Akhir cerita tidak tertebak. Mockingjay yang diberi kesempatan final untuk membunuh Presiden Snow yang jadi pesakitan politik, justru bertindak diluar skenario yang lempang. Mockingjay ini menarik panahnya, dan menghujamkan pada Alma Coin. Serta membiarkan rakyat mengeruyuk Presiden Snow yang tumpas..
Untuk apa? Untuk demokrasi. Mockingjay tahu keterbelahan politik antara kubu Presiden Snow dan Alma Coin hanya silat kaki dan usap-usap udara. Politik sering kotor karena memuat kepentingan orang kuat, dan abai pada nalar publik. Mockingjay memilih bersetia pada nalar publik itu..
Praktis dari gambaran kisah Mockingjay, yang sebenarnya disadur dari buku laris karya Suzanne Collins, dan dibuat sekuel film oleh sutradara Francis Lawrence, kita tahu apa itu "nalar publik".
Tak ubahnya dengan Panem, Indonesia juga sebuah negeri dimana demokrasi cuma akal-akalan dan elit sering lebih diktator daripada Presiden Snow. Presiden Snow mungkin hanya menakuti rakyat dengan bedil peacekeepers. Tapi disini, dimana keadilan politik mulai lelah dicari, rakyat dibuat mencong sendiri. Elit ramai-ramai berkubu untuk memenangkan calon yang bisa mereka kendalikan sendiri. Dalam kasus Pilkada Jakarta, hal tersebut nyata terlihat dalam pencalonan Ridwan Kamil & Suswono.
Semua partai politik diikat --mungkin dengan sedikit keterpaksaan-- untuk mendukung pasangan ini, meninggalkan PDI Perjuangan sendirian. Bahkan diciptakan calon boneka untuk "seolah-olah" melawan calon gigan ini.
Tapi keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 membuyarkan skenario ini. PDI Perjuangan bisa mencalonkan sendiri dalam Pilkada Jakarta. Setelah sekian drama pencarian talenta yang tepat berlangsung, publik kembali terhenyak. PDI Perjuangan menugaskan Pramono Anung dan Rano Karno sebagai pasangan calon yang bertarung.
Melawan pasangan calon gigan dan lainnya.
Tak ada yang mengira. Sosok Pramono Anung sebagai politisi kawakan mampu merangkak naik dalam soal elektabilitas. Pada masa awal elektabilitasnya hanya berkutat di 28%. Namun hingga akhir masa kampanye, Pramono-Rano justru unggul dengan 42,9%.
Disinilah "nalar publik" mulai mendapatkan tempatnya kembali. Diantara lanskap politik yang capek, dimana pilihan Gubernur lebih erat didominasi oleh kepentingan elit tinimbang pesta rakyat yang sebenarnya, rakyat bisa "menghukum" agenda terselubung dengan cara-cara mereka sendiri.
Tak ubahnya seperti Hunger Games, Pramono Anung adalah mockingjay. Dia lempang saja. Ketika semua bercericit tentang agenda-agenda besar tak masuk akal, Pramono bicara hal sederhana. Ketika orang ramai bikin inovasi kata-kata, Pramono justru bicara untuk meneruskan yang ada. Tak ada yang artifisial. Semuanya serba sederhana. Dan publik jadi bersimpati.