Status mama atau ibu di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), begitu istimewa. Kain tenun ikat (Kabupaten) Sikka misalnya, punya motif yang menjunjung tinggi peran seorang mama. Dalam satu kain tenun ikat ada motif yang punya ukuran lebih besar dibanding motif lain. Motif ini ada di posisi tengah atau dalam bahasa lokal disebut 'hina' yang menyimbolkan mama. Mengapa posisi motif untuk simbol mama ini ada di tengah? Tak lain karena semua mengagungkan mama dan dianggap sebagai sumber atau pusat kehidupan.
Jadi, kalau kebetulan punya kain tenun ikat di rumah, perhatikan bagian tengahnya, selalu saja ada motif yang dibuat lebih besar ruang ukurannya. Itulah simbol 'hina' alias mama. Tapi ingat, motifnya yang tradisional ya, dan biasa digunakan kain tenun ikat itu untuk upacara adat. Bukan yang sudah masuk ke ranah motif kontemporer yang diproduksi guna memenuhi selera pasar.
Bukan cuma di kain tenun ikat saja status mama begitu penuh penghargaan. Di Kampung Tradisional atau Desa Wologai Tengah di Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Flores -- sekitar 23 km dari lokasi wisata Danau Kelimutu -, rumah-rumah adat di kampung ini juga dianggap sebagai simbol representasi dari seorang mama. Rumah adalah mama.
Saya dan rombongan tiba di Kampung Tradisional Wologai Tengah ini dengan menempuh perjalanan selama sekitar 50 menit bermobil dari Desa Koanara, Moni, Flores. Moni ini semacam wilayah khusus yang menjadi tempat penginapan para wisatawan domestik maupun mancanegara sebelum melanjutkan perjalanan ke Taman Nasional Kelimutu (Kelimutu National Park).Â
Biasanya, wisatawan berangkat dari tempat penginapan di Moni ini sekitar jam 04.00 pagi, sebelum waktu Subuh. Kenapa musti pagi-pagi buta? Ya, sudah tentu untuk mengejar momentum matahari terbit (sunrise) dan menikmatinya di puncak Kelimutu. [Untuk tulisan mengenai Kelimutu, insya Allah nanti akan saya sajikan secara khusus ya].
Kondisi fisik jalan raya yang kami tempuh dari Danau Kelimutu ke Kampung Tradisional Wologai Tengah sangat bagus. Pemandangan alam sekitar juga berkesan sekali. Keseringan yang kita jumpai adalah pemandagan di sisi kiri berupa tebing batu cadas yang seolah seperti hendak longsor.
Pada beberapa kawasan tampak memang ada bekas-bekas longsoran tanah bebatuan itu. Pemerintah Daerah setempat pun sigap melakukan perbaikan, selain mengantisipasi musibah longsor dengan membangun tanggul-tanggul berbatu kali sebagai penahan pergerakan tebing. Ngeri melihatnya, membayangkan kalau benar-benar kejadian longsor. Na'udzubillah.
Sekitar jam 11 siang kami di Kampung Tradisional Wologai Tengah tepatnya di Jalan Raya Ende -- Detukeli KM 43. Suasana sepi langsung menyambut kami. Hampir tak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya terlihat beberapa wanita penduduk sekitar yang terlihat sedang berjalan kaki di dekat Kantor Kepala Desa. Tak terlihat ada pos penjagaan di jalan masuk yang dipasang gapura sederhana. Di atas gapura yang beratapkan seng ini tertulis ucapan "Welcome to Wologai Traditional Village". Melewati gapura ada lahan cukup luas untuk parkir kendaraan wisata.
Sebelum masuk lebih jauh ke Kampung Tradisional ini, biasanya pemandu wisata harus melapor lebih dulu ke Kantor Kepala Desa. Saya kurang tahu persis ya, mungkin mengisi buku tamu semacam administrasi dan kulonuwun lainnya. Hal yang wajar dan biasa sajalah, namanya juga blusukan ke kampung orang, betul enggak.
Langkah kaki kami makin cepat seiring rasa penasaran ingin segera memasuki area kampung adat ini. Oh ya, sebelum menaiki beberapa anak tangga yang sengaja dibentuk menjadi semacam tanggul dan pelataran cukup lapang dari batu kali, di sisi kanan jalan masuk kami melihat ada satu pohon beringin yang berukuran raksasa. Begitu besar.Â
Daunnya rimbun banget. Bahkan akar-akarnya pun begitu besar dan kekar. Entah berapa usia pohon beringin yang kesannya kok angker banget ini. Heheheee ... tapi biar pun angker, tetap ada spot untuk berfoto yaitu persis di tengah-tengah akar pohon yang besar-besar dan membentuk seperti semacam mulut goa. Haddeeeuuhhhh ... bikin merinding bulu romaku.
Tiba-tiba, langkah kami berhenti. Belum juga masuk ke tengah perkampungan, seorang ibu tampak setengah berlari dan seperti memberi instruksi kepada kami. Rupanya, ibu ini mengingatkan agar kami lebih dulu mencari dan menemui Bapak Tua. Tak hanya memerintahkan kami agar menemui Bapak Tua, ibu ini pun menunjukkan arah untuk bisa menuju ke rumah si Bapak Tua.
Sambil terus berjalan menuju ke arah rumah Bapak Tua, perjalanan jalan kami sudah mulai memasuki setengah lingkaran pertengahan kampung. Persisnya di sisi kiri kampung. Rumah-rumah adat sudah mulai semakin jelas. Rumah kayu dan bertingkat seperti rumah panggung tapi pendek, alias tidak menyatu dengan tanah. Ada tiang-tiang yang menyangga lantai kayu rumah. Tiang-tiangnya berdiri di atas bebatuan yang disusun rapi, tingginya sekitar satu meter.Â
Untuk naik ke rumah panggung ini pasti ada tangga kayu yang langsung terhubung dengan ruang terbuka sebagai "teras kayu". Tentu ada pintu kayu dan jendela kayu. Di sisi kiri dan kanan tangga kayu ada ukiran dan pahatan bergambarkan aneka binatang, tetumbuhan dan manusia. Ada juga ukiran senjata laras panjang. Waaaahhhh ... sungguh ukiran sekaligus hiasan rumah yang menyimpan banyak cerita bersejarah penuh daya pikat kalokayak ginisih.
Setiap rumah-rumah adat yang berbentuk limas dengan bagian penampang atas mendatar ini seolah menghadap ke arah tengah-tengah kampung. Di pertengahan kampung inilah menjadi semacam altar bebatuan untuk melakukan upacara adat. Saya lihat altarnya seperti semacam pondasi candi. Batu-batu disusun rapi bertumpuk-tumpuk.Â
Tingginya sekitar dua meter. Jadi saya dan rombongan tidak bisa melihat ada apa sebenarnya di atas atau di altar bebatuan tersebut. Selain juga, pemandu wisata sudah mengingatkan untuk jangan menaiki altar, karena dipercaya sebagai tempat keramat atau yang disucika. Walaaahhhhh ... makin bikin kepo surepo.
Sekali lagi, suasana nampak sepi menyelimuti kami. Di rumah-rumah adat ini tidak nampak seorang pun. Saya malah cuma melihat ada biji kopi yang dijemur di atas lapak plastik warna biru juga di bebatuan.
Ada biji kopi yang sudah mengelupas kulitnya sehingga memunculkan biji kopi berwarna keputihan, tapi ada juga yang masih terbungkus dengan daging buah kopinya. Saya melihat juga ada yang menjemur biji kemiri, mirip batu koral seukuran lebih dari ibu jari. Tak ada yang menjemur baju apalagi peralatan dapur, semua di sini rapi dan resik lho.
Tanpa Mama Semua Sunyi
Penataan rumah ke rumah di kampung ini sengaja dibentuk melingkar mengitari Tubu Kanga atau pelataran atau altar paling tinggi yang biasa dipakai sebagai tempat ritual adat. Bangunan rumah punya panjang sekitar 7 meter dengan lebar 5 meter, dengan tinggi banguan rumah sekitar 4 meter sementara atapnya mungkin bisa sampai 3 meter.
Sesudah hampir mengitari sekeliling perkampungan, sampailah kami di rumah Bapak Tua. Sesuai sebutannya, ia memang sudah tua meski belum terlalu renta. Dengan ramah, sosok berkaos kerah warna abu-abu kehitaman ini keluar rumah dengan senyum yang hangat dari balik pintu kayu rumah. Rambutnya sudah beruban. Kulitnya legam. Tapi perawakannya kekar.
"Nama saya Aloysius Leta. Usia saya 64 tahun. Istri saya bernama Maria. Anak saya ada tujuh orang, dan cucu saya sepuluh orang dan semuanya laki-laki," ujar Bapak Tua memperkenalkan diri.
Ia melanjutkan, jumlah rumah-rumah adat yang ada di Kampung Tradisional Wologai berjumlah 22 bangunan. Terdiri dari 6 bangunan rumah upacara adat, 4 buah bangunan lain, dan 12 bangunan lainnya merupakan rumah hunian masyarakat adat. "Rumah yang saya huni ini namanya Sa'o Soko Ria. Semua rumah bentuknya sama, tapi namanya beda-beda," ujarnya.
Di Wologai Tengah ini, ujar Aloysius, rumah sangatlah bermakna. "Rumah adalah mama, benar-benar mama. Karena itu, pada setiap kiri dan kanan pintu yang ada di bangunan rumah adat sini, selalu terpajang patung kayu maupun ukiran yang (maaf) berwujud buah dada mama. Jadi, rumah itu adalah mama, menurut kepercayaan adat Suku Lio di sini," ujarnya seraya menambahkan bahwa suasana perkampungan saat ini sunyi karena ini adalah Hari Minggu dan hampir semua orang pergi beribadah ke gereja.
"Karena begitu berharganya mama, maka kami warga Suku Lio mengangkat mama ke permukaan. Tanpa mama mungkin sunyi. Mama sangat mulia dalam ciptaan Tuhan, maka kita sangat menghormati mama. Dari mama, oleh mama, untuk mama. Jadi kita sebagai laki-laki tidak boleh kesana--kesini, harus setia. Dari rahim, oleh rahim, untuk rahim, tanpa Mama sunyi," jelasnya.
Ditambahkan Aloysius, kedudukan mama sangat tinggi dibandingkan dari semua yang ada di kehidupan manusia. "Mama sangat berharga, sangat mulia dalam ciptaan Tuhan," jelasnya sambil menyebutkan bahwa di Kampung Tradisional Wologai Tengah ini tercatat ada 33 kepala keluarga. "Sedangkan jumlah warganya mencapai 230-an jiwa."
Sedangkan upacara lainnya dalam skala kecil (Keti Uta), dilaksanakan setiap bulan. Misalnya, pasca panen pucuk daun bunga buah yang pertama. Acaranya kami laksanakan selama satu minggu. Pelaksanaan upacara-upacara adat ini dilakukan di rumah-rumah adat yang memang dikhususkan untuk upacara adat," urainya.
Khusus pada setiap tanggal 14 Agustus, Suku Lio melakukan upacara adat Pati Ka Du'a Bapu Ata Mata di Danau Kelimutu. "Tidak semua warga hadir ke Kelimutu, paling tidak hanya tetua adat atau mosalaki saja," jelasnya.Â
Apa saja larangan para tamu dan wisatawan selama berkunjung di kampung ini?
Aloysius menjelaskan, jangan masuk ke area tengah perkampungan. "Ada larangan yang berlaku di sini dan harus dipatuhi. Khususnya areal yang ada di bagian tengah perkampungan ini. Bagi para pengunjung atau wisatawan yang hadir, belum diizinkan masuk ke areal tengah perkampungan untuk sementara, sampai upacara adat dilangsungkan. Artinya, ketika upacara adat besar tadi dilaksanakan, maka kami membuka izin seluas-luasnya kepada pengunjung atau wisatawan yang hadir untuk bisa masuk ke area pertengahan kampung," urainya.
Larangan sementara dan terbatas ini, menurut Aloysius, karena di sekitar area tengah perkampungan ada bangunan-bangunan makam leluhur. "Sedangkan dalam adat tradisi kami, diyakini betul bahwa setiap arwah-arwah dari orang yang meninggal dunia akan berkumpul di tiga danau yang ada di Kelimutu, meskipun jasadnya dimakamkan di kampung ini," jelas Aloysius.
Oh ya, Aloysius mengatakan, bagi pengunjung atau wisatawan yang ingin menginap di kampung tradisional ini dipersilakan. "Ada rumah hunian warga yang bisa digunakan untuk home stay atau menerima tamu menginap, apakah itu wisatawan domestik maupun mancanegara," ujarnya sambil menjelaskan pula bahwa soal pernikahan antar sesama warga suku Lio misalnya, tidak terdapat larangan. "Pernikahan boleh saja dilakukan, karena bukankah darah itu sama-sama merah. Begitu juga kalau warga kami yang merantau ke berbagai daerah kemudian menikah dengan warga suku lain, ya tidak mengapa."
Sedangkan jadwal take off pesawat terbang saya dari Bandar Udara Haji Hasan Aroeboesman Ende adalah jam 14.40. Yaahhh ... mungkin lain waktu bisa ke sini lagi, ke Kampung Tradisional Wologai Tengah yang menyimpan kisah cerita misteri tentang konon pernah adanya kendang yang dibuat dari kulit perut manusia. Uuupppsss ...
o o O o o
Baca juga tulisan sebelumnya:
- Tuhan Titipkan Sorgum lewat Maria Loretha
- Hangatnya Adat Sambut dan Lepas Tamu di Kabupaten Sikka
- Pakai Pewarna Alami, Tenun Ikat Makin Memikat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H