Belum lagi hutang Negara yang meningkat tajam, di 2004 saat SBY mulai memimpin pemerintahan hutang luar negeri (kalau tidak salah) Rp. 658T dan saat SBY lengser di 2014 sudah menjadi lebih dari 3,000T. Ini pasti sangat besar pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia. Mungkin beberapa efek positif tetap ada tetapi bila hutang hanya untuk BLT, apalagi dibagikan saat menjelang pemilu 2009, kesanya itu untuk beli suara saja.
Saya kira tidak sesederhana dan semudah itu memberikan catatan negatif ke pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Akibat akumulasi kebijakan pemerintahan SBY yang cenderung instan dan tidak menyelesaikan masalah, seperti penambahan hutang luar negeri adalah beban yang harus ditanggung rakyat, program Bantuan Langsung Tunai tidak menciptakan terbukanya lapangan kerja.
Beberapa kebijakan Joko Widodo sangat efektif atasi masalah. Contoh sederhana masalah BBM. Dulu di setiap daerah selalu kekurangan BBM sehingga selalu terjadi antrian di SPBU. Pemilik kendaraan pribadi dipaksa untuk meng konsumsi Pertamak untuk mobilnya tetapi itu tidak pernah bisa terlaksana. Beda sekarang sangat jarang ada antrian di SPBU dan pemakai sepeda motor pun dengan kesadaranya sendiri banyak yang beralih mengguanakan Pertamak.
 Tentunya kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi belum sempurna tetap harus di koreksi untuk mengurangi risiko dampak lemahnya laju perekonomian nasional.
Saat Jokowi menurunkan harga BBM mestinya diikuti turunya ongkos angkutan, baik angkutan barang maupun penumpang sehingga ada efek positif terhadap harga bahan pokok di pasar. Ini tidak terjadi, ongkos angkutan sama sekali tidak ada penurunan sehingga turunya harga BBM tidak ada pengaruh terhadap harga bahan pokok.
 Â
Ditulis oleh : Gatot Pramono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H