang mengalami masalah dengan pembenaran "setiap orang menjalani hidupnya masing-masing", atau bersedia untuk berempati dan bersikap peduli dengan sesama?

Silakan jawab di dalam hati masing-masing, biarkan menjadi perenungan kita.

Referensi:

  • Rousselet, M., Duretete, O., Hardouin, J.B., & Grall-Bronnec, M. (2017). Cult membership: What factors contribute to joining or leaving? Psychiatry Research, 257, h.27-33.
  • Salanda, J.D., & Perkins, D.R. (2011). An object relations approach to cult membership. American Journal of Psychotherapy, 65(4), h.381-391.
  • Coates, D.D. (2010). Post-involvement difficulties experienced by former members of charismatic groups. Journal of Religion and Health, 49, h.296-310.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun