Tak berlebihan bila Kepala Badan Bank Tanah (BBT) Parman Nataatmadja mengatakan, pendirian lembaganya sungguh bertujuan mulia. Yaitu, berpihak pada rakyat dan memberikan lapangan pekerjaan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Tujuan itu diwujudkan dengan merencanakan ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, pembangunan, pemerataan ekonomi, reforma agraria, dan keadilan pertanahan. Semua ini termaktub dalam Perpres Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Bank Tanah.
Kini, sebutlah salah satu tugas BBT itu yakni merencanakan ketersediaan tanah untuk keadilan pertanahan. Nah, terkait tugas BBT ini, bagaimana realita kasus-kasus pertanahan di tanah air saat ini?
Kita awali dari data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang menyebutkan, pada 2024 terjadi 5.973 kasus konflik agraria. Di antaranya ada kasus rebutan tanah rakyat oleh perusahaan, tumpang tindih Hak Guna Usaha, hingga penguasaan atas tanah.
Idem ditto di Parlemen. Komisi II DPR yang juga membidangi Pertanahan memaparkan, sepanjang tahun lalu, mereka menerima 495 aduan masyarakat. Semua itu kemudian dibagi menjadi empat klaster, salah satunya pertanahan dan tata ruang. Di sini aduannya meliputi ulah mafia tanah, penyerobotan tanah, pelayanan publik di sektor pertanahan, dan tata ruang.
Sementara itu, data Komnas HAM menyebutkan, selama empat tahun terakhir terjadi 2.276 kasus konflik agraria. Konfliknya antara lain berkaitan dengan yang disebabkan penguasaan tanah atau perebutan sumber daya alam.
Realita lain, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, pada 2023 terjadi 241 kasus konflik agraria atau naik 12 persen dibandingkan 2022 dengan 212 kasus. Pada 2023, luasan konflik agraria mencapai 638.188 hektare yang meliputi tanah pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, hingga permukiman.
Banyaknya konflik agraria dan pertanahan tadi memunculkan harapan agar BBT semakin memainkan perannya dalam merencanakan ketersediaan tanah untuk keadilan pertanahan. Apalagi memang di antara peran BBT adalah menyelesaikan konflik-konflik agraria melalui program Reforma Agraria.
Yup! Reforma Agraria merupakan salah satu tugas dan fungsi BBT sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021. Disebutkan, BBT wajib menyediakan minimal 30 persen dari Hak Pengelolaan Lahan (HPL)-nya untuk Reforma Agraria.
Adapun bagi masyarakat yang menjadi subjek Reforma Agraria akan mendapatkan Hak Pakai di atas HPL BBT selama 10 tahun. Selain itu, akan diberikan Sertifikat Hak Milik (SHM) bila telah dimanfaatkan dengan baik. Terkait hal ini, BBT bertugas menyiapkan lahannya, sementara verifikasi subjek dilakukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang diketuai Bupati/Wali Kota.
Praktiknya di lapangan, tidak semudah teorinya! Dalam menjalankan Tupoksinya, BBT tak luput dari yang namanya kendala. Di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur misalnya. Sempat berlangsung proses hukum karena silang sengketa lahan Bandara Ibu Kota Nusantara (IKN). Meskipun belakangan, Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur memenangkan dan menguatkan posisi BBT.
Beda lagi dengan yang terjadi di Cianjur, Jawa Barat. Pelaksanaan Reforma Agraria di atas HPL BBT sempat memunculkan ketidakpuasan sejumlah warga Desa Batulawang. Meski akhirnya, komitmen BBT untuk menata dan memperhatikan tata ruang pertanahan serta rumah tinggal di area HPL BBT dapat dilaksanakan.
Sosialisasi pengukuran pendistribusian lahan di atas HPL BBT pun terlaksana baik. Mandat BBT sesuai PP tentang Bank Tanah pun terimplementasikan. Apa itu? Melakukan pendistribusian tanah melalui kegiatan penyediaan dan pembagian tanah.
Begitulah, tugas berat nan mulia yang diemban BBT memang harus mengedepankan slogan yang saya usulkan yaitu "Mewujudkan Kemaslahatan Tanah".
Slogan ini kiranya juga bisa diejawantahkan untuk memaknai kondisi lahan yang "Clear and Clean". Karena, bukankah status 'klir dan klin' memang dipersyaratkan lebih dulu, sebelum tanah di atas HPL BBT dimanfaatkan dan bermaslahat.
Terkini, slogan "Mewujudkan Kemaslahatan Tanah" juga bisa dijadikan tindaklanjut pascamuncul pernyataan dari Menteri Hak Asasi Manusia dan Menteri ATR/BPN. Kedua menteri baru saja mengingatkan, agar setiap konflik maupun sengketa lahan diselesaikan berbasis dimensi HAM.
Disinilah, BBT dengan slogan yang saya usulkan, tinggal menandaskan saja, bahwa tugas mulianya yakni merencanakan, memperoleh, mengadakan, mengelola, memanfaatkan hingga mendistribusikan tanah, memang berupaya mewujudkan kemaslahatan tanah melalui kerangka HAM.
Sebenarnya pula, bercermin dari sumber-sumber tanah yang dikelola BBT, slogan "Mewujudkan Kemaslahatan Tanah" tidaklah mustahil diwujudkan. Seperti diketahui, sumber-sumber tanah BBT berasal dari Tanah bekas hak, Kawasan terlantar, Pelepasan kawasan hutan, Tanah timbul, Tanah hasil reklamasi, Tanah bekas tambang, hingga Tanah yang terkena kebijakan perubahan tata ruang.
Selain itu, BBT juga melakukan kerja sama pemanfaatan tanah dengan pihak lain, seperti jual beli, sewa, hibah, dan tukar menukar.
Sekarang, ambil satu contoh yakni terkait kawasan terlantar. Banyak pihak menaruh harap agar BBT mewujudkan kemaslahatan pemanfaatan tanah untuk pembangunan dan kepentingan umum. Mengatasi backlog hunian umpamanya.
Kita tahu, pemerintah saat ini terus berupaya mengatasi krisis kebutuhan kepemilikan rumah atau backlog.Â
Menurut data Kementerian PUPR, angka backlog hunian itu mencapai 12,7 juta unit.Â
Pemerintah pun menargetkan, membangun tiga juta rumah per tahun. Satu juta unit dibangun di perkotaan, dan dua juta unit di pedesaan.
Sejauh ini, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menghitung, pembangunan tiga juta rumah dengan asumsi dibutuhkan 60 meter persegi per unit membutuhkan lahan 22.200 hektare. Sementara Kementerian ATR/BPN mengeklaim ada 77.297 hektare cadangan tanah terlantar plus 10.000 hektare lahan hasil konversi yang bisa dimanfaatkan.
Alhasil, ketersediaan lahan untuk program membangun tiga juta rumah per tahun tidak lagi jadi persoalan. Tinggal masalahnya, melakukan pencocokan peta topografi dan ketersediaan infrastruktur terutama jalan menuju lokasi lahan bakal permukiman itu.
Bagaimana partisipasi BBT terkait backlog? Situs banktanah.id menyebutkan, sudah ada dua HPL BBT yang dimanfaatkan untuk membangun rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Lokasinya di Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Kendal seluas 4,26 hektare, dan Brebes 0,19 hektare.
Pembangunan rumah MBR itu bersinergi dengan PT Sarana Multigriya Finansial (SMF). BBT menyiapkan lahan pembangunan rumah dengan harga kompetitif, sedangkan SMF menyediakan pendanaannya.
Melalui penjelasan profil persediaan tanahnya, BBT masih punya sejumlah lokasi untuk dimanfaatkan sebagai Kawasan Permukiman, yaitu di Bangka (3 hektare), Brebes 2 (0,48 hektare), Semarang (0,79 hektare), dan Tabanan (4,52 hektare).
Swasembada Pangan
BBT juga menyediakan kawasan potensial untuk mendukung target pemerintah mewujudkan swasembada pangan. Lokasi dimaksud ada di sejumlah wilayah.
Untuk Kawasan Perkebunan ada di Tapanuli Selatan (916 hektare), Tapanuli Selatan 2 (494 hektare), Halmahera Selatan (890 hektare), Bengkulu Tengah (396 hektare), Semarang 2 (7,4 hektare), Buton (639,08 hektare), Batang (0,5 hektare), Tanjung Balai (10 hektare), Poso (6.647,35 hektare), dan di Penajam Paser Utara (4.161,9 hektare).
Ada juga Kawasan Pertanian Lahan Kering di Cianjur (964,98 hektare), Minahasa Utara (2,6 hektare), Sambas (107,33 hektare), dan Sumedang (84 hektare). Lalu, untuk Kawasan Tanaman Hortikultura di Lombok Timur (1,00 hektare). Juga, Kawasan Perikanan di Serang (7,5 hektare), dan Kawasan Tambak Budidaya Air Tawar di Jember (5,29 hektare).
Terkait dukungan mengakselerasi capaian target swasembada pangan, Parman Nataatmadja menjelaskan, lahan paling potensial ada di Sumatra dan  Kalimantan. "Saat ini sudah ada yang untuk ketahanan pangan. Seperti yang ada di Luhu, di Poso bisa. Kita akan dapat lagi di beberapa lahan. Di Tapanuli Selatan kita sudah ada. Nanti akan ada di Kalimantan," katanya.
Masih terkait pangan. BBT juga mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ini diwujudkan dengan menyiapkan 11 titik lokasi HPL BBT di seluruh tanah air untuk mendukung dapur MBG melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Sebelas titik lokasi itu adalah di Batubara, Sumatera Utara; Solok, Sumatera Barat; Kepulauan Bangka Belitung; Cianjur, Jawa Barat; Kendal, Jawa Tengah; Purwakarta, Jawa Barat; Brebes, Jawa Tengah; dua lokasi di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur; Poso, Sulawesi Tengah; dan Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.
Masing-masing titik lokasi rata-rata memiliki lahan 500 meter persegi, yang memadai untuk dijadikan SPPG. Dari titik-titik lokasi ini, terdapat 90 tempat yang berpotensi untuk pemanfaatan dapur.
Semua yang dipaparkan di atas, cukup membuktikan kiprah dan sisi positif kinerja BBT. Tahun 2024, BBT mencatatkan perolehan tanah seluas 14.637,2 hektare. Perolehan ini naik 194 persen dibandingkan 2023. Sedangkan total pemanfaatan terhadap aset persediaan tanah tersebut telah mencapai 3.793,9 hektare yang berada di 13 aset persediaan tanah.
BBT meyakini, pemanfaatan tanah kelolaannya memberi dampak langsung pada pertumbuhan ekonomi, termasuk dalam rangka pemerataan ekonomi melalui program reforma agraria di atas HPL BBT.
Tahun ini, BBT menargetkan perolehan tanah kelolaan seluas 140 ribu hektare. Nah, seiring target tersebut, BBT diharapkan:
Pertama, meningkatkan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Misalnya dengan Kementerian ATR/BPN untuk menggenjot lagi program rumah MBR; dan Kementerian Keuangan misalnya terkait lahan sitaan dari obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Kedua, memantapkan koordinasi dengan Pemerintah Daerah untuk optimalisasi pemanfaatan dan pendayagunaan lahan sesuai peruntukkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah. Ini penting agar pemanfaatan kawasan perkebunan misalnya, dapat sesuai norma-norma kearifan lokal masyarakat setempat.
Ketiga, tetap menjaga transparansi dan akuntabilitas. Aspek keterbukaan memang sudah dilakukan BBT melalui situs resminya, dalam hal ini melalui fitur Profil Persediaan Lahan. Publikasi ini harus rutin diaktualisasikan saban waktu.
Keempat, jalin kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat maupun instansi non-pemerintah lainnya termasuk Media. Ini penting, agar tercipta kerjasama yang baik sekaligus menjadi semacam early warning system dari potensi konflik agraria. Sekaligus, menjadi wujud pelaksanaan program kerja BBT yang prudent dan berkelanjutan.
Kelima, tetap mengedepankan status tanah "Clean & Clear" dalam setiap input kerja, process hingga output. Ini demi terpeliharanya tujuan mulia dari setiap kerja BBT yang senantiasa berkomitmen menggapai kemaslahatan tanah untuk kesejahteraan masyarakat.
Keenam, studi banding dengan Land Bank di mancanegara. Misalnya untuk bagaimana meningkatkan nilai ekonomi aset tanah dan lainnya. Seperti pernah dilakukan BBT dengan Federal Land Development Authority (Felda) dari Malaysia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H