Apabila MLA sudah ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan Swiss, maka semua yang dijadikan "senjata" Prabowo untuk memaparkan kondisi keterpurukan Indonesia, mulai dari upaya penggelapan pajak dan pelarian uang ke luar negeri, segera bisa dihilangkan secara bertahap namun pasti.
Apa yang menjadi keresahan dan kegalauan Prabowo, justru Jokowi sudah punya resep jawabannya. Jokowi, sepertinya memang tiga langkah lebih maju, dari apa yang dipikirkan dan hendak dilakukan oleh pesaingnya, Prabowo.
 * * *
Jokowi yang pernah dihina plonga-plongo dan kerempeng, ternyata kini malah membuat banyak pihak melongo, lantaran kiprah si kerempeng ini yang justru malah menggentarkan para koruptor, kriminal, dan penghindar pajak. Maklum, kalau Swiss saja bisa diajak menandatangani MLA, bukan tidak mungkin negara-negara lain yang menjadi surga para pembawa lari uang haram dan penghindar pajak, boleh jadi juga bakal "di-Swiss-kan". Sehingga dengan begitu, tak ada lagi tempat yang nyaman buat para koruptor menyembunyikan asetnya di luar negeri.
Kedua, semangat menentang dominasi tax heaven countries yang selama ini memanjakan para koruptor dengan "menyediakan" tempat persembunyian aset, tidak semata hanya menjadi concern Jokowi sendiri saja. Tapi, ini merupakan perjuangan bersama, utamanya dengan negara-negara anggota G-20 dan OECD, yang memang berusaha sejak 2013 untuk meruntuhkan era kerahasiaan bank. Dilanjutkan pada 2017, dimana secara global mulai diberlakukan program Sistem Pertukaran Informasi Otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI). Ini adalah komitmen sesuai hasil pertemuan pimpinan negara-negara G-20 pada KTT di Antalaya, Turki. Implementasinya, untuk membuka informasi dan data perbankan termasuk pajak dan transaksi keuangan dari wajib pajak (WP) antar negara.
Ketiga, dukungan tim kerja Pemerintahan Joko Widodo -- Jusuf Kalla yang sebangun seirama dalam upaya penuntasan dan pemberantasan korupsi. Sebutlah misalnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang bisa berlaga ciamik di berbagai fora internasional, semisal menghadapi Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank).
Asal tahu saja, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono saja sempat mengaku kesulitan lho, dalam melakukan perundingan dengan Pemerintah Swiss. Ketika itu, pada 2011, Pemerintahan SBY nampak sibuk mengejar aset Bank Century di luar negeri, dalam hal ini Swiss. Meski Pemerintah Swiss menyatakan menolak permohinan penyitaan aset bekas pemegang saham Bank Century, tapi SBY dan jajarannya kelihatan tak mau menyerah.
Tim terpadu lintas instansi disiapkan Pemerintahan SBY untuk menemui otoritas hukum di Swiss. Tim diminta menuntut kejelasan dari otoritas hukum Swiss, mengenai cara apa yang paling tepat untuk mendapatkan kembali aset-aset Bank Century. Tim ini masih ditambah dukungan penuh dari duta besar Indonesia untuk Swiss. Pada saat itu, Menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi mengungkap kegetiran Presiden SBY.
Kata Sudi, Presiden SBY kecewa, karena tim sulit memproses pengembalian aset Bank Century. Padahal, Pemerintah Swiss semula sudah memberi sinyal hijau untuk memberikan bantuan.
Yang dimaksud Sudi, pertemuan antara SBY dengan Presiden Swiss terjadi pada saat sama-sama menghadiri World Economic Forum di Davos, Swiss, pada 27-29 Januari 2011. SBY bertemu dengan Presiden Swiss, Micheline Calmy-Rey, dan membicarakan masalah pengembalian aset Bank Century. Ketika itu, Calmy-Rey menjawab, Indonesia harus menyiapkan bukti dokumen hukum yang jelas agar permohonan bantuan hukum atau MLA dapat diproses. Nyatanya, dalam prosesnya, Pemerintah Swiss terkesan kurang kooperatif membantu proses pengembalian aset.Â