Pada gelaran Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, ada salah satu klub asal Italia yang mencuri perhatian. Adalah Udinese yang mengirim tidak kurang dari delapan pemain di enam negara berbeda.Â
Pemain yang dimaksud adalah Samir Handanovic (Slovenia), Mauricio Isla (Chili), Aleksandar Lukovic (Serbia). Gokhan Inler (Swiss), Simone Pepe (Italia), Kwadwo Asamoah (Ghana), Alexis Sanchez (Chili) dan Antonio Di Natale (Italia)
Pemandangan itu sejatinya akan terasa wajar ketika Udinese berstatus sebagai tim besar dan rutin tampil di ajang Liga Champions Eropa. Akan tetapi faktanya mereka adalah tim biasa saja yang pada kompetisi Serie A musim 2009/10 hanya menempati posisi ke 15.
Pertanyaan kemudian muncul, bagaimana tim seperti Udinese bisa menghasilkan banyak pemain potensial, yang layak tampil di ajang sekelas Piala Dunia?
Cara Udinese Dapatkan Bakat Berkualitas
Dahulu, Udinese merupakan tim dengan finansial buruk. Mereka benar-benar terpuruk karena terlibat dalam sebuah skandal pengaturan skor. Kemudian pada tahun 1986, untuk menyelamatkan klub, keluarga Pozzo hadir dengan membeli Udinese.Â
Perlahan tapi pasti, Udinese dijadikan sebagai tim yang lebih baik. Meski tak benar-benar bisa menjadi tim yang dominan dari segi prestasi, setidaknya mereka selalu rutin kumpulkan bakat terbaik untuk kemudian dijual kembali.Â
Ya, seperti itulah cara Udinese bertahan di tengah kerasnya persaingan sepak bola Italia bahkan Eropa.
Yang diminta keluarga Pozzo sederhana. Mereka menugaskan para staf mencari pemain, membelinya dengan harga murah, dan menjualnya dengan harga mahal.Â
Dari situ mereka berhasil menstabilkan finansial dan bahkan berhasil menaikkan reputasi sebagai tim yang juga mengedepankan bisnis melalui pemain muda.