"Tentu saya tidak suka semua itu. Kalau hanya mengikuti Kompas, selamanya hanya akan menjadi ekornya. Tidak akan bisa menjajarinya. Karena itu, saya mengambil jalan yang sangat berbeda. Bukan dari ibu kota menguasai nusantara, tapi dari nusantara menguasai Indonesia. Di bidang jurnalistik juga harus berbeda. Jawa Pos memilih jurnalistik bertutur. Untuk wartawan baru saya langsung mencekokkan doktrin “jangan ketularan penyakit Kompas.”
Seirama Zaman
Mengomentari raihan prestasi "The Best Five in The World" itu, Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo mengatakan, selama lebih dari setengah abad, Kompas terus berupaya mengikuti perkembangan zaman. Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama berkali-kali mengungkapkan perlunya mengantisipasi perkembangan digital.
Kompas mengikuti dengan saksama perkembangan digital dan bahkan mengikuti perkembangan digital dengan melahirkan portal Kompas.com pada 14 September 1995 dan Kompas.id pada 2017.
”Keduanya merupakan ekstensa dari harian Kompas. Di tengah merebaknya hoaks atau berita palsu, Kompas menawarkan jurnalisme berkedalaman,” katanya di sini.
Sah-sah saja Budiman menyebut keberhasilan Kompas (baca: Jakob Oetama) mengikuti perkembangan zaman dengan mengantisipasi perkembangan digital.
Kompasiana.com, yang sedang sidang pembaca buka saat ini merupakan salah satu buah antisipasi perkembangan digital itu. Salah satu saksi hidupnya masih ada, Pepih Nugraha. Ngopi-ngopilah sana sama "Kang Peps", suruh "sang begawan" itu bertutur tentang Kompasiana ketika itu. Termasuk, bagaimana ia membesarkannya.
By the way, klik ya akun saya di Kompasiana.
Jurnalisme Kepiting
Salah satu strategi Kompas bisa bertahan dari berbagai tekanan dan kepentingan penguasa, karena menerapkan jurnalisme maju-mundur. Alias, jurnalisme kepiting.
Istilah itu diperkenalkan wartawan senior - jurnalis tiga zaman Rosihan Anwar. Bukan pujian. Tapi justru "ejekan" karena sikap Kompas yang terlalu berhati-hati dalam menulis berita terkait Orde Baru.