Sejarah Singkat Wirasaba sejak Era Demak, Pajang, Mataram Islam dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
Sebagian besar wilayah Banyumas dahulu merupakan daerah mancanegara dari kerajaan-kerajaan Jawa sejak Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Kartasura hingga Kasunanan Surakarta.1 Daerah ini dipimpin oleh Adipati suatu sebutan yang lazim digunakan pada masa kerajaan Demak.2 Setelah perang Jawa (Perang Diponegoro, tahun 1825-1830), Kadipaten Banyumas dilepaskan dari kekuasaan Kasunanan Surakarta dan menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tahun 1830.1 Sebelum Belanda masuk, wilayah Banyumasan disebut sebagai daerah Mancanegara Kulon dengan rentang wilayah meliputi antara Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo) sampai Majenang (sekarang masuk wilayah Cilacap).3
Sejarah Singkat Paguwan-Wirasaba
Pada zaman Majapahit di daerah Banyumas sudah terdapat suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang adipati atas daerah yang disebut Paguwan. Adipati daerah Paguwan (yang kelak juga dikenal sebagai Wirasaba) dipimpin oleh Adipati Wirahudaya yang berkuasa antara tahun 1413-1433.4Â Wirahudaya selanjutnya digantikan anak angkatnya Raden Katuhu bergelar Adipati Anom Wirahutama kelak dikenal sebagai Adipati Wirahutama I Wirasaba. Raden Katuhu adalah putra R. Baribin yang menikah dengan Ratna Pamekas. Adipati Wirahutama oleh Madjapahit dijinkan memperluas wilayah kadipaten sampai ujung timur hingga lereng barat Gunung Sindoro Sumbing di Wilayah Kedu. Daerah ini dikenal sebagai Kadipaten Wirasaba.5
 Kemudian pemerintahan Kadipaten ini diteruskan secara turun-temuran selama enam generasi adipati meliputi (1) Adipati Wira Utama (Raden Katuhu), (2) Adipati Urang, (3) Adipati Sutawinata (Surawin), (4) Adipati Sura Utama (Raden Tambangan),(5) Adipati WargaUtama I, dan (6) Adipati Warga Utama II (Adipati Mrapat) hingga pada zaman Kesultanan Pajang.4,6
Pada masa pemerintahan Sultan Pajang I, Hadiwijaya (1546 1582) ini, di Wirasaba sudah sampai pada masa pemerintahan Adipati Wirasaba VI, yaitu R. Bagus Suwarga dengan gelar R. Adipati Wargahutama I. Suatu ketika adipati wirasaba mendapat titah raja agar mempersembahkan salah seorang putrinya untuk di jadikan garwa ampean Sultan Pajang atau Pelara-lara. Rara Kartiyah dipersembahkan  oleh Adipati Wirasaba  Rara Kartiyah semasa kecilnya pernah di jodohkan dengan putra saudaranya yaitu Kyai Gede Toyareka namun  berpisah sebelum melakukan kewajiban sebagai seorang istri.7
Sultan Hadiwijaya sangat murka setelah menerima pengaduan kyai gede toyareka yang juga merupakan adik Wargahutama. Selanjutnya diutuslah  prajurit (gandek) untuk menyusul adipati wirasaba dan membunuhnya. Seteleh ki gede toyareka pergi dari pajang, sultan hadiwijoyo memanggil roro kartiyah meminta penjelasan, mendengar pernyataan roro kartiyah sultan hadiwijoyo sangat menyesal akan tindakanya tanpa penelitian, segera di perintahkan patihnya agar menyusul prajurit yang diutus membunuh adipati wirasaba agar membatalkannya.7
Tidak lama utusan sultan pajang yang di utus untuk membunuh adipati wirasaba bertemu dengan adipati wirasaba,ketika itu adipati wirasaba sedang makan , di kediaman kyai bener, duduk di serabi rumah dengan lauk nasi dan pindang angsa/banyak pada hari sabtu pahing.7 tidak lama kemudian utusan patih dari sulatn pajang tiba dan melambaikan tangan, isarat tersebut di salah artikan dan utusan pertama langsung menusukan tombak ke dada adipati wirasaba.7
Setelah kematian Adipati Warga Utama I, Sultan Pajang Adiwijaya segera memanggil putera Adipati Warga Utama I, namun tidak ada yang berani menghadap. Maka menantu Adipati yaitu Raden Joko Kaiman (suami R. Rara Kartimah) memberanikan diri untuk menghadap dengan menanggung apapun segala resikonya. Bukan amarah dan murka yang di dapat tetapi anugerah dijadikannya Adipati dengan gelar Adipati Warga Utama II.5 Selanjutnya atas kemurahan Sultan Pajang akhirnya Wirasaba dibagi menjadi empat yaitu :
1. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Ngabei Wirayuda.
2. Wilayah Merden diberikan kepada Ngabei Wirakusuma.