---buat Cak Lontong dan teman-teman
Pramono Anung adalah mockingjay. Dan kita jadi ingat negeri fiksi bernama Panem, dimana ketakutan dipelihara dan demokrasi cuma akal-akalan prosedur dan cenderung banci.
Kita ingat film berseri itu. Mockingjay. Dengan sosok utama bernama Katniss Everdeen (yang diperankan sangat cemerlang oleh Jennifer Lawrence). Katniss yang malang harus hidup diantara situasi yang keram dan capek. Capitol berkuasa, dan secara rutin menggelar Hunger Games, ajang survival sadis dan bunuh-membunuh yang disiarkan secara langsung. Untuk menghibur yang berkuasa, dan menakuti siapa saja yang hendak melawan..
Dan Katniss harus menggantikan adik tersayangnya Prim sebagai peserta. Bermodal kemampuan memanah dan welas asih, Katniss berangkat mewakili Distrik 12 bersama Peeta Mellark. Dan meninggalkan orang-orang tersayang.
Pada ajang itu Katniss harus menemui banyak dilema. Hidup dan mati terkadang sebuah pilihan sengit. Tapi tak terlalu mengapa baginya. Ketika drama saling membunuh dan dera cobaan datang, Katniss mampu bertahan. Dan menaruh cinta yang samar kepada Peeta Mellark..
Sampai akhirnya mereka berdua berhasil menang. Dan menyentuh hati seluruh negeri Panem.
Sebab Panem sendiri adalah sebentuk kekuasaan yang capek. Presiden Snow gemar manggung di layar tivi, namun sejatinya kosong. Pemerintah hidup dari pajak tinggi dan instrumen negara seperti peacekeepers menusuk-nusuk rakyat dengan rasa takut pada bedil. Kekuasaan seperti mengabdi pada sosok. Negara cuma kepanjangan tangan dari kehendak perseorangan. Komunikasi publik adalah bahasa lain dari titah.
Maka jengah jadi sindroma yang merambat diantara rakyat. Mereka tidak mau diam lagi. Mereka melawan. Dan menemukan Katniss sebagai simbol perlawanan itu.
Tapi dimana ada sebuah kekuasaan yang macet, akan ada yang menubruk dan membuatnya jadi lurus. Pada kisah ini, Alma Coin naik layar. Dia membentuk koloni perlawanan --Distrik 13-- dan bergerilya melawan Capitol. Katniss sebagai pemuka perlawanan, bergabung dalam gerilyawan ini. Ia diperkenalkan sebagai simbol utama perlawanan --Mockingjay-- sebuah burung rekaan hasil kawin silang tak sengaja burung jabberjays yang dibentuk Capitol sebagai mata-mata dan mockingbird. Mockingjay adalah simbol: Ia bisa menirukan suara rakyat, namun tidak melaporkan pada Capitol. Mockingjay adalah spesies lain dari rasa tunduk.
Dan Katniss sebagai Mockingjay, bertumbuh dari waktu ke waktu sebagai perlawanan itu sendiri..
Sampai ketika babak akhir dimana gerilyawan yang dipimpin Alma Coin mampu merangsek Capitol, dan menangkap Presiden Snow.
Akhir cerita tidak tertebak. Mockingjay yang diberi kesempatan final untuk membunuh Presiden Snow yang jadi pesakitan politik, justru bertindak diluar skenario yang lempang. Mockingjay ini menarik panahnya, dan menghujamkan pada Alma Coin. Serta membiarkan rakyat mengeruyuk Presiden Snow yang tumpas..
Untuk apa? Untuk demokrasi. Mockingjay tahu keterbelahan politik antara kubu Presiden Snow dan Alma Coin hanya silat kaki dan usap-usap udara. Politik sering kotor karena memuat kepentingan orang kuat, dan abai pada nalar publik. Mockingjay memilih bersetia pada nalar publik itu..
Praktis dari gambaran kisah Mockingjay, yang sebenarnya disadur dari buku laris karya Suzanne Collins, dan dibuat sekuel film oleh sutradara Francis Lawrence, kita tahu apa itu "nalar publik".
Tak ubahnya dengan Panem, Indonesia juga sebuah negeri dimana demokrasi cuma akal-akalan dan elit sering lebih diktator daripada Presiden Snow. Presiden Snow mungkin hanya menakuti rakyat dengan bedil peacekeepers. Tapi disini, dimana keadilan politik mulai lelah dicari, rakyat dibuat mencong sendiri. Elit ramai-ramai berkubu untuk memenangkan calon yang bisa mereka kendalikan sendiri. Dalam kasus Pilkada Jakarta, hal tersebut nyata terlihat dalam pencalonan Ridwan Kamil & Suswono.
Semua partai politik diikat --mungkin dengan sedikit keterpaksaan-- untuk mendukung pasangan ini, meninggalkan PDI Perjuangan sendirian. Bahkan diciptakan calon boneka untuk "seolah-olah" melawan calon gigan ini.
Tapi keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 membuyarkan skenario ini. PDI Perjuangan bisa mencalonkan sendiri dalam Pilkada Jakarta. Setelah sekian drama pencarian talenta yang tepat berlangsung, publik kembali terhenyak. PDI Perjuangan menugaskan Pramono Anung dan Rano Karno sebagai pasangan calon yang bertarung.
Melawan pasangan calon gigan dan lainnya.
Tak ada yang mengira. Sosok Pramono Anung sebagai politisi kawakan mampu merangkak naik dalam soal elektabilitas. Pada masa awal elektabilitasnya hanya berkutat di 28%. Namun hingga akhir masa kampanye, Pramono-Rano justru unggul dengan 42,9%.
Disinilah "nalar publik" mulai mendapatkan tempatnya kembali. Diantara lanskap politik yang capek, dimana pilihan Gubernur lebih erat didominasi oleh kepentingan elit tinimbang pesta rakyat yang sebenarnya, rakyat bisa "menghukum" agenda terselubung dengan cara-cara mereka sendiri.
Tak ubahnya seperti Hunger Games, Pramono Anung adalah mockingjay. Dia lempang saja. Ketika semua bercericit tentang agenda-agenda besar tak masuk akal, Pramono bicara hal sederhana. Ketika orang ramai bikin inovasi kata-kata, Pramono justru bicara untuk meneruskan yang ada. Tak ada yang artifisial. Semuanya serba sederhana. Dan publik jadi bersimpati.
Publik merasa bahkan main-main silat kaki ringan, kata-kata kampanye yang seperti mengecat langit, tidak lagi menyentuh pilihan hati mereka. Publik jengah dengan desain-desain politik elit. Dan mereka hendak melawan.
Simbolnya adalah Pramono Anung sebagai mockingjay.
Dan Jakarta, tidak pernah mudah dikendalikan oleh siasat elit-elit. Mockingjay mungkin cuma sebuah simbol. Pramono Anung juga cuma sebuah simbol. Tapi perlawanan  terhadap akal-akalan ini tidak bisa berhenti.
Mockingjay memang cuma symptom. Tapi demokrasi tidak. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H