Ketika mulai mendaki punggung bukit, kiri kanan jalan mulai banyak pepohonan dan belukar. Maklumlah, namanya juga mulai mendekati area Taman Nasional (TN). Artinya segala sesuatu yang ada didalamnya pasti harus dilestarikan. Apalagi, Kelimutu juga bukan wilayah sembarangan, karena berkaitan dengan adat istiadat masyarakat lokal. Makanya, kalau berwisata ke sini pun, ya harus menghormati kearifan lokal. Contohnya, pada setiap 14 Agustus, Suku Lio menggelar ritual ada Pati Ka di ceremonial site yang berjarak 850 m dari lokasi parkir. Ritual ini berupa pemberian makan atau sesajen bagi arwah leluhur. Ini simbol syukur atas perjalanan tahun yang sudah berjalan, sambil memohon berkah agar tahun berikut lebih baik lagi segala sesuatunya.
Jalan mendaki terus kami lalui. Kelihatan sekali, Pemerintah Daerah setempat benar-benar berusaha melayani tamu dan wisatawan sebaik mungkin. Ruas-ruas jalan diperlebar, sejak mula pertigaan Moni. Tepi tebing dipangkas-dibelah, agar pada jalan menikung misalnya, bisa dilebarkan lebih lapang lagi. Tebing pun diberi tanggul dari batu-batu kali yang di-cor demi menahan longsor. Sayangnya, suasana di luar masih rada gelap sehingga tak begitu banyak yang bisa saya rekam melalui pandangan pun ingatan.
Sudah 30 menit perjalanan, masih juga belum sampai di Kelimutu.
Sepuluh menit kemudian, kami sampai di gerbang utama TN. Supir menepikan kendaraan. Dwi dengan sigap turun dan menuju pos penjagaan untuk melapor ke petugas sambil bayar tiket masuk. Karena hari ini adalah Minggu, 1 Juli 2018, maka dikenakan tarif hari libur yaitu Rp 7.500 per wisatawan domestik. Katanya, kalau hari biasa, cukup Rp 5.000 saja. Di sobekan tiket warna putih itu tercantum, bahwa ketentuan ini: Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No.12 Tahun 2014 tertanggal 14 Februari 2014.
Awalnya saya agak ragu melanjutkan pendakian. "Apa tidak sebaiknya Sholat Subuh dulu?" tanya saya ketika mendengar suara adzan Subuh dari handphone Dwi. Tapi jawaban Dwi justru menohok. "Mau sholat dimana Pak? Di sini tidak ada mushola. Kalau saya, biasanya tetap mendaki dulu. Nanti kalau ketemu lokasi memungkinkan untuk sholat, ya kita sholat dengan kondisi sedikit darurat," ujarnya.
Menyimak jawaban Dwi, saya pasrah. Okelah kalo begitu, ayo lanjut saja pendakian. Suasana gelap. Hanya di permulaan jalan saja ada lampu sorot. Selepas itu, gelap nge-dedhet. Syukurlah masih ada sisa temaram sinar bulan purnama. Lampu senter milik Dwi terus dinyalakan. Menyinari tangga-tangga batu dan tapakan kaki, agar rombongan tidak tersandung tangga batu atau terpeleset jalan berkerikil yang terbasahi embun.
Usai sholat, perjalanan dilanjutkan.
o o o O o o o