Mohon tunggu...
Luqman Abdul Chalik
Luqman Abdul Chalik Mohon Tunggu... -

tinggal di Bandung, suka barang-barang antik

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Meniti Jalur Kiri (4)

5 Mei 2013   13:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:04 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mendengarkan, bersungguh-sungguh, berharap dia melanjutkan komentarnya. Aku lihat Ustadz Hafidzin menyapukan saputangan pada wajah keheranannya.

Seperti diberanikan, seniorku itu melanjutkan:

“Rupa-rupanya banyak diantara buku-buku terbitan anti Orde Baruyang kekiri-kirian itu itu sudah kau baca dan pelajari”. Kang Hafidin, si ketombe buku yang bacaannya jauh lebih menumpuk daripadaku.

“Tidak, Kang,”

“ Tidak? Nah, itu sebabnya pandangan kau terhadap hidup terlalu berat, tepat seperti si Minke-nya Pramoedya. Kau terlalu serius untuk remaja dewasa seusiamu. Kalau kau membacai pengarang populer macam di majalah Hai itu, pandangan kau mungkin masih bisa berubah, tidak seberat batu megalitikum begini.”

“Aku juga suka tokoh Lupus. Jadi tulisan ini kurang bagus?” tanyakupenasaran.

“Bagus, bagus sekali. Tentang cara bertutur dan alur ceritanya lumayan. Namun, aku bicara tentang pandangan kau tentang hidup ini. Tanpa humor, tanpa canda”

“Aku hanya ingin ‘menjadi orang lain’ lewat tulisanku” kataku membela diri.

“Aku tak menampik hal itu. Cobalah baca karya yang lebih populer.Cerita yangringan, tidak seberat pikulan satu ton di pundakmu”.

Aku tak mau berdebat. Kehidupan akan tetap berjalan tanpa dan dengan debat. Aku kembali kepada kegiatan paling banyak: membaca dan berkhayal.

Semua bacaan itu mengajarkanku tentang diriku di tengah lingkungan aneka ragam. Sebuah dunia besar dengan arah yang berubah-ubah. Yang tetap hanya perubahan itu sendiri kata orang bijak. Berkaca pada semua itu terasa diri harus berusaha keras beradaptasi, kalau tidak mau dimakan zaman.

Beginilah semua tulisanku, kususun dengan caraku sendiri.

---- o0o ----

1985

Kereta meluncur seperti pelangi turun dari kayangan. Meliuk mengikuti huruf S . Kulihat selintas, ada rumah kecil bertuliskan Lebak Jero + 818. Sebuah stasiun kecil dengan pemadangan latar belakang gunung, kanan bukit, dan kiri pesawahan membentang kuning dan hijau. Namun, Masinis seperti tidak hendak mengurangi kecepatan kereta.Tiba-tiba sajakeretamelandai menuju pesawahan yang baru dipanen. Orang sibuk memukul-mukul padi, mengguncang-guncang boneka tali boneka sawah. Sebagian bersantai di saung-saung.Di persimpangan rel dengan jalan aspaltertulis Kadungora. Siapa yang memberi daerah itu? OrangSolo, tetanggaku ketika di Sekolah Menengah Pertama sering mengolok-olok temennya, temenku juga, yang berasal dari Kadungora. Bagi temenku yang orang Jawa itu, istilah Kadungora yang artinya durian muda tidak dia mengerti. ‘Kadung-ora’ lebih dia pahami. Terlanjur tidak, katanya sambil tertawa. Aku jadi tersenyum sendiri. Mungkin ada benarnya juga kata orang Solo itu, soalnya aku tidak menemukan stasiun Kadungora, yang ada hanya stasiun Leles. Padahal letak stasiun itu lebih dekat ke Kadungora daripada Leles yang jaraknya beberapa kilometer dari situ. Mungkin bagi PT KAI nama Leles lebih komersil ketimbang Kadungora . Atau sudah terlanjur ‘kadung-ora’ , ya sudah Leles saja.

Haryoto Kunto, seorang ahli sejarah Bandung,memberitahukan: bintang-bintang Eropa terkenal pernah berkunjung ke daerah Priangan, terutama Garut. Haryoto Kunto, yang namanya tidak menunjukkan orang Jawa Barat itumencatat dalam bukunya: tanah Cibatu ini pernah disinggahi Komedian LegendarisCharlie Chaplin pada tahun 1927 bersama teman wanitanya, aktris Mary Pickford.Juga, Georges Clemenceau, perdana mentri Perancis dua periode yakni 1906-1909 dan 1917-1920 pernah menikmati alam kota Garut dan menginap di hotel berbintang saat itu. Pada era kolonial Belanda, Stasiun Cibatu merupakan stasiun primadona karena menjadi tempat pemberhentian wisatawan Eropa yang ingin berlibur ke daerah Garut.

Dalam buku Seabad Grand Hotel Preanger 1897-1997 Si Kuncen Parahiangan ini menulis bahwa antara tahun 1935-1940 setiap hari di stasiun Cibatu diparkir selusin taksi dan limousine milik hotel-hotel di Garut.Hotel yang sampai sekarang masih berdiri sebut saja: Hotel Papandayan, Villa Dolce, Hotel Belvedere, Hotel Van Hengel, Hotel Bagendit, Villa Pautine, dan Hotel Grand Ngamplang. Seluruh Garut, adalah primadona . Tuhan menciptakan alam Priangan sambil tersenyum.

Kereta berhenti beberapa menit di Cibatu. Stasiun ini cukup ramai. Perempuan setengah bayanya masihberkebaya, laki-lakinya berpeci hitam dan bersarung. Melihat pria berpeci, aku membayangkan Ir Soekarno berpidatodengan semangat setahun setelah kemerdekaan Indonesia, tahun 1946. Berkunjung ke Cibatu salah satu rangkaian touring perjalanan menggunakan kereta api luar biasa melalui jalur selatan. Sepanjang perjalanan tersebut, rakyat di kota-kota kecil meminta Soekarno untuk turun di setiap stasiun (termasuk stasiun Cibatu) dan berpidato.

“Bung Karno pernah berpidato di Cibatu? Benarkah?” aku membuka pembicaraaan kembali dengan Kang Hafidin.

“Ya dia provokator kemerdekaan Republik ini”, jawabnya acuh.

“Maaf, provokator atau proklamator?” Aku keheranan.

“Si Bung yang kamu kagumi itu menyabot hak proklamasi dari panitia sembilan yang sudah dibentuk resmi oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia”. Jawabnya dingin. “Kalau setiap orang bisa mengatasnakaman bangsa Indonesia, Si Dadap dan Si Waru bisa mengatasnnamakan juga. Kau, tahu Bung Karno dan Bung Hatta-mu itu mau saja dicocok hidungnya oleh pemuda-pemuda komunis”.

“Tapi, bukankah itu sudah terjadi dan kita menikmati kemerdekaan proklamasi Agustus ’45 sampai hari ini?” jawabku.

“Hai Luke, seorang anak yang lahir dari perkawinan yang sah boleh diakui sebagai anak, tapi anak yang lahir dari hasil perzinaan tak bisa diakui secara hukum apapun, apalagi hukum Islam”.

“Maksud akang apa?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun