Mohon tunggu...
Garin Nanda
Garin Nanda Mohon Tunggu... Freelancer - @garinnanda_

Mengemas sebuah cerita jadi lebih bermakna.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Brilian! Begini Cara Udinese Tingkatkan Pamor Klub

13 Mei 2023   11:40 Diperbarui: 13 Mei 2023   19:45 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: UEFA.com

Pada gelaran Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, ada salah satu klub asal Italia yang mencuri perhatian. Adalah Udinese yang mengirim tidak kurang dari delapan pemain di enam negara berbeda. 

Pemain yang dimaksud adalah Samir Handanovic (Slovenia), Mauricio Isla (Chili), Aleksandar Lukovic (Serbia). Gokhan Inler (Swiss), Simone Pepe (Italia), Kwadwo Asamoah (Ghana), Alexis Sanchez (Chili) dan Antonio Di Natale (Italia)

Pemandangan itu sejatinya akan terasa wajar ketika Udinese berstatus sebagai tim besar dan rutin tampil di ajang Liga Champions Eropa. Akan tetapi faktanya mereka adalah tim biasa saja yang pada kompetisi Serie A musim 2009/10 hanya menempati posisi ke 15.

Pertanyaan kemudian muncul, bagaimana tim seperti Udinese bisa menghasilkan banyak pemain potensial, yang layak tampil di ajang sekelas Piala Dunia?

Cara Udinese Dapatkan Bakat Berkualitas

Dahulu, Udinese merupakan tim dengan finansial buruk. Mereka benar-benar terpuruk karena terlibat dalam sebuah skandal pengaturan skor. Kemudian pada tahun 1986, untuk menyelamatkan klub, keluarga Pozzo hadir dengan membeli Udinese. 

Perlahan tapi pasti, Udinese dijadikan sebagai tim yang lebih baik. Meski tak benar-benar bisa menjadi tim yang dominan dari segi prestasi, setidaknya mereka selalu rutin kumpulkan bakat terbaik untuk kemudian dijual kembali. 

Ya, seperti itulah cara Udinese bertahan di tengah kerasnya persaingan sepak bola Italia bahkan Eropa.

Yang diminta keluarga Pozzo sederhana. Mereka menugaskan para staf mencari pemain, membelinya dengan harga murah, dan menjualnya dengan harga mahal. 

Dari situ mereka berhasil menstabilkan finansial dan bahkan berhasil menaikkan reputasi sebagai tim yang juga mengedepankan bisnis melalui pemain muda.

Untuk bisa mengembangkan dan menjaga itu semua, cara yang dilakukan terbilang luar biasa. Udinese, selain menyebar pencari bakat ke seluruh dunia, juga memanfaatkan kecanggihan teknologi guna memantau kualitas seorang pemain. 

Menurut pernyataan yang diungkapkan oleh kepala pemandu bakat Udinese, Andrea Carnevale, klub bisa menonton semua liga, pemain, dan pertandingan di seluruh dunia.

Sebelum perkembangan teknologi lebih maju seperti sekarang, dia mengatakan kalau ada sekitar 10 hingga 15 monitor yang merekam banyak pertandingan di dunia, di mana itu kemudian akan tertuang dalam sebuah kaset VHS besar sebelum beralih ke DVD. 

Dari situ, rekaman kemudian dibawa ke lab khusus milik klub dan akan dianalisis oleh para pemandu bakat, seperti Gerolin dan Geronimo Barbadillo, yang menurut Carnevale merupakan dua sosok sangat berjasa bagi klub.

Staf yang bertugas untuk menganalisa pemain akan bekerja dengan setumpuk kaset hasil rekaman pertandingan, dan akan menekan tombol play, stop, rewind, dan play lagi. 

Menurut kisah yang diungkapkan oleh Direktur Teknik klub, Pierpaolo Marino, cara itu berhasil membuat Udinese mendapatkan bakat berkualitas seperti David Pizarro dari Chili pada tahun 1999.

Pierpaolo Marino menambahkan bila tumpukan kaset yang berisi rekaman pertandingan itu hanya digunakan sebagai alat pendukung, agar klub lebih yakin dalam melakukan pemantauan. 

Dia mengatakan kalau dahulu klub sepak bola membutuhkan biaya yang sangat mahal untuk menjangkau setiap pertandingan yang tersebar di seluruh belahan bumi. 

Maka, cara tersebut disebutnya sebagai langkah kompetitif dari Udinese untuk menjadi tim yang unggul dalam menemukan bakat seorang pemain pada saat itu.

Dalam mendapatkan bakat di luar Italia, Udinese biasanya lebih sering menjangkau pemain-pemain yang bermukim di Amerika Selatan. Itu terjadi karena banyak pemain di sana yang memiliki keturunan Italia. Jadi, Udinese tidak kesulitan ketika harus mendaftarkan pemain-pemain tersebut ke dalam tim.

Saat ini, klub sudah menggunakan teknologi Wyscout untuk memantau pemain-pemain berkualitas. Wyscout sendiri merupakan bank data digital yang berisi detail sejumlah pesepak bola top terkait performa mereka. Dengan mengetahui gaya bermain, pelatih bisa merancang strategi dan formasi yang sesuai dengan pemain.

Setelah berhasil mendapatkan bakat-bakat berkualitas, Udinese akan bekerja keras dalam membentuk pemain tersebut. 

Mulai dari karakter hingga skill, mereka benar-benar jujur dan bertanggung jawab dalam melakukan itu semua. Udinese diketahui telah menyiapkan psikolog dan guru bahasa untuk membantu proses adaptasi pemain.

Selain itu, menurut penuturan mantan pemain Udinese, Marcio Amoroso, Le Zebrette juga telah berhasil menjalin hubungan yang baik dengan seluruh pemain. 

Klub telah memberi tempat tinggal dan semua yang dibutuhkan pemain. Hal itu dipertegas dengan pernyataan koordinator pemasaran strategis Udinese, Magda Pozzo, yang berbunyi,

"Kami sangat mementingkan keluarga,"

"Pada istri dan anak-anak para pemain. Kami memiliki restoran yang buka setiap hari dan mereka dipersilakan untuk makan di sana," ucap Magda.

Aroma kekeluargaan yang begitu erat kian tergambar jelas setelah mantan pemain mereka, Rodrigo de Paul, juga mengatakan hal yang sama.

"Tidak mudah untuk pergi. Seiring waktu Anda menjadi bagian dari keluarga. Klub memberi Anda segalanya bahkan hal yang paling sederhana sehingga pesepakbola seperti saya hanya perlu memikirkan sepak bola,"

"Ada sekelompok besar orang di sini. Ini adalah kota kecil tapi cantik. Para penggemar berada tepat di belakang Anda. Ini adalah tempat yang indah. Klub selalu selangkah lebih maju."

Dengan munculnya fakta lain bahwa klub tidak membebani setiap pemain untuk meraih gelar tertentu, banyak kemudian bakat muda yang tertarik untuk bergabung dengan Udinese. 

Dari situ, klub kemudian sukses menghasilkan pemain-pemain berbakat nan berkualitas lainnya seperti, Martin Jorgensen, Marek Jankulovski, David Pizarro, Per Kroldrup, Asamoah Gyan, Stefano Mauri, Morgan De Sanctis, Vincenzo Iaquinta, Sulley Muntari, Tomas Sivok, Andrea Dossena, Fabio Quagliarella, dan Roman Eremenko.

Dalam setidaknya sepuluh tahun terakhir, nama Juan Cuadrado, Medhi Benatia, Antonio Candreva, Alex Meret, Piotr Zielinski, sampai Bruno Fernandes, juga merupakan pemain yang pernah berkembang bersama Udinese.

Untuk keuntungan yang didapat dari merawat pemain, dalam sepuluh tahun terakhir menurut situs Planet Football, Udinese telah berhasil mendapatkan sebesar 242 juta pounds atau lebih dari 4,3 triliun rupiah.

Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, filosofi klub tidak berubah, bahkan ketika manajer dan direktur sepak bola berbeda datang dan pergi. Udinese adalah korban dari jalan suksesnya sendiri. 

Ketika ada pemain, pelatih, bahkan eksekutif, pergi ke tempat yang dianggap lebih baik, mereka tetap meninggalkan keuntungan besar bagi klub. Ada uang yang dibayarkan, dan akan kembali dikelola menjadi sesuatu yang jauh lebih besar.

Berinovasi dengan Cara Lain

sumber gambar: UEFA.com
sumber gambar: UEFA.com

Tidak hanya mampu membangun reputasi terbaik dengan para bintang muda, Udinese juga sukses membangun citra positif dengan sejumlah inovasi, termasuk membangun stadionnya sendiri. 

Udinese telah mengubah perspektifnya dan memulai model bisnis baru dari stadion. Setelah berhasil mendapatkan jaminan kepemilikan stadion dari pemerintah setempat, dan "menjualnya" ke Dacia, produsen mobil asal Rumania pada tahun 2016 silam, Udinese mencoba membangun suasana baru di markas mereka.

Klub terus berusaha untuk meningkatkan ketertarikan para penggemar terhadap stadion. Maka dari itu, mereka menjamin pemandangan yang bagus dari tribun, dan atap yang menutupi seluruh stadion. Kemudian mereka juga menyediakan makanan dan minuman yang berkualitas.

Dengan dukungan Dacia, Udinese telah menjadikan stadion mereka lebih dari sekadar tempat menonton sepak bola.  

"Kami berkumpul dengan Dacia sebelum peresmian stadion dan kami berdua memutuskan bahwa kami ingin memiliki stadion yang inovatif dan hemat biaya. Di Italia, stadion dianggap sebagai tempat pertandingan dan kami tidak menginginkan itu,"

""Kami menciptakan konsep baru yang kami sebut 'clubhouse', seperti di golf, karena kami merasa bahwa kami harus melampaui konsep stadion yang hanya diperuntukkan bagi pertandingan sepak bola." ujar Magda Pozzo.

Strategi lain yang dilakukan untuk menggaet lebih banyak pengunjung adalah dengan memutuskan untuk menurunkan harga tiket.

Strategi itu pun sukses besar, dan membuat pemegang tiket musiman Udinese terus meningkat setiap musimnya. 

Perlu diingat bahwa dalam menjual tiket, Udinese juga menyediakan paket berupa kamar hotel dan juga fasilitas konsumsi, yang kebanyakan ditujukan kepada penggemar di luar wilayah Udine.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun