Intinya, SBY menyadari betul posisinya sebagai Presiden, yang selalu mendapat penilaian orang, entah itu positif apalagi negatif. Menyenangkan, tapi juga sekaligus ada saja yang bisa jadi membuka pedih pun luka. Semua itu, kembali ke pepatah Belanda leiden is lijden tadi, tentu saja.
Soal jabatan Presiden, SBY juga mendengar sindiran orang. Dan lagi-lagi, ia membalas  dengan "bahasa jemari", tweet. Begini, kira-kira:
Ia mengaku mendengar ada yang mengatakan secara pesimis, seperti berikut: "Heran, kenapa banyak yang ingin jadi presiden. Emang enak? Memang bisa bikin baik negeri ini?"
Jawaban SBY? Lugas.
"Pemimpin adalah sosok yang dipuji sekaligus dibenci. Tapi, bagaimanapun, itu sesuatu yang mulia."Â
"Ketika saya berkunjung ke daerah bertemu masyarakat, mendengar harapan dan aspirasinya, rasa lelah baik fisik maupun pikiran sirna. Melihat sinar mata masyarakat di banyak kesempatan, rasanya tidak ada masalah yang tidak ada solusinya, seberat apa pun masalahnya."
"Jika presiden dan rakyat yang mendukungnya bisa jadikan Indonesia lebih baik dan maju, itulah puncak kebahagiaan dan kehormatan seseorang presiden."
Sengaja, ada kalimat SBY yang saya tebalkan. Karena dari kalimat itu, saya pikir bisa membenarkan keyakinan saya, bahwa SBY paham sekali, apa itu makna leiden is lijden. Memimpin itu menderita. Tak hanya itu, pemimpin adalah sosok yang dipuji sekaligus dibenci.
Dengan kondisi yang seperti begini, SBY kemudian begitu teramat hati-hati untuk mengucapkan perintahnya kepada seluruh jajaran kader Partai Demokrat, dalam menentukan pilihan calon presiden mana yang musti dimenangkan.
Secara resmi, Demokrat memang bukan pendukung kubu pasangan Capres petahana Joko Widodo dan pasangannya Cawapres KH Ma'ruf Amin. Demokrat ada di kubu sebelah, mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Meskipun belakangan, dukungan kepada Prabowo seperti "kerupuk yang terpapar angin", tak keras lagi.
Malah, meski di bibir sejumlah elite Demokrat tetap menyatakan komitmen mendukung Prabowo-Sandiaga, tapi sungguh lidah tak bertulang, Demokrat akhirnya terpaksa menyatakan mau lebih fokus memenangkan pertempuran dalam Pileg, ketimbang "berdarah-darah" mengupayakan kemenangan pada Pilpres yang ujung-ujungnya adalah untuk Prabowo-Sandiaga - untuk Partai Gerindra -, terutama.