16 September 2018, mungkin termasuk salah satu tanggal spesial bagi Prabowo Subianto. Calon presiden nomor urut 02 ini, didaulat untuk menandatangani "Pakta Integritas". Ini merupakan inti dari pelaksanaan Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional II. Ijtima bernomor 01/IJTIMA/GNPF-ULAMA/MUHARRAM/1440 H ini bertajuk Penetapan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.
Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno secara aklamasi ditetapkan sebagai Capres dan Cawapres. Sementara seluruh peserta ijtima, terikat untuk memberi dukungan penuh demi kemenangan pasangan ini. Tanpa terkecuali.
"Pakta Integritas" berisi 17 butir pernyataan yang harus dilaksanakan Prabowo-Sandi. Saya kutip saja beberapa butir keharusan tersebut. Misalnya, mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina di berbagai panggung diplomatik dunia sesuai dengan semangat dan amanat pembukaan UUD 1945.
Prabowo-Sandi juga harus siap menjaga agama-agama yang diakui Pemerintah Indonesia dari tindakan penodaan, penghinaan, penistaan, serta tindakan-tindakan lain yang bisa memancing munculnya ketersinggungan atau terjadinya konflik melalui tindakan penegakan hukum sesuati peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Khusus kepada Habib Rizieq Shihab, "Pakta Integritas" mengharuskan pasangan ini untuk siap menggunakan hak konstitusional dan atributif yang melekat pada jabatan Presiden untuk melakukan proses rehabilitasi, menjamin kepulangan, serta memulihkan hak-hak sang habib sebagai warga negara Indonesia.
Butir paling buncit -- nomor 17 --, mewajibkan Prabowo-Sandi untuk menghormati posisi ulama dan bersedia untuk mempertimbangkan pendapat para ulama dan pemuka agama lainnya dalam memecahkan masalah yang menyangkut kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara.
* * *
Jelas sekali, Prabowo-Sandi harus berjuang keras banget untuk mengimplementasikan "Pakta Integritas". Masalahnya, mampukah pasangan ini mewujudkannya? Coretlah dulu urusan memulangkan Habib Rizieq Shihab. Karena pemulangan dan rehabilitasi sang habib diwajibkan kepada Prabowo-Sandi, ketika sudah terpilih dan menjabat sebagai Presiden serta Wakil Presiden. Fokuslah pada keharusan dalam butir 17, yang mengharuskan Prabowo-Sandi menghormati para ulama, dan bersedia untuk mempertimbangkan pendapat para ulama. Lalu, kaitkan dengan upaya yang tengah digagas Dewan Ikatan Da'i Aceh, yaitu menyelenggarakan tes baca Al Qur'an bagi kedua pasangan Capres dan Cawapres. Mustinya, Prabowo-Sandi memenuhi tes itu, sebagai bentuk penghormatan kepada para ulama. Â Â
Apalagi, menurut Ketua Dewan Ikatan Da'i Aceh, Tgk Marsyuddin Ishak, tes baca Al Qur'an diusulkan untuk diselenggarakan di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, pada 15 Januari 2019. Tujuannya, untuk meminimalkan politik identitas yang sudah kadung atau terlanjur dilakukan oleh dua pendukung kedua Paslon.
Sayangnya, baik Prabowo Subianto maupun Sandiaga Uno, tak kunjung bersuara apalagi menyampaikan jawaban untuk hadir (atau tidak akan hadir) terkait tes baca Al Qur'an.
Komentar malah muncul dari Partai Gerindra, yang pada intinya mengatakan, tes baca Al Qur'an merupakan sesuatu hal yang tak perlu. Alasannya, yang justru diperlukan sebenarnya adalah memahami isi Al Qur'an. Mengomentari komentar partai politik pendukung Prabowo-Sandi itu, tak sedikit warga net (netizen) yang akhirnya menyesalkan apa yang sudah disampaikan elite Partai Gerindra. Kebanyakan netizen beranggapan, bagaimana mungkin seseorang bakal memahami isi Al Qur'an tanpa pernah (sering-sering) membacanya.