"Arjuna yang ku kasihi. Aku lihat Amba. Dia seperti datang menjemputku. Senyumnya seperti menyongsongku. Aku tahu dia akan datang. Aku tidak pernah sedalam ini hanyut dalam penyesalan. Ku ambil dirinya setelah sayembara. Ku renggut ia dari cintanya pada Salwa. Dan ia kini datang membalas. Aku harus menerima."
"Memang aku sudah hidup terlalu lama. 7 generasi Hastinapura aku dampingi, dan ku rasa tak putus cintaku pada negeri yang ku cinta ini. Tapi bukan seorang ksatriya juga akan pergi? Yang berbeda hanya caranya. Aku menuntaskan dharmaku Arjuna, meski harus melewati malapetaka ini. Tapi Amba datang menjemputku. Aku tidak bisa bilang tidak untuk cinta itu" ucap Bhisma.
Dan waktu matahari memberat ke barat, perang diskorsing 1 hari. Bhisma, mahaguru itu, harus dimakamkan dengan layak. Cinta Amba yang menggantung tidak.
Sekali lagi aku bertanya, apakah Amba hanya sebuah kisah hidup yang sentimentil? Nasib tidak selurus wajah cantiknya. Apakah layak seorang yang dilukai cinta dan tekun mengejar kepastian --mati sia-sia?
Apakah hukum karma cukup adil? Amba seperti tak peroleh apapun. Bahkan harap terakhirnya --cinta bersambut dari Bhisma---tak juga datang, kalah oleh dharma hidup selibat yang tak berperkara?
Amba memang sentimentil. Dan kita semua bukan Maharsi Bhisma. Kita harus memilih, meskipun kadang harus jatuh pada keadaan-keadaan yang subtil. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H