Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Jamu, Jampi, dan Usodo untuk Kesehatan Keluarga

31 Mei 2024   19:42 Diperbarui: 2 Juni 2024   07:00 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penjual jamu tradisional keliling di Pasar Baru, Jakpus.(Foto: ANTARA/Srd. Arif Rahman Hakim/Junaydi S.)

Masih membekas dalam ingatan, apa yang ibu saya lakukan. Ia menyiapkan sejumput beras dan sejumlah rimpang termasuk kencur dan temulawak (curcuma). Usai digeprek hingga nyaris lembut, semua herbal tadi dibungkus wadah kain. Sambil disiram sedikit air, ibu memeras campuran herbal itu hingga menetes saripatinya ke wadah gelas.

Saya sempat meronta dan menolak meminumnya. Tapi berkat kesabaran ibu, lama kelamaan saya pun bersedia meminumnya.

Begitulah saya sejak kecil. Ibu dengan sabar dan telaten sudah memberikan konsumsi jamu untuk saya. Ibu paham benar, jamu apa yang tepat untuk meredakan dan memulihkan gangguan pencernaan yang sudah beberapa hari saya alami. Efeknya memang buruk karena saya tidak nafsu makan. Itu yang membuat ibu cemas.

Adik saya pun mendapat terapi jamu yang sama. Ketika suatu kali ia menderita sakit tenggorokan dan demam, bapak dan ibu pun sigap menyiapkan ramuan herbal. Diantara racikannya saya ingat ada daun pepaya dan daun sirih.

Terapi herbal pun diberikan kepada adik saya. Hampir sama. Sempat menolak untuk meminumnya, tapi dengan pemahaman yang terus diulang-ulangi oleh ibu, adik saya pun mau meminumnya.

"Jamu itu bisa jadi obat tradisional. Yang namanya obat ya pahit. Tapi tak mengapa, pahitnya kan untuk meredakan sakit dan memulihkan kesehatan," pesan ibu.

Pernah pula suatu ketika, saya mengalami demam. Di kamar, saya berbaring tak berdaya. Serba salah. Memakai selimut, panas. Tapi melepas selimut, kedinginan. Ya, panas dingin. Hari itu, saya ingat bapak dan ibu berunding di ruang depan. Tak berapa lama, keduanya sibuk mencari "sesuatu" dan meraciknya jadi jamu.

Selesai ramuannya jadi, saya yang tak diberitahu apa sebenarnya "sesuatu" itu pun lekas meminumnya. Ada rasa langu dedaunan, dan "rasa lain" di lidah. Tapi semua saya telan saja, demi pemulihan kesehatan. Lagi-lagi, sambil menyimak pesan berulang dari ibu tentang jamu yang pahit tapi menjadi obat.

Belakangan saya baru diberi tahu. "Sesuatu" yang bapak dan ibu racik kala itu adalah ekstrak cacing tanah. Kaget? Ya! Tapi mau protes pun tak bisa, karena semua sudah berlalu dan ampuh meredakan demam. Ibu mencoba meneduhkan kegalauan saya. Katanya, bukan hanya ekstrak cacing tanah yang diracik ketika itu, ada pula sejumlah herbal lain yang ditambahkan.

Tempo doeloe, cacing tanah mudah didapatkan. Lahan terbuka yang ditanami pohon pisang masih banyak di sekitar rumah kami. Kini? Hampir sulit menemukan hal-hal seperti itu. Beruntung kini ada Vermint yang dijual bebas dan kandungannya antara lain  ekstrak cacing tanah.

Penjual jamu tradisional keliling di Pasar Baru, Jakpus.(Foto: ANTARA/Srd. Arif Rahman Hakim/Junaydi S.)
Penjual jamu tradisional keliling di Pasar Baru, Jakpus.(Foto: ANTARA/Srd. Arif Rahman Hakim/Junaydi S.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun