Mohon tunggu...
Gatot Pramono
Gatot Pramono Mohon Tunggu... -

Tinggi badan 168 cm, berat 70 kg

Selanjutnya

Tutup

Money

Untuk Tutupi Buruknya Pemerintahanya, SBY beri 7 Catatan Negatif Pemerintahan Jokowi

12 Juni 2016   23:49 Diperbarui: 13 Juni 2016   00:06 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

JAKARTA, —Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono beberapa kali memberikan catatan “negatif” terhadap pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
 Dari kegiatan silaturahim kader Partai Demokrat di kediaman SBY di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/6/2016) SBY memberikan tujuh catatan kritis kepada pemerintahan Jokowi.

 Presiden keenam RI itu mengatakan, kondisi ekonomi yang lemah berimplikasi terhadap pertumbuhan yang rendah. Kondisi tersebut juga berdampak negatif terhadap pendapatan dan daya beli masyarakat.

 “Ketika ekonomi Indonesia melemah, perekonomian dunia dan kawasan juga memiliki pelemahan pertumbuhan. Artinya, pemerintah harus sangat serius dan tepat di dalam mengelola perekonomian kita," kata SBY.

 SBY juga menyoroti turunnya daya beli masyarakat. Berdasarkan data statistik, kata dia, terjadi penurunan pendapatan per orang dari 2014 ke 2015 sebesar Rp 2.150.000.

 "Tahun 2016 ini bisa lebih rendah lagi. Sementara di lapangan tercermin juga menurun tajamnya pembelanjaan masyarakat,” ujarnya.

Ciri SBY selalu memuji – muji pemerintahanya dan membanding – bandingkan dengan pemerintahan  Joko Widodo – Jusuf Kalla. Sebenarnya, apa yang terjadi pada pemerintahan saat ini adalah tidak terlepas dari kinerja 10 tahun pemerintahan SBY.

 Bila di lihat situasi perekonomian Indonesia sekarang ini tentunya SBY adalah salah satu pihak yang berkontribusi karena permasalahan ekonomi saat ini tidak lepas dari warisan SBY.

 Bila kita menoleh kebelakang masalah tingginya harga daging sudah ada pada era pemerintahan SBY. Masalah PHK, menurunya daya beli masyarakat itupun sudah terjadi saat pemerintahan SBY.

Pengamatan saya saat SBY naik kursi pemerintahan di 2004 nilai tukar rupiah berkisar pada Rp. 8,000.-/USD dan ketika 2014 SBY akan menyerahkan pemerintahan ke Joko Widodo nilai tukar rupiah sudah mendekati angka Rp. 13,000.-/USD

Harga beras super saat 2004 Rp. 1,800.-/kg dan di tahun 2014 sudah mencapai Rp. 12,000.-/kg, begitu juga harga bahan pokok lainya. Memang UMR dan UMK naik tetapi tetap saja tertinggal jauh oleh kenaikan harga bahan pokok.

Kebijakan pemerintahan SBY lebih banyak instan sehingga tidak menyelesaikan masalah. Contoh yang paling gamblang BLT (bantuan langsung tunai), apakah ada efek positif untuk jangka panjang terhadap perekonomian masyarakat kita.

Belum lagi hutang Negara yang meningkat tajam, di 2004 saat SBY mulai memimpin pemerintahan hutang luar negeri (kalau tidak salah) Rp. 658T dan saat SBY lengser di 2014 sudah menjadi lebih dari 3,000T. Ini pasti sangat besar pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia. Mungkin beberapa efek positif tetap ada tetapi bila hutang hanya untuk BLT, apalagi dibagikan saat menjelang pemilu 2009, kesanya itu untuk beli suara saja.

Saya kira tidak sesederhana dan semudah itu memberikan catatan negatif ke pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Akibat akumulasi kebijakan pemerintahan SBY yang cenderung instan dan tidak menyelesaikan masalah, seperti penambahan hutang luar negeri adalah beban yang harus ditanggung rakyat, program Bantuan Langsung Tunai tidak menciptakan terbukanya lapangan kerja.

Beberapa kebijakan Joko Widodo sangat efektif atasi masalah. Contoh sederhana masalah BBM. Dulu di setiap daerah selalu kekurangan BBM sehingga selalu terjadi antrian di SPBU. Pemilik kendaraan pribadi dipaksa untuk meng konsumsi Pertamak untuk mobilnya tetapi itu tidak pernah bisa terlaksana. Beda sekarang sangat jarang ada antrian di SPBU dan pemakai sepeda motor pun dengan kesadaranya sendiri banyak yang beralih mengguanakan Pertamak.

 Tentunya kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi belum sempurna tetap harus di koreksi untuk mengurangi risiko dampak lemahnya laju perekonomian nasional.

Saat Jokowi menurunkan harga BBM mestinya diikuti turunya ongkos angkutan, baik angkutan barang maupun penumpang sehingga ada efek positif terhadap harga bahan pokok di pasar. Ini tidak terjadi, ongkos angkutan sama sekali tidak ada penurunan sehingga turunya harga BBM tidak ada pengaruh terhadap harga bahan pokok.
  

Ditulis oleh : Gatot Pramono

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun