Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Aku dan Mentari Menyatu di Kelimutu

20 Juli 2018   15:55 Diperbarui: 21 Juli 2018   00:41 2773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Matahari pun terbit dengan indahnya. (Foto: Gapey Sandy)

Ketika mulai mendaki punggung bukit, kiri kanan jalan mulai banyak pepohonan dan belukar. Maklumlah, namanya juga mulai mendekati area Taman Nasional (TN). Artinya segala sesuatu yang ada didalamnya pasti harus dilestarikan. Apalagi, Kelimutu juga bukan wilayah sembarangan, karena berkaitan dengan adat istiadat masyarakat lokal. Makanya, kalau berwisata ke sini pun, ya harus menghormati kearifan lokal. Contohnya, pada setiap 14 Agustus, Suku Lio menggelar ritual ada Pati Ka di ceremonial site yang berjarak 850 m dari lokasi parkir. Ritual ini berupa pemberian makan atau sesajen bagi arwah leluhur. Ini simbol syukur atas perjalanan tahun yang sudah berjalan, sambil memohon berkah agar tahun berikut lebih baik lagi segala sesuatunya.

Lokasi tiga danau di Taman Nasional Kelimutu. (Sumber: Pos Informasi TN Kelimutu)
Lokasi tiga danau di Taman Nasional Kelimutu. (Sumber: Pos Informasi TN Kelimutu)
UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mendefinisikan TN sebagai kawasan pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

Jalan mendaki terus kami lalui. Kelihatan sekali, Pemerintah Daerah setempat benar-benar berusaha melayani tamu dan wisatawan sebaik mungkin. Ruas-ruas jalan diperlebar, sejak mula pertigaan Moni. Tepi tebing dipangkas-dibelah, agar pada jalan menikung misalnya, bisa dilebarkan lebih lapang lagi. Tebing pun diberi tanggul dari batu-batu kali yang di-cor demi menahan longsor. Sayangnya, suasana di luar masih rada gelap sehingga tak begitu banyak yang bisa saya rekam melalui pandangan pun ingatan.

Sudah 30 menit perjalanan, masih juga belum sampai di Kelimutu.

Sepuluh menit kemudian, kami sampai di gerbang utama TN. Supir menepikan kendaraan. Dwi dengan sigap turun dan menuju pos penjagaan untuk melapor ke petugas sambil bayar tiket masuk. Karena hari ini adalah Minggu, 1 Juli 2018, maka dikenakan tarif hari libur yaitu Rp 7.500 per wisatawan domestik. Katanya, kalau hari biasa, cukup Rp 5.000 saja. Di sobekan tiket warna putih itu tercantum, bahwa ketentuan ini: Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No.12 Tahun 2014 tertanggal 14 Februari 2014.

Bulan pun masih ada. Wisatawan menanti detik-detik matahari terbit dari monumen dan tugu di puncak Gunung Kelimutu. (Foto: Gapey Sandy)
Bulan pun masih ada. Wisatawan menanti detik-detik matahari terbit dari monumen dan tugu di puncak Gunung Kelimutu. (Foto: Gapey Sandy)
Monumen dan tugu di puncak Gunung Kelimutu saat detik-detik matahari terbit. (Foto: Gapey Sandy)
Monumen dan tugu di puncak Gunung Kelimutu saat detik-detik matahari terbit. (Foto: Gapey Sandy)
Kelar bayar tiket. Minibus kembali melaju. Terus mendaki hingga sampai di pelataran parkir yang lumayan luas. Hari masih gelap. Saya belum bisa melihat sekeliling dengan baik. Cuma, di sudut kiri parkiran ada toilet umum, lalu di sudut kanan ada bangunan seperti kantor dengan pintu kaca. Kabut tipis memeluk kami semua. Hawa dingin makin menusuk.

Awalnya saya agak ragu melanjutkan pendakian. "Apa tidak sebaiknya Sholat Subuh dulu?" tanya saya ketika mendengar suara adzan Subuh dari handphone Dwi. Tapi jawaban Dwi justru menohok. "Mau sholat dimana Pak? Di sini tidak ada mushola. Kalau saya, biasanya tetap mendaki dulu. Nanti kalau ketemu lokasi memungkinkan untuk sholat, ya kita sholat dengan kondisi sedikit darurat," ujarnya.

Menyimak jawaban Dwi, saya pasrah. Okelah kalo begitu, ayo lanjut saja pendakian. Suasana gelap. Hanya di permulaan jalan saja ada lampu sorot. Selepas itu, gelap nge-dedhet. Syukurlah masih ada sisa temaram sinar bulan purnama. Lampu senter milik Dwi terus dinyalakan. Menyinari tangga-tangga batu dan tapakan kaki, agar rombongan tidak tersandung tangga batu atau terpeleset jalan berkerikil yang terbasahi embun.

Matahari pun terbit dengan indahnya. (Foto: Gapey Sandy)
Matahari pun terbit dengan indahnya. (Foto: Gapey Sandy)
Matahari pun terbit dengan indahnya. (Foto: Gapey Sandy)
Matahari pun terbit dengan indahnya. (Foto: Gapey Sandy)
Tak berapa lama berjalan, di sisi kiri ada semacam saung tempat istirahat. Bentuknya terbuka, dengan atap rumbia dan lantai kayu. Dalam bahasa lokal, saung ini disebut lopo besar. Disinilah kami memutuskan untuk Sholat Subuh. Berwudhu dengan setengah botol air mineral, dan saya pun menggunakan syal leher dari kain tenun ikat Sikka sebagai alas sujud. Allahu Akbar, Allah Maha Besar.

Usai sholat, perjalanan dilanjutkan.

o o o O o o o

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun