Soesilo menukil kisah, Tommy pernah berhubungan dengan Garuda melalui PT Artasaka Nusaphala. Persisnya ketika Garuda hendak menyewakan beberapa pesawat jenis Fokker F-28 ke Merpati Nusantara Airlines, ketika masih menjadi anak perusahaan sebelum disapih kembali tahun 1997. Anehnya, sewa pesawat itu tak jadi, tetapi pesawat itu malah dijual ke Artasaka yang selanjutnya menyewakan ke Merpati. Ridwan Fataruddin, selaku Dirut ketika itu, menolak.
Selain soal itu, Artasaka juga pernah menjadi agen yang menyewakan pesawat CN 235 ke Merpati. Namun, karena tawaran harga sewanya terbilang mahal yakni US$ 110.000 per bulan, sedangkan Merpati sanggupnya cuma US$ 60.000 per bulan, maka sekali lagi Ridwan menampik tawaran itu. "Ujung-ujungnya saya diganti sebagai Dirut Merpati," ujar dia.
Masih di buku yang sama. Gurita bisnis Tommy juga diungkap pada bisnis promosi papan nama reklame. Ini jaringan PT Angkasa Pura II, dimana Tommy melalui bendera usaha PT Humpuss Madya Pratama menguasai periklanan dari mulai ujung ruas jalan Tol Bandara Soekarno Hatta hingga lapangan udara.
Sementara itu, di halaman 151, Soesilo menurunkan tulisan khusus dengan judul Fasilitas Khusus Buat Mobnas "Timor". Ia menyebut, beredarnya mobil nasional menggegerkan yang selama ini dianggap sudah mapan, serta banyaknya tantangan dari luar negeri, yang dianggap kurang adil. Namun apapun yang terjadi pada waktu itu, Pemerintah bertahan mati-matian untuk membela "kebenaran" Mobnas Timor, karena perusahaannya Tommy Soeharto anak kesayangan Pak Harto.
Tanda-tanda akan terjadi pergeseran pasar otomotif, tulis Soesilo, semakin tampak jelas. Seminggu setelah mobil Timor diperkenalkan kepada Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta, sikap konsumen langsung berubah.
Antusiasnya konsumen mobil mempertanyakan kendaraan yang mengambil teknologi dari KIA Motors Corporation, Korea Selatan, ini bisa dimaklumi. Mengingat mobil yang akan diproduksi PT Timor Putra Nasional ini mempunyai harga lebih miring ketimbang buatan Jepang yang sekelas. Mobil Timor mematok harga Rp 35 juta untuk sedan kelas 1.500 cc, dan sekitar Rp 47 juta untuk kelas 2.000 cc.
* * *
Begitulah bisnis trah Cendana ketika itu. Ah, itu sih cuma secuil kisah yang dinukil ulang dalam buku. Masih banyak lagi seabrek monopoli dan bentuk persaingan usaha tak sehat lainnya.
Seperti langit dan bumi bedanya, dengan anak-anak Presiden Joko Widodo. Tegas Jokowi menyatakan, bisnis anak-anak harus mandiri, tak boleh bersentuhan dengan urusan katabelece maupun kekuasaan Presiden. Sedikit pun! Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H