Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bilebante, dari Desa Tambang Pasir Jadi Tempat Pelesir

14 Desember 2021   10:09 Diperbarui: 14 Desember 2021   11:59 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokasi Pasar Pancingan di Desa Bilebante, Lombok Tengah, NTB. (Foto: Facebook Lombok Friendly)

Mengubah desa penuh debu menjadi desa wisata hijau? Pasti tidak mudah! Mengubah warga desa yang sering sakit ISPA dan Diare-nya akibat debu penambangan pasir menjadi warga sehat? Wah! Ini susah banget! Mengubah pemikiran orang bahwa desa wisata bisa membawa dampak buruk sosial lingkungan? Beuhhh! Ini pasti lebih susah lagi. Tapi di Bilebante, semua yang serba susah itu, justru berhasil diwujudkan. Aje Gile, Bilebante! Bagaimana ceritanya itu, kok semua bisaaaaaaaaa?!

Berikut penuturan Pahrul Azim, Ketua dan Perintis Desa Wisata Hijau (DWH) Bilebante, Kecaatan Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Penuturannya di satu webinar daring, saya nukilkan dan tuliskan dalam bentuk "Q&A". Supaya lebih mudah mengikuti konten "daging" paparannya.

Pahrul lahir di Dusun Dasan Telaga, Desa Bilebante, 10 Oktober 1985. Ia pernah mengajar di MTs An-Nasriyah Sintung, dan di SMK Bangun Bangsa. Perangkat Desa ini pernah juga jadi fasilitator PKBI NTB. Jabatannya, selain menjadi Direktur DWH Bilebante, sosok ramah ini juga Sekretaris 

Umum Asosiasi Pariwisata Islami Indonesia (APII), Lombok Tengah. Masih kurang sibuk, ia juga jadi anggota Generasi Pesona Indonesia (GenPI) Lombok, Sumbawa, NTB. Dan, tercatat juga sebagai Wakil Ketua Asosiasi Pokdarwis, Lombok Tengah. Begini "Q&A"-nya:

Direktur DWH Bilebante, Pahrul Azim. (Foto: Screenshot Youtube Asosiasi Klaster Indonesia)
Direktur DWH Bilebante, Pahrul Azim. (Foto: Screenshot Youtube Asosiasi Klaster Indonesia)
Bisa dijelaskan profil dan demografi Desa Bilebante?

Desa Wisata Hijau (DWH) Bilebante berada di Nusa Tenggara Barat, Kabupetan Lombok Tengah, Kecamatan Pringgarata. Paling pojok utara Lombok Tengah. Kalau kita berangkat dari Jakarta, sampai di Bandara Internasional Lombok (BIL), jarak tempuh dari bandara itu sekitar 45 menit. Sedangkan dari Bilebante ke KEK Mandalika dan Sirkuit Mandalika sekitar 1,5 jam. Adapun jarak tempuh dari Bilebante ke kota provinsi yaitu Mataram, sekitar 20 menit.

Desa Bilebante berbatasan dengan desa-desa lainnya di Kecamatan Pringgarata. Yaitu, Desa Arjangka, Bagu, Menemeng, Murbaya, Pemepek, Pringgarata, Sepakek, Sintung, Sisik, dan Desa Taman Indah.

Luas wilayah Bilebante 278 km2, hamparan sawah 212 hektar, kebun 87 hektar, dan tanah aset desa 8 hektar. Itulah kenapa kita namakan Desa Wisata Hijau. Karena wilayahnya cukup luas, kemudian yang kawasan hijau itu sekitar 75 persen, dan nyaris terdiri dari kebun serta hamparan sawah, lengkap dengan irigasi sistem Subak yang sangat baik. Sehingga ketika musim kemarau, Bilebante nyaris tidak pernah kekeringan. Pola tanam di sini adalah padi, padi dan palawija. Atau kemudian bisa ditanam dengan tanaman yang lain.

Penambangan pasir di Desa Bilebante, 2016. (Foto: suarantb.com)
Penambangan pasir di Desa Bilebante, 2016. (Foto: suarantb.com)

Bilebante, dari Desa Tambang Pasir jadi Tempat Pelesir. (Foto: Facebook Desa Wisata Bilebante Lombok) 
Bilebante, dari Desa Tambang Pasir jadi Tempat Pelesir. (Foto: Facebook Desa Wisata Bilebante Lombok) 

Apa keunikan Desa Bilebante?
Di Desa Bilebante ada beberapa dusun. Yaitu Dusun Bilebante, Karang Baru, Tapon Timur, Tapon Barat, Jenggala, Karang Kubu, dan Karang Ide. Ada dua keyakinan di sini, Muslim dan Hindu. 

Jadi ketika kita ke Bilebante, kita bisa menemukan dua suasana, yaitu suasana yang sangat Islami, dan kita juga bisa merasakan "Bali berada di Lombok" atau "Bali berada di NTB". Suasana keakraban keagamaan juga kita bisa dapatkan di Bilebante. Salah satu keunikan yang ada di Bilebante itu adalah bagaimana toleransi keberagamaan terwujud.

Ketika Hari Raya Nyepi, masyarakat yang menjaga suasana desa adalah masyarakat Bilebante yang Muslim. Sebaliknya, ketika Hari Raya Idul Fitri maka yang menjaga suasana desa adalah masyarakat Bilebante yang Hindu. Keakraban (umat beragama) ini juga yang kami angkat sebagai potensi yang kemudian kami angkat sebagai kearifan lokal yang utuh dan masih terjaga hingga kini.

Pura Lingsar Kelod di Lombok Tengah. (Foto: Facebook Lombok Friendly)
Pura Lingsar Kelod di Lombok Tengah. (Foto: Facebook Lombok Friendly)

Toleransi warga beragama Muslim dan Hindu sangat baik di Desa Bilebante. (Foto: FB Desa Wisata Bilebante Lombok)
Toleransi warga beragama Muslim dan Hindu sangat baik di Desa Bilebante. (Foto: FB Desa Wisata Bilebante Lombok)

Bagaimana kondisi Desa Bilebante di masa lalu?

Bilebante dulu dikenal sebagai Desa Debu! Sebelum Bilebante seperti hari ini, dulu kalau kami berkenalan dengan orang lain di Mataram, dan menyebutkan kami berasal dari Bilebante, orang nyaris tidak tahu di mana itu Bilebante. Dulu, Bilebante dikenal sebagai pusat tambang pasir galian C. Kenapa dulu menjadi pusat galian tambang pasir? Karena pasir yang warnanya agak kehitaman dan ditambang di Bilebante, kualitasnya bagus. 

Bayangkan, kalau  menambang pasir seluas 1 hektar dengan kedalaman 8 sampai 10 meter maka untuk kondisi sekarang mungkin bisa menghasilkan pendapatan Rp1,5 miliar. Selain menjadi Desa Debu, masyarakat Bilebante dulunya juga lebih memilih untuk jadi TKI ke Malaysia.

Lalu pada 2014, ada program dari Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB) kala itu, untuk mengembangkan produk berbahan dasar "PIJAR" alias Sapi, Jagung, dan Rumput Laut. Dalam pelaksanaan "PIJAR" itu, ada pelatihan sejumlah UMKM. Dan yang dinilai berhasil adalah UMKM "Putri Rinjani" pimpinan Ibu Zaenab. 

Ketika itu produk unggulannya adalah Tortilla yang dibuat dari rumput laut. Uniknya, rumput laut didatangkan dari Lombok Timur dan diolah menjadi Tortilla di Bilebante, Lombok Tengah. Ini jelas sangat istimewa sekali. Sehingga akhirnya, mampu memantik orang untuk datang berkunjung, studi banding dan mempelajari pembuatan Tortilla serta produk lain kreasi UMKM Putri Rinjani. 

Bukit Pasir bekas area tambang pasir di Bilebante. (Foto: Facebook Lombok friendly)
Bukit Pasir bekas area tambang pasir di Bilebante. (Foto: Facebook Lombok friendly)

Wisata olahraga. Bersepeda di jalur tepian sawah Bilebante. (Foto: FB Desa Wisata Bilebante Lombok) 
Wisata olahraga. Bersepeda di jalur tepian sawah Bilebante. (Foto: FB Desa Wisata Bilebante Lombok) 

Dan, saya menangkap itu! Artinya, kenapa tidak kemudian kita "paksa" orang-orang yang datang ke Bilebante ini bisa agak lama tinggal di desa kami. Karena kami berpikir, semakin lama mereka tinggal di desa kami, maka semakin banyak pula uang yang mereka keluarkan. Artinya, untuk penginapan, akomodasi dan lainnya. Maka kami pun mulai mempersiapkan penginapan atau homestay. Kami buat paket penginapan, cooking class dan beberapa lainnya.

Pada 2015 gayung bersambut, kami mengikuti workshop yang diadakan Dinas Pariwisata NTB dan  membahas tentang jasa wisata. Awalnya dalam pikiran saya, desa wisata itu identik dengan keindahan pantai, gunung, lautan, air terjun, bukit dan yang lainnya. 

Tapi ternyata saya salah! Karena yang dimaksud dengan desa wisata itu adalah, bagaimana melibatkan tamu yang berkunjung untuk menikmati alam dan sekitarnya, serta mengeluti aktivitas keseharian masyarakat yang ada. Contohnya, ketika tamu berada di homestay, mereka ikut memasak, menyiapkan dan menikmati makanan yang disajikan.

Kompasianer mengikuti Cooking Class di Bilebante. (Foto: Gapey Sandy)
Kompasianer mengikuti Cooking Class di Bilebante. (Foto: Gapey Sandy)

Cooking Class membuat sajian kuliner Ebatan atau Salad Khas Lombok di Bilebante. (Foto: Gapey Sandy)
Cooking Class membuat sajian kuliner Ebatan atau Salad Khas Lombok di Bilebante. (Foto: Gapey Sandy)

Pada 2015, kami mengajukan diri untuk dibina oleh GIZ, perusahaan internasional milik pemerintah federal Jerman. Ahamdulillah direspon positif. Sekaligus, ada tiga wilayah yang dibina GIZ. Yaitu Sembalun di Lombok Timur dengan alam perbukitan, air terjun dan Gunung Rinjani. 

Lalu, Sesaot di Lombok Utara dengan potensi alam hutan wisata dan mata airnya. Dan, Bilebante di Lombok Tengah dengan semangat dan motivasi yang tinggi untuk mengubah mindset masyarakat dari pusat tambang pasir galian C menjadi desa wisata. Bahasa kasarnya, "menjual" keseharian yang ada di Bilebante.      

Bagaimana menggambarkan lini masa perubahan positif Bilebante itu?

Hingga 2016, kalau kita searching di Google tentang Bilebante, belum ada informasi terkait desa kami. Kecuali hanya soal galian tambang pasir, aksi demo pencegatan penggalian tambang pasir, aksi penolakan dan tuntutan penghentian penggalian tambang pasir dan hal terkait lainnya. 

Tapi kini, saat kita searching di Google dengan kata kunci "Bilebante" maka informasi yang diperoleh bisa berlimpah. Ada keindahan alam, sawah menghijaunya, aktivitas bersepedanya, wisata olahraga (sport tourism) kegiatan masyarakat yang memproduksi secara kreatif ubi untuk dibuat kerupuk, pembuatan dodol dan tortilla dari rumput laut, kerupuk kolang-kaling dan masih banyak lagi.

Sebagian produk panganan kreatif hasil karya DWH Bilebante. (Foto: Gapey Sandy) 
Sebagian produk panganan kreatif hasil karya DWH Bilebante. (Foto: Gapey Sandy) 

Harapan Bilebante. (Sumber: Slide webinar Pahrul Azim)
Harapan Bilebante. (Sumber: Slide webinar Pahrul Azim)

Awal pembentukan Bilebante jadi Desa Wisata, perdebatannya cukup alot di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat ada yang khawatir, karena mengubah Bilebante menjadi desa wisata bukan hanya membawa dampak terhadap sektor perekonomian tapi juga pada masalah sosial. 

Tidak hanya mendatangkan uang, tapi juga berdampak pada masalah sosial misalnya akan banyak tamu datang dengan berbusana tidak sopan, melanggar norma, etika, adat dan budaya desa, pasangan laki perempuan yang berperilaku seperti suami istri tetapi bukan muhrim, dan hal-hal buruk lainnya.

Sebelum kami launching Desa Wisata Bilebante pada 2016, kami membuat satu peraturan, satu kesepakatan bersama tentang Peraturan Desa Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Desa Wisata. Jadi siapapun boleh mengelola desa wisata dengan mengacu pada Peraturan Desa. Dan, siapapun boleh berkunjung ke Bilebante tetapi dengan mengikuti etika dalam berkunjung ke Bilebante. 

Jadi Peraturan Desa ini cukup tuntas mengaturnya.Memang agak sulit meyakinkan masyarakat untuk mendukung pembentukan Bilebante dari Desa Debu menjadi Desa Wisata. Untuk itu, kami mulai melakukan musyawarah warga, sambil menggali potensi-potensi desa yang ada. Melalui musyawarah antar-warga, kami pun menganalisis Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang), dan Threats (ancaman). Musyawarah warga juga memastikan bahwa program desa wisata harus masuk ke dalam RPJMDes. Sehingga pembangunan jangka menengah untuk membangun Desa Wisata Bilebante menjadi program prioritas.

Paket Terapi Kebugaran di Bilebante. (Foto: Facebook Desa Wisata Bilebante Lombok)
Paket Terapi Kebugaran di Bilebante. (Foto: Facebook Desa Wisata Bilebante Lombok)

Sedang dibangun Pusat Terapi Kebugaran DWH Bilebante. (Foto:Facebook Desa Wisata Bilebante Lombok) 
Sedang dibangun Pusat Terapi Kebugaran DWH Bilebante. (Foto:Facebook Desa Wisata Bilebante Lombok) 

Paket-paket wisata apa saja yang ditawarkan Bilebante?

Kami sangat mengapresiasi istilah pariwisata yaitu harus menjual "paket" bukan "tiket". Saya sangat sepakat sekali dengan itu! Kami menawarkan paket bersepeda Bilebante BIKE TOURS. Dalam hal ini, kami menawarkan wisata olahraga dimana pengunjung bisa memilih sendiri Paket Family Cycling Tour, Paket Family Long Cycling Tour, dan Paket Tour 2 Hari 1 Malam.

Untuk mendukung paket bersepeda ini, Pemerintah Desa melalui inisiasi Kepala Desa yang sudah tiga periode yaitu Pak Rakyatuliwa'udin, membuka jalan baru yang cukup panjang sehingga hampir semua area persawahan sudah dilengkapi jalan-jalan penghubung antar-dusun.

DWH Bilebante menawarkan hidup keseharian bersama masyarakat setempat. (Foto: Facebook Desa Wisata Bilebante Lombok)
DWH Bilebante menawarkan hidup keseharian bersama masyarakat setempat. (Foto: Facebook Desa Wisata Bilebante Lombok)

Hal-hal yang masih harus ditingkatkan di DWH Bilebante. (Sumber: Slide webinar Pahrul Azim)
Hal-hal yang masih harus ditingkatkan di DWH Bilebante. (Sumber: Slide webinar Pahrul Azim)

Bersepeda itu start dari Kantor Sekretariat Desa Wisata Bilebante, kemudian melintasi pemukiman masyarakat, lalu menyinggahi area masyarakat yang beragama Hindu dan mendapat pembelajaran tentang sejumlah tarian dari pakarnya secara langsung. Misalnya, Tari Puspanjali (tari penyambutan tamu), dan Tari Cenderawasih (yang mengilustrasikan perkawinan Burung Cenderawasih). 

Lalu, ada juga suguhan "Bale Ganjur" atau musik tradisional oleh masyarakat Bilebante yang beragama Hindu. Kemudian para penggowes bisa melanjutkan perjalanan melintasi hamparan sawah, kebun sayur dan buah-buahan. Kemudian, melintasi juga Pura Lingsar Kelod yang konon merupakan Pura tertua di Lombok Tengah, dan menurut pemangku agama di sana, Pura itu didirikan pada 1822.

Ada juga paket TERAPIS KEBUGARAN yang menawarkan layanan Body Massage, Body Scrub, Body Masker, Hand & Foot Massage, Facial Treatment, Face Massage, dan Reflexy.

Salah satu gerbang masuk menuju ke Pasar Pancingan Bilebante. (Foto: Gapey Sandy) 
Salah satu gerbang masuk menuju ke Pasar Pancingan Bilebante. (Foto: Gapey Sandy) 

Sambutan ramah dengan welcome drink LGT UNO. (Foto:Facebook Desa Wisata Bilebante Lombok)
Sambutan ramah dengan welcome drink LGT UNO. (Foto:Facebook Desa Wisata Bilebante Lombok)

Nah, yang kita libatkan di spa ini disesuaikan dengan Perda NTB Nomor 2 Tahun 2019, dimana kita melatih terapis laki-laki dan perempuan untuk menjadi terapis halal. Pelatihan dan pengembangannya mendapat supervisi langsung dari manajemen Martha Tilaar. Tapi kemudian, apa boleh buat, pandemi COVID-19 membuat dampak yang kurang menguntungkan.

Lalu, paket PASAR PANCINGAN. Ini menyediakan berbagai wisata kuliner khas tempo dulu, pemancingan ikan, hiburan, spot foto dan live music. Sebelum pandemi, Pasar Pancingan ini pengunjungnya banyak sekali, bahkan hingga 800 orang. Pasar ini setiap Minggu, jam 7 pagi hingga jam 14 siang. Di sini kita bisa menikmati kuliner khas lokal, seperti Ebatan atau salad khas Lombok, ayam Merangkat, serabi berbahan dasar rumput laut, clorot, plecing kangkung dan lainnya.  

Juga ada paket KEBUN HERBAL, dimana ada ribuan jenis tumbuhan obat yang bisa langsung diolah menjadi jamu. Pelatihan dan pengembangannya juga mendapat supervisi langsung dari manajemen Martha Tilaar. Produknya, termasuk yang dicoba dan sangat digemari Pak Sandiaga Uno, Menteri Parekraf, yaitu Minuman Lemon Grass Tea (Mulegati). Bahkan saking senang dengan cita rasanya yang menyegarkan dan penuh khasiat, Pak Sandiaga memberi nama minuman itu dengan "Lemon Grass Tea Uno" alias "LGT Uno".

Menparekraf Sandiaga Uno suka sekali Minuman Lemon Grass Tea (Mulegati) Bilebante. (Foto: Kemenparekraf)
Menparekraf Sandiaga Uno suka sekali Minuman Lemon Grass Tea (Mulegati) Bilebante. (Foto: Kemenparekraf)
* * *
Pernyataan Menparekraf Sandiaga Uno saat jatuh hati dengan Desa Wisata Hijau Bilebante: "Seperti makanan dan minuman khas Lombok yang saya dapatkan saat ini, namanya serbat campuran atau yang disebut lemongrass tea dari hasil rempah-rempah berkualitas, ada juga serabi rumput laut. Di samping itu ada makanan khas Lombok lainnya yaitu ayam taliwang, plecing kangkung, dan nasi puyung. Semua yang menjadi ciri khas dari Lombok akan kita angkat, kurasi, karena kita punya programnya, dan kita akan bikin event-event yang lebih banyak di sini," ujar Sandiaga saat berkunjung ke Bilebante pada (15/1/2020).

Sementara itu, menurut peracik "Mulegati", Ibu Zaenab, "Lemon Grass Tea Uno" semua bahannya berasal dari lokal. Kecuali Secang, yang diambil dari Sembalun. Desa Bilebante mengalami krisis Pohon Secang, akibat dampak tambang pasir galian C yang dulu merusak alam. Pohon Secang ditumbangkan dan mulai punah. "Dulu, banyak Pohon Secang, karena Secang juga jadi tehnya orang Lombok. Barulah pada 2014, Kepala Desa Bilebante mengeluarkan Peraturan Desa tentang Lahan Hijau. Dimana tidak boleh ada yang menambang pasir di lahan hijau, begitu membangun rumah, gedung apalagi pabrik di lahan hijau," tuturnya kepada 10 Kompasianer yang berkunjung (2/12/2021) lalu.
* * *

bb-ok-7-mulegati-uno-61b80724df66a776e247bdc2.jpg
bb-ok-7-mulegati-uno-61b80724df66a776e247bdc2.jpg
Minuman ini yang digemari dan dijuluki oeh Menparekraf Sandiaga Uno sebagai LGT UNO alias Lemon Grass Tea Uno. (Foto: Gapey Sandy)Di DWH Bilebante, ada pula keindahan LEMBAH GARDENA. Ini merupakan taman, yang dulunya merupakan area bekas tambang galian pasir. Kunjungi juga GONG GRESS yaitu terowongan kecil yang konon menjadi tempat persembunyian warga Desa Bilebante dari kejaran penjajah kolonial.

Karena pengelola Desa Wisata Bilebante ini rata-rata tidak berlatarbelakang keilmuan pariwisata, maka kami mendapat banyak pelatihan juga dari pihak lain. Misalnya, dari GIZ untuk Digital Marketing, Panorama Tours untuk Product Development, dan Allianz untuk Literasi Keuangan Keluarga. Kami belajar, berpartner, mendapatkan ilmu, dan membangun jejaring, termasuk bersama sejumlah kementerian dan lembaga pemerintahan.

Ada juga bantuan dari Bank Indonesia pada 2019. Berupa pengadaan 18 unit sepeda, sound system, dan toilet karena di masa pandemi banyak toilet kami yang mengalami kerusakan.

Kuliner khas Lombok bisa dinikmati di DWH Bilebante. (Foto: Facebook Desa Wisata Bilebante Lombok)
Kuliner khas Lombok bisa dinikmati di DWH Bilebante. (Foto: Facebook Desa Wisata Bilebante Lombok)

Ibu Zaenab (kiri) dan Pahrul Azim (kanan) menyambut 10 Kompasiner yang datang ke Bilebante. (Foto: Gapey Sandy)
Ibu Zaenab (kiri) dan Pahrul Azim (kanan) menyambut 10 Kompasiner yang datang ke Bilebante. (Foto: Gapey Sandy)

Apa saja dukungan nyata dari Desa?

Banyak sekali. Misalnya, pembukaan jalan baru untuk akses ke Kebun Herbal, jalan baru untuk akses ke Pasar Pancingan, legalitas tanah desa melalui APBDes sebanyak 15 titik, penyediaan lahan pembibitan Kebun Herbal seluas 12 are, penyediaan lahan Wellness Tourism Bilebante seluas 85 are, dan pembuatan video promosi.

Apa saja dukungan dari para mitra?

Juga banyak. Misalnya, perbaikan Pasar Pancingan, kendaraan angkut roda tiga, sepeda dan promosi oleh Dinas Pariwisata (Dispar) NTB; Destinasi Pasar Digital atau Pasar Pancingan oleh Generasi Pesona Indonesia; Rumah Lumbung dari Kementerian Desa; Pengadaan Perabotan Gerabah dari Disnaker Lombok Tengah; dan Perbaikan Lapak dari Kegiatan Pengabdian Universitas Qamarul Huda Badaruddin, Bagu, Praya, Lombok Tengah. (*)

Baca juga:

- Empuknya Batu Kerikil Sirkuit Mandalika

- Wisata Olahraga Mandalika Pacu Potensi Ekonomi Lokal

- Desa Beleq di Sembalun Lawang, Jangan Dibiarkan Hilang

- Tenun Lebak Lauq di Sembalun Lawang Menolak Punah

- Rusa Timor Dukung Pamor Wisata Mandalika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun