Aura mistis Gendang Beleq dan Gong disebut-sebut karena merupakan warisan leluhur. "Bahkan termasuk benda pusaka sehingga cara memainkannya pun memiliki aturan dan tidak boleh sembarang," ujar Amaq Hayati, warga lainnya.
Ada dua gendang dan satu gong tua yang kini masih tersimpan lestari. "Gendang yang lebih besar itu gendang lelaki, dan yang lebih kecil adalah gendang perempuan. Cara memainkannya harus sesuai aturan. Yaitu, gendang yang lebih besar harus di belakang, kemudian gendang yang lebih kecil harus di depan. Kalau tertukar atau sembarangan, maka suara musik yang dihasilkan akan tidak bagus," tutur Hayati.
Sementara itu, pengamat budaya Lombok, Lalu Anggawa Nuraksi menjelaskan, Gendang Beleq diperkirakan muncul pada abad ke-14 Masehi, atau sekitar seratusan tahun pasca-letusan Gunung Samalas atau Rinjani Tua.
"Gendang Beleq ini muncul pada zaman Kedatuan (konsep pemerintahan Sasak) sebagai pemberi spirit untuk melepas pasukan di kala dia berangkat perang maupun di kala dia pulang, jadi dengan gendang beleq dia disambut," kata Anggawa.
Anggawa menjelaskan mengapa alat musik itu disebut Gendang Beleq. Dalam bahasa Sasak, Beleq berarti besar. Gendang Beleq disebut demikian karena mempunyai ciri khas memiliki gendang besar. Adapun Gendang Beleq sendiri mempunyai panjang 110 cm dengan rata-rata berat 2,5 kg. (Kompas.com)
KEDELAPAN, terenyuh memandang hancurnya Rumah Desa Adat Beleq dari puncak Bukit Selong. Desa Beleq diapit dua bukit yang ada di kaki Gunung Rinjani, yaitu, Bukit Pergasingan dan Bukit Selong.
Biasanya, wisatawan diarahkan treking menuju Bukit Selong untuk melihat kondisi Desa Adat Beleq dari ketinggian. Jangan khawatir, jalur menuju puncak Bukit Selong disediakan anak-anak tangga yang lumayan membantu pendakian. Uuupppsss... saat berjalan harap hati-hati karena ada sejumlah "perangkap" alias kotoran sapi. Bahkan di puncak Bukit Selong juga waspada, kotoran sapi juga ada.
Sebelum sampai puncak Bukit Selong, wisatawan akan melewati hutan bambu. Sayangnya, terlihat sekali hutan bambunya kurang terawat. Meski pohon-pohon bambunya terlihat diatur sedemikian rupa, dengan dikelompok-kelompokkan dan dipagari bilah bambu.Â
Konon, tak jauh dari hutan bambu ada anak tangga yang menjadi petilasan bertemunya tujuh kepala keluarga Sembah hulun dengan punggawa Majapahit yaitu Raden Arya Pati dan Raden Arya Mangunjaya.